Ormas kepemudaan seperti GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, hingga organisasi adat seperti Laskar Adat Melayu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), GM Trikora, KBPPP dan banyak lainnya terus terlibat dalam advokasi sosial, pemberdayaan ekonomi, hingga pelestarian lingkungan.
Saya bahkan mengenal ormas-ormas kecil yang tak pernah masuk berita, tapi kerja mereka nyata. Di kawasan rawan bencana, mereka hadir. Di pelosok perbatasan, mereka membantu distribusi logistik. Mereka tidak ribut di media, tapi bermanfaat di lapangan.
Ketika Peran Ormas Dibungkam Stigma
Yang menyedihkan, karena ulah segelintir oknum, semua ormas dihantam stigma. Ruang gerak dikekang. Kepercayaan publik terguncang. Bahkan beberapa kepala daerah kini ragu melibatkan ormas lokal dalam forum pembangunan.
Padahal saya tahu sendiri, di banyak tempat, ormas justru lebih cepat hadir dibanding birokrasi. Mereka fleksibel, punya akar sosial, dan bekerja dengan hati.
Jangan sampai publik menutup mata dan telinga karena dikaburkan oleh narasi tunggal yang salah alamat.
Membina, Bukan Membinasakan
Solusinya? Pembinaan, bukan pembinasaan.
Kementerian Dalam Negeri sudah memiliki sistem pelaporan kegiatan ormas. Tinggal dimaksimalkan. Pemda juga bisa lebih aktif dalam merangkul, melatih, dan memberdayakan. Jangan hanya diundang saat pemilu, tapi dilupakan setelahnya.
Ormas yang terbukti menyimpang? Ya, tindak tegas. Tapi tanpa menyapu bersih semuanya.
Saya percaya, demokrasi Indonesia butuh ormas. Mereka adalah nadi partisipasi warga. Jika semua diseragamkan dan dimatikan karena takut risiko, maka kita sedang menuju otoritarianisme baru yang dibungkus dalih ketertiban.
Ormas Bukan Penonton, Tapi Pelaku Pembangunan