Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kapan Waktu Terbaik untuk Menulis?

25 Februari 2015   02:41 Diperbarui: 7 November 2015   17:58 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu silam, aku diundang untuk mengisi workshop penulisan yang diadakan oleh perwakilan kantor di Yogyakarta. Dalam percakapan seusai workshop, aku berjanji untuk menulis ulang materi yang disajikan, terutama menyangkut sejumlah poin yang menjadi bahan diskusi. Setelah sekian lama, utang janji itu baru bisa aku lunasi melalui postingan ini.

Penulisan yang aku maksud dalam postingan ini bisa menyangkut tulisan apa saja. Mau blog, artikel, cerpen. Pokoknya semua jenis tulisan. Sharing ini memang bukan ditujukan kepada penulis yang sudah mahir, melainkan mereka yang awam atau baru mau terjun dalam dunia penulisan—walaupun dalam workshop tersebut aku mengulas lebih jauh tentang copywriting. Mungkin lain waktu, aku bisa sharing lebih banyak tentang hal yang satu ini.

Aku ingin memulai dengan menjawab pertanyaan yang menjadi judul postingan ini. Pertanyaan ini memang kerap muncul dalam berbagai pelatihan menulis. Terkait pertanyaan ini, penulis AS EB White tegas berkata, “A writer who waits for ideal conditions under which to work will die without putting a word on paper.”

Tentang hal ini, aku setuju dengan White. Aku sekarang bekerja di media. Menulis bukan lagi hobi, sesuatu yang dikerjakan bila suka atau sedang mood. Tidak. Sekarang aku harus menulis, suka-tidak suka, tepat-tidak tepat waktunya. Dan, tidak ada yang salah dengan itu.

Belajar dari penulis-penulis kenamaan dunia, sangat jarang yang aku tahu menulis hanya kalau sedang mood. Kebanyakan mengembangkan kebiasaan untuk menulis secara teratur. Karya-karya besar tidak lahir dalam sehari, melainkan melalui prosesn dan merupakan hasil perbaikan terus-menerus.

Ada cerita tentang seorang penulis peraih nobel yang perfeksionis. Ia terus menulis. Tulisan yang kurang baik akan dibuang. Ia lalu menulis ulang gagasan tersebut hingga mendapatkan tulisan yang menurutnya bagus.

Menangkap ide dan mencari bahan

 

Membiasakan diri menulis akan membuat kau hidup “dalam tulisan”. Tentang hal ini, aku pernah merasakannya saat kuliah di Fikom Unpad Bandung dulu.

Ada masanya aku begitu getol mengirimkan tulisan ke media massa. Biasanya artikel atau resensi buku. Honornya tak seberapa, tapi senangnya itu tak terkira. Seperti diajarkan para senior, resensi buku yang dimuat difotokopi lalu dikirimkan lagi ke penerbitnya. Tak lama, aku mendapatkan lagi kiriman buku dari penerbit tersebut untuk kemudian diresensi lagi. Sayang, kebiasaan positif ini tak berlangsung lama. Soalnya, aku lebih getol main game CM2 yang sedang heboh pada waktu itu :)

Menulis merupakan cara untuk menyampaikan gagasan. Gagasan ini bisa bermacam-macam, cara penyampaiannya pun bermacam-macam juga. Bentuk-bentuk tertentu akan lebih efektif untuk menyampaikan gagasan tertentu. Makanya, ada yang memilih menjadi penulis artikel, ada yang memilih menjadi novelis. Ya dipilih aja, mana yang lebih disukai.

Ide sebenarnya bisa tentang apa saja dan asalnya dari mana saja. Dalam hal ini, dibutuhkan kepekaan untuk melihat masalah. Sampah yang betebaran di jalan dapat menjadi ide tulisan yang sama kuatnya dengan leletnya Presiden mengambil keputusan terkait calon kapolri. Yang membedakan adalah opini dan argumentasi yang hendak disampaikan terkait ide tersebut.

Nah, kembali pada masa-masa kuliah dulu, biasanya aku selalu membawa secarik kertas atau notes serta bolpoin dalam saku. Kapan saja ada ide, aku akan mencatatnya. Yang dicatat bisa berupa ide atau pemikiran tertentu, kalimat yang menginspirasi, hingga data-data yang menarik. Kadang, aku hanya mencatat sebuah kata kunci, yang ibarat mantera akan mengingatkan pada banyak hal. Hidup “dalam tulisan” yang aku maksud adalah sepanjang waktu pikiranku dipenuhi ide-ide tulisan. Bahkan, ketika tertumbuk satu ide, aku dapat langsung membayangkan akan memulai dengan kalimat seperti apa.

Berikutnya, pengembangan ide. Hal ini dapat dilakukan dari hasil pengamatan, deduksi pemikiran, atau mencari referensi. Untuk mencari referensi, jelas tidak semudah sekarang, tinggal Googling atau cari di Wikipedia. Dulu, semua serba manual. Kalau cukup rajin, aku misalnya berkutat di perpustakaan Unpad Dipati Ukur. Selain itu, aku membiasakan diri untuk mengkliping berita dan artikel-artikel yang aku anggap penting dan menarik. Tak heran, waktu itu aku begitu rakus bacaan.

Entah apa saja dibaca. Koran dan majalah bekas selalu aku cermati, siapa tahu ada tulisan menarik. Kalau bisa disimpan, ya aku umpetin dan bawa pulang. Dulu juga biasa hunting buku dan majalah bekas di Cikapundung. Biasanya yang dicari adalah Prisma, jurnal ilmiah yang mengangkat banyak topik sosial-politik menarik.

Perkara beli buku ini, jangan ditanya. Uang kiriman yang tidak seberapa bisa hampir separuhnya dihabiskan untuk membeli buku. Makanya, pameran buku yang biasanya diadakan di Landmark Braga tak pernah alpa disambangi. Selain Cikapundung, tentu saja Palasari menjadi tujuan utama berburu buku. Kebiasaan ini masih berlanjut sampai awal-awal bekerja pada akhir 1990-an. Ketika dulu menghadiri wisuda adikku di Yogyakarta, bukannya minta diajak ke tempat-tempat wisata, aku malah minta diantar ke pasar buku di Beringharjo.

Kayuhlah sampai sepeda melaju

Ungkapan klise “alah bisa karena biasa” mau tak mau diakui kebenarannya. Kalau sudah terbiasa menulis, ide itu datang dengan sendirinya. Ibarat naik sepeda, yang paling sulit itu adalah kayuhan pertama. Mungkin kau akan merasa berat dan terseok-seok. Tetapi, sekali sudah melaju, kayuhan berikut-berikutnya akan lebih mudah. Kau pun akan melaju lebih kencang. Namun, awas-awas. Kalau kau melambat atau berhenti, kau akan terjatuh. Berat lagi untuk memulainya. Analogi ini tak terlalu keliru untuk menggambarkan kebiasaan menulis.

Menjelang akhir kuliah, aku sempat magang di sebuah koran Ibu Kota dan menjadi penulis lepas di sebuah majalah seni rupa di Bandung. Aku ingat, pada waktu itu menulis terasa sangat mudah. Aku tak pusing dengan ide. Hal sekecil apa pun bisa menjadi pemicu untuk menulis. Dan, aku bisa menulis dengan sangat cepat. Satu artikel sekitar 2.000-3.000 karakter dapat aku tuntaskan kira-kira dalam waktu setengah jam. Aku bahkan sampai terheran-heran melihat ada kawan yang kesulitan menemukan ide.

Seorang dosen di kampusku punya kebiasaan menyuruh kita membuat tinjauan buku. Namanya mahasiswa, tidak seru kalau menyelesaikan tugas jauh-jauh hari. Pada malam sebelum tugas dikumpulkan, kita biasanya mulai sibuk menulis. Aku selalu berhasil menyelesaikan tugas dan mengumpulkannya keesokan harinya. Teman-teman yang lain biasanya tidak pede karena tidak membaca buku sampai tuntas. Karena ide tidak keluar, mereka lebih memilih tidak mengerjakan tugas. Padahal, jujur saja, aku menulis hanya berdasarkan kata pengantar, daftar isi, dan komentar di sampul belakang buku. Selebihnya tinggal aku kembangkan. Dan, aku cukup bangga, untuk semua mata kuliah penulisan, aku mendapatkan nilai A.

Mau tugas kuliah, cerpen, atau artikel opini, kondisi gagal menulis ini yang sebenarnya acap disebut writer’s block. Terapinya sebenarnya sudah aku sampaikan di atas, biasakan diri menulis. Tidak bisa? Paksakan.

Memaksakan diri untuk mengatasi writer’s block tidaklah salah. Malah, dalam pengalamanku, itu adalah salah satu cara yang paling ampuh. Biasanya, alasan yang kemudian mengemuka adalah tidak tahu harus memulai dari mana.

Memang, ada dua kondisi di mana penulis dapat gagap atau kesulitan menulis. Pertama karena kebanyakan ide, kedua karena tidak ada ide sama sekali. Tentang hal ini, aku punya satu metode yang pernah aku bagikan juga saat sharing penulisan dengan bloger Yogyakarta beberapa waktu silam.

Aku harus jujur untuk mengatakan bahwa metode ini bukan gagasan orisinalku. Aku mendapatkannya dari seorang kawan, yang juga mendapatkannya dari sebuah pelatihan yang ia ikuti. Tapi, aku sudah mempraktikkannya sejak masa mahasiswa dan hasilnya cukup efektif. Metode ini sekarang aku namakan Tantangan 10 Menit.

Jadi, cara bekerjanya kira-kira begini. Siapkan kertas dan alat tulis, lalu dalam 10 menit tuliskan apa saja yang melintas dalam benakmu. Jangan berhenti. Dalam kondisi blank atau tak tahu harus menulis apa lagi, teruslah menulis. Tulislah, “Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku tulis. Aku sudah seperti orang bego saja. Kenapa kayak gini saja aku tidak bisa. Mungkin aku harus menulis tentang bla bla bla dst dlsb en so on en so on...” Pokoknya, teruslah menulis hingga 10 menit berakhir.

Ini kira-kira sama dengan analogi naik sepeda tadi. 10 menit adalah saat-saat awal ketika kayuh terasa begitu berat dan sepeda oleng ke kiri-ke kanan. Tapi, sekali sudah ketemu selanya, percayalah, seterusnya akan terasa lebih mudah.

Apa yang menghambat banyak orang untuk memulai langkah pertama, yaitu mulai menulis, adalah pikiran-pikiran dan asumsi-asumsinya. “Jangan-jangan”, “alah, begitu saja ditulis”, “kayaknya kurang asyik”, dan masih banyak alasan lain.

Dalam menulis yang baik dan benar, sebenarnya dapat dipilah menjadi dua bagian besar saja. Pertama, menulis. Kedua, memeriksa, menyunting, atau membaca kembali tulisan yang dibuat. Itu saja. Tidak usah dibuat susah. Yang menjadi penyakit banyak orang, mereka terlalu banyak alasan sehingga tidak mulai-mulai menulis. Atau, setelah tulisan jadi, mereka malas untuk memeriksanya kembali.

Oke, kita selesaikan dulu tahap pertama. Lupakan semua pikiran atau asumsi yang menghambat. Mulailah menulis. Kalau ada yang salah, itu akan menjadi persoalan pada tahap berikutnya. Untuk tahap pertama, menulis sajalah. Kalau ada yang kurang pas atau mengganjal, tulislah saja. Kalau perlu, berikan tanda atau catatan untuk menjadi perhatian saat menyuntingnya kemudian. Dalam tahap ini, yang perlu dijaga adalah momentum menulis. Biarkan semua mengalir. Berusahalah dengan keras untuk tetap mengalir. Sekali aliran terganggu, kau akan berhenti menulis. Sama seperti naik sepeda tadi. Jadi, jangan berhenti.

Jadilah pembaca yang kritis

[caption id="attachment_399173" align="aligncenter" width="300" caption="Workshop"]

14247816471965974110
14247816471965974110
[/caption]

Membaca dan menulis itu bak dua sisi keping mata uang. Keduanya sejoli yang tak terpisahkan. Bacaan antara lain dibutuhkan untuk menulis dan tulisan itu untuk dibaca. Agar tulisan yang dibuat enak dan bermanfaat bagi pembaca nantinya, bacalah terlebih dahulu.

Sebagaimana nanti pembaca dapat mengkritisi tulisanmu, kritisilah terlebih dahulu. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan. Yang terutama, apakah tujuan penulisan sudah tercapai? Apakah pesan sudah tersampaikan? Ini yang penting. Kau tidak menulis tanpa tujuan. Pasti ada yang ingin dicapai. Pastikan bahwa hal itu sudah terpenuhi.

Jika sudah, berikutnya masuk pada hal-hal teknis penulisan. Pastikan bahwa semua gagasan disampaikan dalam alur yang runtut dan logis. Rasakan, apakah tulisan sudah mengalir dengan lancar dan enak. Di sinilah kesempatan kau untuk mengobrak-abrik dan mengubah susunan tulisan.

Membaca secara keseluruhan juga akan menunjukkan apabila ada hal-hal yang masih kurang atau belum disampaikan. Sebaliknya, akan tampak pula apabila ada bagian-bagian yang terlalu berlebihan atau penjelasan yang bertele-tele.

Kalau mau lebih “berkelas”, pastikan ejaan sudah benar. Gunakan diksi yang tepat. Dan, akan lebih baik lagi jika semua disajikan dalam kalimat-kalimat yang efektif. Hal ini akan jadi faktor pembeda. Sebutlah kau menulis hanya untuk blog. Kualitas penulisan dan penyuntingan yang profesional akan menunjukkan bahwa kelasmu berbeda dengan penulis lain.

Saat kuliah dulu, tulisan bisa menembus media massa rasanya begitu luar biasa. Itu tandanya tulisan tersebut minimal sudah memenuhi persyaratan “tulisan yang baik dan benar” versi redaksi media yang bersangkutan. Selain itu, tulisan tersebut juga berhasil mengalahkan tulisan-tulisan karya penulis lain. Kebanggaan akan lebih berlipat ganda kalau tulisan tersebut bisa menembus media yang dianggap bergengsi, karena standar dan kompetisinya tentu lebih keras lagi.

Menghadapi kompetisi yang ketat, mau tidak mau kita harus memutar otak. Mulai dari pilihan tema hingga gaya penyajian, semua dipastikan sesuai dan memenuhi kriteria media yang dituju. Hasil-hasil karya yang dimuat ini menjadi “jualan” saat melamar kerja di kemudian hari. Somehow, aku yakin bahwa hasil-hasil karya tersebut pula yang mengantarkan aku masuk ke tempat kerja sekarang.

Di kemudian hari, ketika merekrut penulis, aku juga menerapkan hal yang sama. Ternyata, pada era internet dan blog ini, sulit menemukan penulis-penulis yang karyanya telah biasa dimuat di media massa (cetak). Paling banter, mereka menulis di media kampus atau blog. Dan, yang biasa aku temui, mereka sangat lemah dalam berbahasa. Kebanyakan terbiasa menggunakan bahasa tidak baku ala blog. Sayangnya, sering kali aku tidak punya banyak pilihan. Sudah syukur mereka punya kebiasaan menulis. Itu sebabnya, yang menjadi PR kemudian adalah mengasah kemampuan berbahasa (yang baik dan benar) mereka.

Jadi, mampu menyampaikan gagasan secara tertulis adalah satu hal. Menjadi penulis “berkelas” adalah hal lain yang perlu terus diasah.

Mari menulis. Sekarang juga!

*Catatan: tulisan ini dihasilkan dari memaksa diri menulis dan menyuntingnya selama beberapa jam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun