Tanah, Lurah, dan Mahkamah Agung
Oleh: Mahar Prastowo
Di Indonesia, tanah bisa lebih tajam dari belati. Bisa membuat orang kehilangan rumah. Bisa membuat lurah masuk bui. Bisa membuat anak cucu berantem. Bisa juga membuat putusan Mahkamah Agung terasa seperti kertas tak bertuan.
Dan itulah yang sedang terjadi di Bitung.
Hari Selasa lalu, ruang sidang di Pengadilan Negeri Bitung kembali panas. Mantan Lurah Girian Indah, Lintje Sanger, duduk di kursi terdakwa. Dituduh memalsukan surat tanah. Usianya 57 tahun. Dan kalau terbukti bersalah, ia akan mengakhiri masa pensiunnya di balik jeruji.
Saya mencoba memposisikan diri di kursi jaksa. Lalu di kursi hakim. Lalu di kursi para saksi. Tapi saya paling sulit duduk di posisi warga penggarap yang sudah 60 tahun tinggal di atas tanah itu, tanpa sertifikat. Mereka hidup seperti menumpang di rumah sendiri.
Yang menarik, hari itu saksi yang bicara bukan orang sembarangan. Ada Richard Lasut. Dia membawa amunisi: kutipan dari Mahkamah Agung.
Isinya? Tegas. Jelas. Tanpa tanda baca yang rumit. Bahwa PT Kinaleosan --- perusahaan yang dulu memegang Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah seluas hampir 150 hektare di Girian Weru --- sudah melepas hak itu sejak lama.
Artinya: tanah itu sekarang milik negara. Bukan milik siapa-siapa. Tapi juga bukan milik siapa saja. Negara yang pegang kendali. Kantor Pertanahan Negara Kota Bitung yang berwenang.
Tapi, seperti sering terjadi di negeri ini, status "Tanah Negara Bebas" bukan berarti bebas dari masalah. Justru malah jadi rebutan.