Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kritik Sastra: Puisi Rembang Petang di Ujung Kenangan Karya Eko To

3 Oktober 2025   13:50 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:50 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis muda sedang membaca sajak di Hutan Belantara Senja.

Menyusuri Hutan Ingatan: Membaca Rembang Petang sebagai  Kronopoetika Senja

Oleh M Sanantara

*Catatan kritik ini merupakan respon atas puisi "Rembang Petang di Ujung Kenangan" Karya Eko To yang dipublikasikan di Kompasiana (tautan)

Pendahuluan

Puisi Rembang Petang di Ujung Kenangan tidak berhenti pada fungsi estetika, tetapi menuntut pembaca menyeberangi ambang waktu: antara kenangan yang rapuh dan realitas yang terus bergerak. Senja dalam puisi ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan medium eksistensial, ruang liminal di mana manusia berkompromi dengan ingatan, kelelahan, dan kerinduan akan rumah. Kritik ini mencoba membaca puisi melalui pendekatan kronopoetika senja---suatu upaya memahami waktu dalam puisi sebagai tubuh puitik, bukan sekadar latar peristiwa. Dari pintu pembuka inilah, imaji pertama menyergap pembaca: bukan lanskap biasa, melainkan perempuan senja dan rumah kegelapan yang menyalakan tafsir awal.

Imaji Awal: Perempuan Senja dan Rumah Kegelapan

Sejak awal pembacaan, puisi ini menyalakan imaji yang pekat pada saya: perempuan senja yang terkurung di rumah kegelapan, ular putih yang menua di meja makan, ingatan yang dibuang ke hutan belantara. Imaji ini seperti prolog interpretatif---menunjukkan bahwa puisi bekerja pada lapisan metafor, bukan sekadar deskripsi linear. Pembaca diajak masuk ke wilayah sunyi penyair, di mana rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan penjara dan fatamorgana penuh janji. Namun imaji tak berdiri sendiri; ia diperkuat figurasi bahasa yang membuat larik-larik hidup sebagai organisme inderawi.

Figurasi dan Sensorialitas Bahasa


Larik // dingin masih merayap // menyalakan personifikasi---suhu hidup yang merayap seperti organisme. Lalu  // ular di dahan beringin tua // menyuguhkan citraan ekologis dan mitologis. Inilah sensorialitas bahasa: bagaimana kata-kata tidak berhenti pada makna, tetapi menciptakan pengalaman inderawi yang memandu pembaca menonton 'adegan puitis' di dalam kepala. Di titik inilah, bahasa tak hanya sensorik tetapi juga surrealistik, menghadirkan realitas yang goyah dan mimpi kolektif tentang senja.

Ingatan dan Eksistensi: Hutan Belantara Memori

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun