Oleh: Mahar Prastowo
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota besar seperti Jakarta, kita sering lupa bahwa harmoni sosial itu tidak tercipta semata-mata karena aturan tertulis, melainkan karena adanya rasa tanggung jawab moral dan spiritual dari para pelaku di dalamnya. Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) pada awalnya lahir dari niat baik: menjadi jembatan antara pemerintah dengan denyut aspirasi masyarakat, mendeteksi potensi konflik dan menyampaikannya dengan jujur.
Namun sayangnya, seperti dilaporkan sejumlah media dan diakui para pengamat, seleksi FKDM DKI Jakarta tahun ini justru tercoreng oleh isu "titipan politik". Pendaftaran yang diperpanjang secara tiba-tiba, panitia seleksi yang diganti diam-diam, hingga munculnya nama-nama "orang dekat" dari partai atau pejabat tertentu. Semua ini mengundang tanya: ke mana hilangnya semangat kejujuran dan independensi yang seharusnya menjadi nafas FKDM?
Sebagai bangsa, kita pernah diajarkan nilai gotong royong: berdiri di atas kepentingan bersama, bukan kepentingan segelintir orang. FKDM mestinya mengemban amanah itu---sebagai telinga dan mata nurani pemerintah daerah, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan.
Dimensi Etika dan Spiritual yang Terabaikan
Jika kita menelisik lebih dalam, persoalan ini bukan sekadar prosedur administrasi. Yang lebih memprihatinkan adalah hilangnya ruh etika publik. Bukankah dalam setiap jabatan publik ada "amanah" yang harus dijaga? Dalam Islam, amanah bukan hanya kontrak sosial, tetapi juga kontrak spiritual: sebuah pertanggungjawaban, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah.
Ketika proses rekrutmen disusupi "titipan", maka yang dirusak bukan hanya nama FKDM, melainkan juga kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan negara. Dari kepercayaan itulah lahir keterlibatan aktif warga untuk saling mengingatkan, menegur, dan menjaga kampung maupun kota.
FKDM tanpa kepercayaan publik hanyalah papan nama, bukan forum kewaspadaan. Seperti rumah besar yang megah, tetapi kosong tak berpenghuni. Tak ada ruhnya.
Menggali Lagi Makna Kewaspadaan
Kewaspadaan dini masyarakat bukan hanya memantau isu SARA atau radikalisme, tapi juga mendeteksi kemiskinan, kecemburuan sosial, dan potensi konflik karena ketidakadilan. Fungsi ini hanya mungkin berjalan jika diisi oleh orang-orang yang mengedepankan ketulusan dan keberanian moral, bukan loyalitas kepada partai atau figur tertentu.
Jika anggota FKDM adalah "orang titipan", akankah mereka berani melaporkan gejala konflik yang bersumber dari kelompok yang menitipkan? Atau justru mereka akan menutup mata demi menjaga relasi politik?
Pertanyaan seperti ini seharusnya menjadi renungan kita semua, terutama bagi pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses seleksi.
Membangun Kesadaran Baru
Sebagai bangsa, kita sedang diuji: apakah kita ingin membangun lembaga yang kokoh berlandaskan kejujuran, atau hanya mengejar formalitas? Dalam banyak forum saya sering menyampaikan, keutuhan bangsa tidak cukup dijaga dengan pasal-pasal hukum saja. Yang lebih penting adalah kesadaran kolektif: rasa malu untuk berkhianat, rasa takut kepada pengawasan Tuhan, dan keyakinan bahwa jabatan adalah alat, bukan tujuan.