Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Memilih Childfree di Negeri yang Mengkultuskan Keturunan, Salahkah?

28 Juni 2025   08:12 Diperbarui: 28 Juni 2025   08:12 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Childfree juga pilihan (Foto: Freepik)

Santi (bukan nama sebenarnya) tidak pernah membayangkan kalau sebuah pertanyaan sederhana di tengah keramaian keluarga bisa membuat jantungnya berdegup lebih cepat daripada biasanya. Seorang tante menepuk pundaknya sambil membisikkan pertanyaan, “Kapan nyusul punya anak? Jangan kelamaan, nanti susah!”

Senyum Santi mengembang tipis. Dia berdeham, pura-pura batuk, dan cepat-cepat mengganti topik pembicaraan ke resep opor ayam. Itu lebih aman daripada mengatakan hal yang sejujurnya bahwa, "Saya nggak mau punya anak!"

Mengucapkan kalimat itu sepertinya sederhana, tapi di dalam kepalanya itu terdengar seperti pengakuan dosa. Padahal dia tidak membenci anak-anak. Justru Santi suka mendengar tawa mereka yang lepas. Dia gemas melihat pipi chubby keponakannya. Dia mau dunia terasa ajaib di mata mereka, tapi dia tidak ingin melahirkan anak sendiri.

Dan untuk sampai pada kesadaran itu, Santi menempuh jalan yang panjang, berliku, dan penuh air mata.

Sejak kecil, Santi diajari bahwa anak adalah anugerah. Orang tuanya selalu bilang anak itu rezeki, titipan Tuhan, pewaris doa, bahkan investasi akhirat. Bahkan di pelajaran agama, guru ngajinya pernah bilang kalau anak sholeh bisa mendoakan orang tua meski sudah meninggal. Dalam budaya timur yang kental dengan nilai kekeluargaan, punya anak bukan hanya keinginan pribadi, itu semacam kewajiban sosial.

Waktu kecil Santi juga seperti anak perempuan lain. Bermain masak-masakan. Menggendong boneka. Memandikan boneka plastik kecil sambil diomelin ibunya karena air tumpah kemana-mana. Semua itu ditertawakan dengan nada “calon ibu yang hebat.” Jalannya seakan sudah dibuatkan relnya, dan dia tinggal ikut.

Ketika remaja, pertanyaan-pertanyaan halus mulai muncul, membentuk tekanan yang tak kentara tapi sangat nyata. “Kalau nikah muda enak, langsung punya anak.” “Ibu mana yang nggak mau cucu?” “Nanti kalau tua siapa yang ngurus?” Semua kalimat itu diucapkan penuh kasih, tapi juga seperti ancaman halus yang menekan di dada.

Santi tidak menyalahkan mereka yang menanyakan hal itu. Mereka bukan jahat. Mereka hanya mengikuti narasi yang sudah turun-temurun diajarkan. Mereka ingin Santi “aman”, "sesuai jalur," Dalam agama, anak memang ladang pahala. Dalam budaya, anak adalah legacy.

Namun Santi mulai bertanya pada dirinya sendiri, "Bagaimana kalau aku tidak mau?"

Awalnya, Santi juga tidak percaya pada dirinya sendiri. Malam-malam sepi sering diisi tangis yang ia tahan. Kenapa dia tidak merasa rindu punya anak? Kenapa dia tidak punya keinginan memeluk bayi miliknya sendiri? Bukankah itu naluri perempuan? Apakah dia rusak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun