Oleh Mahar Prastowo
Ada yang aneh dengan kantor polisi di Bobong, Pulau Taliabu, pekan ini. Bukan karena listriknya mati. Bukan pula karena ruangan tahanannya sempit. Tapi karena yang digiring ke sana anak-anak.
Yang satu belum punya KTP. Yang lain masih SMP. Yang satu bahkan masih bau amis seragam putih biru.
Polisi menangkap mereka karena mencuri. Barang curian paling banyak: ayam. Bukan emas, bukan motor. Ayam. Tapi ada juga yang mencuri uang dan handphone. Nilainya? Jutaan.
Saya membayangkan betapa repotnya polisi menuliskan berita acara pemeriksaan dengan tersangka yang lebih paham TikTok daripada pasal KUHP.
Saya juga membayangkan, bagaimana wajah orang tua mereka ketika diberi tahu bahwa anak-anak mereka ditahan. Mungkin mereka menangis. Mungkin mereka diam. Mungkin mereka hanya mengangguk, seperti sudah terlalu biasa hidup kalah.
Ada enam anak yang ditangkap. Empat dipulangkan. Dua masih diproses. Polisi bilang, itu karena dua anak ini mencuri yang nilainya besar. "Puluhan juta," kata Kasat Reskrim Iptu Achmad M.
Tapi saya bertanya-tanya: siapa yang menciptakan kerugian lebih besar---anak-anak itu, atau sistem yang membiarkan mereka lapar?
Kalau Anda pernah ke Taliabu, Anda tahu satu hal: ini pulau indah yang terlambat.
Terlambat listrik. Terlambat sinyal. Terlambat pembangunan. Tapi justru karena itu anak-anak di sini belajar cepat mencuri. Mereka mencuri ayam bukan karena iseng. Tapi karena lapar. Mencuri HP bukan untuk dijual. Tapi untuk menonton YouTube seperti anak-anak kota.