Mereka tidak dilatih mencuri. Tapi mereka tidak pernah diajari jalan keluar lain.
Sebuah media zaman orde baru, tabloidLUGAS.com, sampai menuliskan edisi khusus dengan menulis, "jangan sampai penjara jadi sekolah kriminal." Saya setuju. Tapi kadang, sekolah pun tidak sempat jadi sekolah.
Anak-anak ini mungkin hidup dalam rumah sempit, kadang tanpa ayah, kadang tanpa listrik. Orang tua mereka sibuk bertahan hidup. Negara terlalu jauh. Polisi terlalu sibuk. Guru terlalu lelah.
Lalu ketika mereka mencuri, kita kaget? Ketika mereka menghilang dari sekolah dan muncul di tahanan, kita baru sadar?
Mungkin mereka memang tidak butuh dihukum. Mungkin yang harus dihukum adalah sistem yang membiarkan anak-anak tumbuh tanpa masa depan.
Polisi bilang, kalau korban memaafkan, mereka bisa diversi. Itu istilah keren untuk "diselesaikan di luar pengadilan". Tapi siapa yang akan "diversi" kemiskinan mereka? Siapa yang mau maafkan kegagalan negara?
Saya percaya polisi juga manusia. Saya tahu mereka tidak ingin memenjarakan anak-anak. Tapi sistem seringkali lebih keras daripada hati nurani.
Maka kita pun melihat anak-anak digiring masuk ruang interogasi, dengan tangan di saku, dan mata menatap lantai. Mereka tidak menangis. Karena mereka tidak tahu harus menangisi apa.
Pekan depan mungkin mereka bebas. Mungkin mereka kembali mencuri. Mungkin mereka menikah muda dan mewariskan kemiskinan. Atau mungkin juga tidak.
Tapi hari ini, saya hanya ingin satu hal:
Jangan lagi ada anak yang mencuri ayam, lalu masuk penjara.
Karena mungkin, yang mereka curi bukan ayam. Tapi perhatian kita.
[mp]