FENOMENA VIRAL: SOEKARNO "TERLALU SUCI" DI BUKU PPKNÂ
Belakangan ini media sosial, khususnya TikTok, diramaikan oleh beberapa dokumentasi masa lampau yang menyoroti figur seorang Soekarno beberapa komentar bertuliskan"Soekarno terlalu suci di buku pelajaran." Ungkapan ini sontak menuai pro-kontra. Sebagian merasa pernyataan itu melecehkan jasa Bapak Bangsa, tetapi banyak pula yang justru setuju bahwa penggambaran Soekarno memang cenderung idealis dan mengabaikan sisi gelap sejarahnya. Sebuah diskursus menarik tengah mengemuka di ruang-ruang digital, dipicu oleh konten di platform seperti TikTok yang menyoroti perbedaan tajam antara figur Presiden Soekarno yang diajarkan di sekolah dengan catatan sejarah yang lebih kompleks. Fenomena ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan bagaimana sejarah nasional diajarkan dan dipahami oleh generasi muda. Dalam kurikulum pendidikan, khususnya mata pelajaran seperti PPKn dan Sejarah, Soekarno seringkali ditampilkan sebagai arketipe pahlawan---seorang Proklamator visioner dan penyambung lidah rakyat yang nyaris tanpa cela. Pendekatan didaktik ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya nation-building (pembangunan bangsa), di mana penanaman nilai-nilai patriotisme dan kebanggaan nasional melalui keteladanan para pendiri bangsa menjadi prioritas. Namun, simplifikasi ini berisiko menciptakan pemahaman sejarah yang monolitik dan mengabaikan dimensi-dimensi krusial dari kepemimpinan Soekarno yang sesungguhnya.Â
 "Dimensi Ekonomi yang Kerap Terlupakan"
Salah satu aspek yang paling sering absen dari narasi buku pelajaran adalah realitas ekonomi pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Data historis menunjukkan bahwa periode ini diwarnai oleh krisis ekonomi yang parah. Kebijakan politik yang ekspansif dan konfrontatif, ditambah dengan pencetakan uang untuk menutupi defisit anggaran, memicu hiperinflasi yang puncaknya mencapai lebih dari 600% pada tahun 1965. Dampak sosialnya sangat signifikan: harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali, menyebabkan kelangkaan pangan, antrean panjang untuk mendapatkan beras, dan meningkatnya angka kemiskinan serta kerawanan sosial. Kondisi ini merupakan konteks penting yang jarang sekali disandingkan dengan narasi kebesaran politik Soekarno di panggung internasional.
"Skala Prioritas : Proyek Mercusuar di Tengah Kesulitan Rakyat"
Di tengah krisis ekonomi tersebut, pemerintah mengalokasikan sumber daya yang sangat besar untuk proyek-proyek "Mercusuar". Pembangunan Monumen Nasional, kompleks olahraga Senayan untuk GANEFO, Hotel Indonesia, dan Jembatan Semanggi adalah manifestasi dari ambisi Soekarno untuk memproyeksikan citra Indonesia sebagai bangsa yang besar dan berpengaruh di hadapan dunia. Dari perspektif politik dan diplomasi, proyek-proyek ini memiliki urgensi untuk membangun identitas dan harga diri bangsa yang baru merdeka. Namun, dari lensa sosial-ekonomi, kebijakan ini memunculkan pertanyaan kritis mengenai skala prioritas seorang pemimpin di saat mayoritas rakyatnya berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Analisis komprehensif seharusnya mampu menyajikan kedua sisi ini secara berimbang.Â
 "Lensa Kritis Pada Peran di Era Pendudukan Jepang"
Aspek lain yang paling menantang untuk didiskusikan secara terbuka dalam pendidikan formal adalah peran Soekarno selama pendudukan Jepang. Keputusannya untuk bekerjasama dengan Jepang adalah sebuah langkah pragmatis yang diperhitungkan untuk mencapai kemerdekaan. Namun, kolaborasi ini memiliki konsekuensi tragis. Sebagai salah satu figur publik paling berpengaruh, Soekarno turut serta dalam mobilisasi tenaga kerja paksa atau romusha melalui pidato-pidatonya. Keterlibatan ini, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai peran "mandor romusha", mengakibatkan penderitaan dan kematian ratusan ribu rakyat Indonesia. Mengabaikan fakta sejarah ini dalam buku pelajaran sama dengan menghilangkan sebuah dilema moral dan politik yang kompleks yang dihadapi oleh para pendiri bangsa.Â
Implikasi Bagi Literasi Sejarah Bangsa : "
Menyajikan narasi sejarah yang disederhanakan dan disucikan berpotensi menciptakan pondasi nasionalisme yang rapuh. Generasi yang tidak terbiasa dengan kompleksitas dan kontroversi dalam sejarah bangsanya sendiri akan kesulitan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Mereka menjadi rentan terhadap narasi tunggal, baik itu narasi glorifikasi berlebihan maupun narasi dekonstruksi yang menihilkan semua jasa. Oleh karena itu, sudah saatnya pendidikan sejarah kita bergerak menuju pendekatan yang lebih holistik. Mengakui kesalahan dan kebijakan kontroversial Soekarno bukanlah sebuah tindakan untuk meruntuhkan ikon, melainkan untuk memahami beliau sebagai seorang manusia dalam konteks zamannya---seorang pemimpin dengan visi besar yang juga memiliki keterbatasan dan membuat keputusan sulit dengan konsekuensi yang berat. Tujuannya jelas: membangun pemahaman sejarah yang matang, di mana kekaguman terhadap jasa pahlawan diiringi oleh kesadaran kritis atas kompleksitas perjalanan bangsa. Inilah esensi dari literasi sejarah yang sejati.
SUMBER REFERENSI AKADEMIK :Â