Pernahkah kita membayangkan, di balik sepotong pepes ikan atau sepiring nasi jagung, tersimpan kisah panjang tentang budaya, keluarga, bahkan identitas sebuah bangsa? Makanan lokal bukan sekadar pengisi perut, melainkan warisan rasa yang menautkan generasi. Karena itu, menghadirkan menu berbasis gizi (MBG) dengan sentuhan pangan lokal bukan hanya soal kesehatan anak, tetapi juga tentang bagaimana kita menanamkan cinta tradisi sejak dini, lewat suapan yang sederhana namun penuh makna. Saya pribadi percaya, setiap kali kita menyajikan makanan lokal di meja makan, sejatinya kita sedang menyambungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu hidangan.
Ketika berbicara tentang makanan lokal, kita sebenarnya sedang membicarakan identitas, kearifan, dan sekaligus warisan budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Maka ketika muncul gagasan untuk menghadirkan makanan berbasis gizi (MBG) yang berakar pada pangan lokal, hal ini bukan hanya sekadar inovasi kuliner, melainkan juga sebuah langkah strategis dalam mendidik lidah dan membangun kesadaran anak-anak sejak dini.
Indonesia kaya akan ragam kuliner tradisional yang sehat, sederhana, dan akrab di lidah. Bayangkan jika dalam menu MBG tersaji nasi jagung dengan sayur bening dari Jawa yang kaya serat, atau lontong sayur dengan kuah ringan yang cocok untuk sarapan. Ada pula pepes ikan khas Sunda yang sehat karena dikukus dengan bumbu alami, atau sup konro dan sop buntut dari Sulawesi yang bisa disajikan dengan kuah bening agar lebih ramah di perut anak-anak. Bahkan pangan sederhana seperti ubi rebus, singkong, atau jagung bisa diolah menjadi camilan sehat tanpa tambahan bumbu berlebihan. Semua itu dapat dikemas dalam prinsip gizi seimbang sehingga bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menyehatkan. Dan menurut saya, di sinilah letak keindahannya: pangan lokal tidak hanya bicara soal rasa, tapi juga tentang kesederhanaan yang justru membawa kesehatan.
Pertanyaannya kemudian, apakah anak-anak akan menyukainya jika menu khas daerah mereka disajikan? Jawabannya tentu saja sangat mungkin. Anak-anak pada dasarnya suka mencoba hal baru, apalagi jika penyajiannya menarik. Pepes ikan bisa dibentuk kecil-kecil sehingga mudah dimakan, atau nasi jagung bisa disajikan dalam bentuk bola-bola lucu yang membuat mereka penasaran. Lebih dari sekadar rasa, ada kebanggaan tersendiri ketika mereka mengetahui bahwa makanan yang mereka nikmati adalah bagian dari warisan daerahnya. Hal ini bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya lokal sekaligus memperkaya pengalaman kuliner sejak dini. Saya membayangkan, betapa bahagianya seorang anak ketika tahu bahwa makanan yang ia makan ternyata adalah resep yang sama yang dulu disantap oleh nenek moyangnya.
Namun, membiasakan anak dengan pangan lokal tentu membutuhkan proses. Cara terbaik bukan dengan memaksa, melainkan memperkenalkan secara kreatif. Sajian yang berwarna dan variatif bisa membuat mereka lebih tertarik mencoba. Kisah-kisah sederhana tentang asal-usul makanan juga bisa membuat mereka merasa dekat dengan menu tersebut. Yang tak kalah penting adalah melibatkan anak dalam proses, misalnya membantu mencuci, menghias, atau menata makanan sebelum disajikan. Dengan begitu, mereka merasa memiliki ikatan emosional dengan apa yang ada di piring mereka. Menurut saya, momen-momen sederhana di dapur bersama anak adalah ruang belajar yang tidak kalah penting dari ruang kelas.
Pengalaman di rumah saya sendiri menjadi bukti kecil bahwa pembiasaan ini bisa berjalan. Saya selalu berusaha memasak menu lengkap yang terdiri dari karbohidrat, protein hewani maupun nabati, sayuran, buah-buahan, serta air putih. Karena berasal dari Sunda, menu sehari-hari pun banyak dipengaruhi tradisi kuliner Sunda seperti nasi liwet, pencok kacang, ikan asin, ikan goreng, lalapan segar, tahu, tempe, dan ayam. Di akhir bulan, hampir selalu tersaji sayur asem atau sayur sop yang dipadukan dengan sumber protein, baik hewani maupun nabati. Dari dapur sederhana itu, saya merasakan sendiri bahwa makanan lokal tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga mengikat keluarga dalam suasana kebersamaan, sekaligus menanamkan kebiasaan sehat yang perlahan-lahan melekat pada anak-anak.
Di titik ini, pandangan dr. Tan Shot Yen terasa relevan. Ia selalu menekankan bahwa anak belajar dari contoh. Jika orang tua sendiri tidak memberi teladan makan sehat, anak pun akan sulit suka sayur atau buah. Maka edukasi pertama harus menyasar orang tua, bukan sekadar anak. Karena pada akhirnya, pola makan sehat bukan hanya tentang menu di meja makan, melainkan tentang gaya hidup yang konsisten. Bahkan, beliau mengingatkan, tidur cukup dan makan sesuai kebutuhan tubuh adalah kunci utama kesehatan, bukan sekadar mengejar rasa enak semata.
Lebih jauh lagi, dr. Tan mengkritisi budaya yang terlalu menjadikan artis atau influencer sebagai panutan. Generasi muda, terutama Gen Z, perlu belajar dari sumber yang kredibel, dari keluarga, ustaz/ustazah, atau tokoh yang dipercaya. Ia juga menegaskan bahwa memasak bukan urusan gender, melainkan keterampilan hidup yang penting. "Cooking is a skill," katanya, sehingga pembagian peran di rumah lebih pada kerja sama, bukan sekadar tradisi peran laki-laki atau perempuan.
Membiasakan pangan lokal dalam MBG sebenarnya juga bagian dari pendidikan keluarga. Dari dapur, anak bisa belajar nilai kebersamaan, disiplin, hingga rasa syukur. Dan seperti pesan dr. Tan, orang tua harus bijak dalam memilih panutan dan informasi, termasuk dalam dunia digital. Algoritma media sosial bisa memengaruhi cara kita berpikir, maka lebih baik membatasi konsumsi konten yang menyesatkan dan kembali pada kearifan hidup sehari-hari.
Dengan demikian, menghadirkan makanan lokal dalam menu MBG bukan hanya perkara selera, tetapi juga tentang gaya hidup, pendidikan keluarga, hingga keberlanjutan budaya. Anak-anak akan belajar bahwa sehat itu sederhana, nikmat itu bisa datang dari dapur sendiri, dan warisan kuliner daerah adalah identitas yang patut dibanggakan. Dari piring sederhana di rumah, tumbuhlah kesadaran untuk menjaga kesehatan sekaligus mencintai tradisi. Saya percaya, dari hal-hal kecil seperti inilah kita bisa menyiapkan generasi yang tidak hanya sehat jasmani, tetapi juga kuat dalam identitas dan nilai.