Tiga hari. Seharusnya tak lebih dari itu.
Tipiring---tindak pidana ringan---harusnya cukup disidik PPNS, disidangkan, dan diputus dalam waktu secepat menyeduh kopi sachet. Tapi kenyataannya? Kadang menunggu berhari-hari, bahkan berminggu. Pol PP kata Kajari Jakarta Timur, menunggu kolektif beberapa kasus. Supaya tidak bolak balik ke pengadilan. Oke, selagi tidak menyalahi aturan, no problem. Efisiensi.
Saya menyimak diskusi panel yang dipandu oleh Amandha Budhy Adhywidya. Diskusi yang penuh dengan istilah hukum, keamanan, dan kata-kata pejabat yang rapi. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini: semua berbicara  jujur. Jujur bahwa Jakarta Timur tak cukup ditata hanya dengan Perda. Bahwa tawuran dan premanisme tak cukup dilawan hanya dengan spanduk dan razia.
Walikota bicara pencegahan, dan pendekatan yang humanis terutama bagi anak di bawah umur. Â Disambung Pengadilan Negeri tentang denda tipiring yang dari Rp7.500 dalam KUHP jaman Belanda, jadi Rp7,5 juta saat ini. Naik 1000 kali lipat. Namun lebih penting dari itu, tentang sanksi sosial yang lebih mendidik. Saya ingat masa pandemi: orang-orang disuruh nyapu jalan karena tak pakai masker. Marah? Iya. Tapi belajar? Juga iya.
Lalu Pol PP, yang kadang dipandang sebelah mata. Di sini mereka dibawah komando Kasatpol PP Jakarta Timur, Budhy Novian, tampil sebagai pasukan garda depan penegak Perda. Tak perlu surat dakwaan. Tak perlu jaksa. Cukup saksi, barang bukti, dan niat membereskan.
Saya mencatat satu hal menarik dari Wakapolres AKBP Agung Nugroho. Bahwa kita harus bedakan ormas dan preman. Bahwa proposal yang dilayangkan ormas bisa berubah jadi intimidasi kalau tak diberi apa yang diminta. Ini bukan soal hukum semata, ini soal etika. Dan keberanian menyebut 'oknum' di mana pun mereka berada.
Dari kejaksaan, cerita tentang "Jaga Kelurahan"---sebuah program yang diam-diam bisa jadi revolusi kecil. Transparansi anggaran di level terbawah. Pengawasan agar birokrasi tak lagi seperti labirin tanpa pintu keluar. Saya berharap ini bukan sekadar jargon. Karena rakyat butuh lebih dari niat baik. Mereka butuh hasil.
TNI---yang diwakili karena komandan Kodim harus ikut protokoler kunjungan PM Australia---bicara tegas: "Kami siap membantu menertibkan." Tapi bukan itu yang penting. Yang penting adalah narasi yang mereka bawa: keamanan sebagai ruang untuk pembangunan. Dan itu cukup menyentuh hati.
Panel itu ditutup dengan satu tekad ke arah yang disepakati bersama. Semua mengangguk. Dan kadang, anggukan jauh lebih keras dari tepuk tangan.
Memang Jakarta Timur hari itu tak berubah seketika. Tapi saya pulang dengan satu keyakinan: ketika hukum dan aparat sudah bicara dalam satu bahasa, maka tertib, aman, bukan lagi mimpi. Ia hanya soal waktu.
Dan semoga bukan waktu yang terlalu lama.