Pemerintah daerah sudah membuka jalan lewat program padat karya seperti PPSU. Tapi ini baru awal. Selanjutnya, PPSU juga diberi pelatihan lanjutan:Â tanggap bencana, servis listrik dasar, digital literacy. Supaya mereka tak hanya bergantung selamanya pada sekop dan sapu.
Pemerintah pusat juga harus serius mereformasi pendidikan: lebih banyak praktik, lebih sedikit teori. Memperluas kerja sama magang nyata. Memberi insentif pada kampus yang punya tingkat serapan kerja tinggi. Dan yang terpenting: membangun budaya bahwa skill lebih penting dari sekadar ijazah.
Jadi, salahkah mereka?
Tidak.
Mereka realistis. Mereka lebih berani daripada banyak orang. Mereka memilih pekerjaan yang ada dan pasti, meski harus nyemplung selokan, daripada terus bermimpi pekerjaan "ideal" yang tak kunjung datang.
Mereka mengajari kita semua: bahwa harga diri bukan soal jabatan, tapi soal tanggung jawab pada keluarga dan keberanian menghadapi kenyataan.
Penutup:
Di negeri ini, gelar sarjana semakin murah, tapi kesempatan kerja justru semakin mahal.
Yang kita butuhkan bukan sekadar gelar, tapi keahlian, mental siap kerja, dan keberanian untuk belajar lagi, meski sudah diwisuda.
Dan bagi Musarotun, Nabila, Febrina, dan ribuan sarjana lain yang memilih PPSU---mungkin justru di selokan itu mereka menemukan pelajaran paling nyata tentang hidup: bekerja dengan tangan sendiri, jauh lebih bermartabat daripada sekadar menunggu.
Karena pada akhirnya, yang paling dibutuhkan adalah pekerjaan yang pasti, bukan mimpi yang tinggi.
[mp]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI