Toilet Mewah vs Jamban Fiktif
Kontrasnya terasa. Di kantor-kantor pemerintah, toilet ber-AC, keran air hangat, dan sabun cair wangi bisa ditemui. Di gedung-gedung baru, bahkan closet duduknya berteknologi sensor: mendekat, air otomatis mengalir.
Sementara di desa-desa Pulau Taliabu, warga masih harus mencari semak-semak atau bibir pantai untuk buang hajat. Jamban sehat yang dijanjikan tak pernah datang.
Dana miliaran rupiah yang mestinya mengalir ke desa, malah berhenti di kantong para pejabat. Yang tersisa bagi rakyat hanyalah program di atas kertas.
Pertanyaan yang Tersisa
Kasus jamban ini menyisakan satu ironi. Jamban itu untuk siapa? Untuk warga yang sanitasi rumahnya masih jauh dari layak. Untuk anak-anak yang masih terbiasa buang air di kebun.
Kini, jamban itu hanya tercatat di dokumen proyek. Tak satu pun berdiri. Warga tetap buang air sembarangan. Negara kehilangan miliaran rupiah.
Dan Suprayidno---yang dulu duduk di kursi empuk pejabat---kini harus belajar hidup di balik jeruji.
Korupsi jamban ini bukan sekadar soal uang. Ini soal hak warga atas sanitasi yang layak. Soal bagaimana sebuah program sederhana pun bisa berakhir dengan aroma busuk.
Kontraktor Bayangan
Kasus jamban di Taliabu bukan hanya cerita tentang jamban yang tak pernah berdiri. Ia juga soal kontraktor yang tak jelas wujudnya. Tender yang seolah-olah ada, tapi hasilnya nihil.