Tubuh lelaki bukan cuma alat produksi kesenangan dan keturunan. Ia adalah medan tafsir, rumah bagi jiwa yang kerap tak dianggap keberadaannya. Tapi ketika negara mulai mengatur sperma dan kemiskinan dijadikan alasan untuk mensterilkan harapan, kita mesti bertanya ulang: masihkah tubuh ini milik kita? Atau ia telah jadi proyek kebijakan yang tak peduli pada daging, jiwa, dan keinginan manusia itu sendiri?
Kesemulaan Tubuh: Sebuah Prolog tentang 'Tubuh', dalam Bahasa dan Pengasingan
Manusia---makhluk dengan kapasitas berpikir yang mendalam---setelah melewati masa pubertas, seolah memulai ziarah kesadaran yang panjang. Tubuh, yang semula hanya wadah pertumbuhan, kini menjadi medan simbolik tempat segala makna dihempaskan. Gunung, hujan, debur ombak, dan kawanan camar tak lagi semata lanskap alam: ia menjadi bahasa---bahasa tubuh yang menuntut pemaknaan. Namun paradoks muncul: aku yang berpikir tak pernah benar-benar mengenal tubuh yang kupakai. Jika bibir, dada, jantung, bahkan penis bisa berbicara secara otonom, mungkin aku tak akan seterasing ini di rumahku sendiri: tubuhku.
Bahasa menjadi satu-satunya medium perantara antar aku-aku yang lain. Lalu, pada titik tertentu, tubuh dikembalikan pada definisi sosialnya: wajah yang "pantas", identitas yang "layak", susunan organ yang "ideal". Selama tampilan luar sesuai katalog sosial, maka seseorang akan dengan mudah dikenali sebagai "manusia". Inilah reduksi: tubuh sebagai identitas, bukan kesadaran.
Tubuh dan Realitas Multikultural: Kecantikan sebagai Medan Perang Ideologi
Dalam masyarakat multikultural yang diguyur arus media, ketidakpuasan terhadap tubuh menjadi pandemi sunyi. Perempuan, terutama, terdorong untuk menjadikan tubuhnya sebagai proyek: dibedah, disulam, dibentuk. Dan hasilnya? Tubuh-tubuh cantik sesuai standar kapital, yang mampu membuat pria mana pun "lumer" oleh liur imajinatifnya.
Namun pria pun tidak luput. Tubuh laki-laki pun hari ini tengah menjalani kontestasi diam-diam: dada bidang, perut kotak, lengan keras---fit body sebagai citra maskulinitas baru. Fitness bukan lagi soal kesehatan, melainkan soal kapitalisasi tubuh pria sebagai objek pameran dan status.
Tubuh kini bukan lagi rumah jiwa. Ia adalah panggung. Ia adalah produk. Ia adalah konstruksi.