Satu jamban mungkin cuma puluhan juta rupiah biayanya. Tapi jika dikalikan 105 unit, jadinya miliaran. Uang yang cukup untuk membangun sekolah, jalan, atau puskesmas kecil.
Namun yang rakyat dapat? Nol.
Pertanyaan Selanjutnya
Kasus ini baru menjerat Suprayidno. Tapi siapa kontraktornya? Siapa yang menandatangani dokumen progres fiktif? Apakah ada tanda tangan pengawas lapangan? Apakah ada "fee" mengalir ke pihak lain?
Kejaksaan Negeri Taliabu masih punya pekerjaan rumah besar. Mengusut lebih jauh rantai panjang proyek ini. Karena aroma jamban fiktif bukan hanya berhenti di satu pejabat.
Kalau tidak, kasus ini akan berakhir di meja sidang begitu saja. Dan warga Taliabu masih tetap buang air di kebun.
(MP)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI