Oleh: Mahar Prastowo
Saya menulis ini sambil mengenakan sarung dan kaus oblong. Karena kalau saya pakai kebaya, saya khawatir bukan hanya gagal dipahami sebagai Kartini, tapi malah disangka sedang cosplay kondangan. Tapi ya, mau bagaimana lagi, begitulah nasib Kartini: dari pemikir menjadi penanda mode.
Saban 21 April, ada ritual nasional yang tak pernah absen: lomba memakai kebaya dan sanggul. Bahkan di tengah revolusi digital dan kesibukan para emak jadi konten kreator, peringatan Hari Kartini tetap konsisten dengan satu pesan: "Berpakaianlah seperti Kartini, maka kau akan dianggap memperingatinya."
Saya jadi ingat cerita keluhan wali murid SD, setiap tahun sekolah seolah "memaksa" murid-murid perempuan mengenakan kebaya, walau ada yang hanya punya satu warisan dari nenek. Guru-guri sekolah yang menyuruh itu saya yakin belum pernah membaca habis surat-surat Kartini. Ketika ditanya murid, "Bu, Kartini itu siapa sih?" Biasanya dijawab dengan mantap, "Pejuang perempuan." Mungkin juga ditambahkan, "yang suka pakai kebaya dan sanggul."
Peringatan Tanpa Pembacaan
Tahun 1911, J.H. Abendanon---seorang Belanda yang lebih peduli pada emansipasi Jawa daripada sebagian kita hari ini---mengumpulkan surat-surat Kartini dan membukukannya. Judulnya indah dan puitis: Door Duisternis tot Licht---"Dari Kegelapan Menuju Cahaya." Tapi cahaya itu ternyata berhenti di rak-rak perpustakaan tua yang aromanya seperti arsip masa lalu: harum tapi dihindari.
Lalu tahun 1938, Armijn Pane, sastrawan dan pemikir yang agak serius, menerjemahkannya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Saya kira ini puncak popularitas Kartini, eladalah setelah itu yang terbit justru brosur salon kebaya dan poster diskon make-up "edisi Hari Kartini".
Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan era Orde Baru, bahkan sempat mencoba "menghidupkan" Kartini dengan membagi surat-suratnya ke dalam beberapa buku tematik. Tapi---maaf Pak Wardiman---usaha itu berakhir seperti banyak program pemerintah: bagus di awal, sepi di rak-rak toko buku, dan akhirnya dimakan rayap atau dibeli untuk tugas sekolah, bukan untuk dibaca.
Harga Buku yang Lebih Mahal dari Harga Kebaya Seken
Saya coba cari bukunya lagi kemarin. Hasilnya? Di salah satu situs jual beli daring, versi cetak Habis Gelap Terbitlah Terang edisi klasik dihargai mulai dari Rp185.000 dan bahkan ada yang mahalnya audzubillah. Padahal orang bisa dapat kebaya murah di pasar Senen dengan harga segitu---sudah dengan bros dan jarik imitasi.