Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Nasi Tak Pernah Salah! Cerita di Meja Makan yang Bertahan hingga Tiga Generasi

13 Agustus 2025   15:10 Diperbarui: 15 Agustus 2025   13:42 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita di meja makan yang bertahan hingga tiga generasi (Freepik/Drazen Zigic)

Sekitar awal 90-an, waktu saya masih bocah ingusan umur 6-7 tahun, ada satu aturan ayah, ibu, amay (bibi), sampai nenek di keluarga besar yang tidak bisa dinego, yaitu makanan di piring harus habis. Bukan "usahakan habis" atau "kalau gak kuat ya sudah." Bukan. Harus habis. Titik.

Kalau ada nasi sisa, lauk tinggal separuh, atau sayur hanya dicolek sekali, maka nasibmu di meja makan akan berakhir tragis.

Hukuman fisik bukan ancaman kosong, bisa berupa penggaris kayu legendaris yang bunyinya "prak!" di telapak tangan, atau sapuan tangkai sapu yang sukses bikin kamu refleks janji gak bakal nyisain makanan lagi (walaupun janji itu mungkin akan dilanggar sampai besok sore).

Saya dan adik saya punya taktik rahasia. Kalau saya sudah gak sanggup makan, diam-diam saya geser sisa makanan saya ke piring dia. Kalau dia yang menyerah duluan, gantian dia sodorkan nasinya ke saya. Kami ini seperti dua pejuang di medan perang melawan nasi yang terlalu banyak, sambalado yang terlalu pedas, atau sayur yang entah kenapa tiba-tiba pahit.

Kadang kami berhasil, kadang tidak. Kalau ketahuan, ya sudah... penggaris pun berbicara. Tapi anehnya, sekarang saya sadar, semua itu bikin kami punya disiplin makan yang sampai sekarang nempel.

Dari Korban Jadi Pelaku

Buat keluarga saya, terutama nenek saya, aturan menghabiskan makanan di piring adalah warisan panjang dari generasi yang pernah hidup di masa ketika makan tiga kali sehari adalah kemewahan yang nyaris mustahil. Nenek saya lahir dan besar di zaman perang kemerdekaan. 

Cerita masa kecilnya tidak diwarnai aroma roti hangat atau suara wajan menggoreng ayam, tapi derap sepatu tentara, suara tembakan di kejauhan, dan perut yang keroncongan hampir setiap malam. 

Nenek dulu sering bercerita, betapa sulitnya mendapatkan segenggam beras, apalagi lauk pauk. Kadang makan cukup dengan ubi rebus atau singkong kering, itu pun harus dibagi ke banyak mulut di rumah.

Waktu berganti. Sekarang saya sudah jadi ibu dari tiga anak yang usianya 6-9 tahun. Dan, tanpa disadari, saya mewarisi aturan meja makan dari nenek serta ayah ibu saya ke anak-anak saya. Bedanya, cerita di meja makan ala saya dan ala anak-anak saya berbeda, tentunya tanpa penggaris atau tangkai sapu.

Sanksi tetap ada, tapi disesuaikan dengan zaman. Saya sudah paham kalau parenting modern punya cara lain yang gak bikin memar fisik, tapi cukup bikin anak "menderita" di zona hiburan mereka. Contohnya, tidak boleh nonton TV, jatah main HP di akhir pekan dikurangi, atau dilarang main sepeda sore ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun