Fenomena pertemanan virtual yang marak terjadi saat ini dapat dilihat sebagai salah satu bentuk nyata dari perubahan sosial yang dipicu oleh perkembangan teknologi. Kemajuan teknologi komunikasi digital—seperti media sosial, aplikasi chatting, hingga ruang obrolan game online—telah menghadirkan cara baru dalam menjalin hubungan sosial, di mana interaksi tidak lagi membutuhkan kehadiran fisik atau tatap muka. Inilah bentuk hubungan yang dikenal sebagai teman virtual, yaitu hubungan pertemanan yang terjalin sepenuhnya melalui media digital.
Menurut Teori Fungsionalis William F. Ogburn, setiap perubahan sosial sering kali dipengaruhi oleh dua unsur budaya:
- Budaya material – seperti teknologi, alat komunikasi, dan sistem digital.
- Budaya non-material – seperti nilai, norma, pandangan hidup, dan kebiasaan sosial.
Dalam kasus pertemanan virtual, budaya material (dalam hal ini teknologi digital) berkembang sangat cepat. Inovasi seperti media sosial dan aplikasi komunikasi mempercepat cara orang saling mengenal, berbicara, dan merasa dekat. Namun, budaya non-material belum tentu langsung ikut berubah. Banyak orang—terutama dari generasi yang lebih tua atau masyarakat dengan nilai-nilai tradisional—masih memiliki anggapan bahwa pertemanan harus dibangun melalui pertemuan langsung, tatap muka, dan interaksi fisik.
Ketimpangan antara kemajuan teknologi dan lambatnya penyesuaian nilai sosial inilah yang disebut oleh William Ogburn sebagai Cultural Lag (kesenjangan budaya). Cultural Lag menggambarkan kondisi ketika perubahan teknologi sudah terjadi, tetapi masyarakat belum sepenuhnya mampu atau mau menyesuaikan nilai, norma, dan cara pandangnya terhadap perubahan tersebut.
Dalam konteks ini, teman virtual dianggap sebagai hal yang “baru”, belum sepenuhnya diterima sebagai bentuk pertemanan yang sah atau serius. Akibatnya, banyak hubungan digital dianggap tidak nyata, kurang valid, atau hanya sementara. Padahal, kenyataannya banyak orang yang menjalin hubungan virtual yang sangat dekat, mendalam, bahkan saling memberi dukungan emosional secara konsisten.
Namun, teori fungsionalis juga percaya bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan, selama perubahan itu terbukti memberikan fungsi atau manfaat yang nyata. Jika pertemanan virtual mampu memenuhi kebutuhan sosial, seperti rasa diterima, dukungan psikologis, atau kerja sama, maka bentuk hubungan ini secara perlahan akan diterima sebagai bagian dari struktur sosial baru.
Proses penerimaan ini berjalan melalui penyesuaian nilai-nilai lama dengan kondisi baru. Misalnya, anak-anak muda mulai dianggap “wajar” berteman lewat online. Bahkan, banyak keluarga yang mulai mengakui hubungan pertemanan atau pacaran yang terjalin secara digital. Artinya, Cultural Lag tidak selalu bersifat permanen. Ketika nilai sosial mulai mengejar ketertinggalannya dari teknologi, maka akan terjadi keseimbangan baru dalam masyarakat tersebut.
Kesimpulan
Fenomena pertemanan virtual bukan sekadar tren sementara, melainkan bagian nyata dari perubahan sosial yang dipicu oleh perkembangan teknologi komunikasi digital. Melalui Teori Fungsionalis William F. Ogburn, hal ini dapat dijelaskan sebagai bentuk Cultural Lag, yaitu ketertinggalan nilai-nilai sosial dalam menyesuaikan diri terhadap kemajuan teknologi. Teknologi disini telah memungkinkan orang menjalin hubungan tanpa tatap muka, namun banyak masyarakat masih memegang pandangan lama bahwa pertemanan harus terjadi secara langsung. Ketimpangan ini menciptakan resistensi terhadap bentuk relasi sosial baru. Namun, seiring waktu, pertemanan virtual terbukti mampu memenuhi fungsi sosial seperti dukungan emosional dan rasa kebersamaan, bahkan melebihi hubungan tatap muka. Karena itu, bentuk pertemanan ini lambat laun mulai diterima dan diintegrasikan ke dalam struktur sosial. Artinya, Cultural Lag bukan hambatan tetap, melainkan proses penyesuaian nilai yang pada akhirnya mendorong masyarakat menuju keseimbangan sosial yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.
Referensi
Budiyanti, S. (2022). Analisis Sosial. Yogyakarta: Jejak Pustaka.