Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Narasi sebagai Realitas

12 Oktober 2021   09:58 Diperbarui: 12 Oktober 2021   10:08 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini bukan bahasan tentang konten 'Narasi'-nya Najwa Shihab yang keren dan kritis itu. Tetapi hendak mendedah ulang apa yang dibahas oleh dokter Ryu Hasan, ahli neurologi yang gemar menyebut dirinya dokdes (dokter bedhes) yang kini aktif wara-wiri di kanal youtube. Uraian yang menurut penulis bisa membuka mata kita terkait fenomena sosial di masyarakat. Bagaimana sebuah narasi tercipta dan hubungannya dengan realitas.

Dalam sejarahnya, nenek moyang kita yang pemburu-pengumpul itu senantiasa hidup dalam bahaya. Ancaman itu bisa datang dari makhluk lain yang lebih besar dan buas. Untuk itu kecepatan atau respons dalam bertindak mutlak diperlukan. Karena nyawa taruhannya. Lengah berarti maut. Ketika melihat ada semak-semak yang bergoyang misalnya, maka otak 'teori konspirasinya' bisa menganggap itu pasti ada harimau. Meski hanya mengarang-ngarang cerita, tapi dia akan selamat dengan peluang hidup yang lebih baik dibandingkan dengan yang sok-sok an dan tidak responsif.

Lah, bukankah ular juga akan refleks bereaksi ketika ada gerakan yang dicurigai membahayakannya? Tentu saja. Tetapi ular tak mungkin menceritakan kepada 'temannya' sesama ular bahwa di tempat itu ada ancaman. Atau primata seperti simpanse yang bisa mengeluarkan teriakan bahaya, tapi hanya pada saat itu saja.

Sementara manusia, sebagai satu-satunya makhluk di muka bumi ini yang diberi kemampuan berbicara dengan bahasa verbal, bisa menciptakan narasi sedemikian rupa kepada temannya agar menghindari tempat tersebut pada kesempatan lain. Meskipun itu belum tentu benar adanya. 

Kelebihan inilah yang akhirnya membuat membuat makhluk homo sapiens ini memiliki kecenderungan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak sesungguhnya. Kenapa? Karena ada manfaat, terutama bagi keselamatan dirinya maupun kelompoknya.

Berkat kemampuan berbahasa verbal pulalah manusia bisa bekerja sama satu sama lain tanpa saling mengenal dibandingkan dengan spesies lain yang punya batasan kelompok untuk saling hafal dan mengenal.

Namun dengan segala kelebihan itu kadang membuat kita mudah pula termakan dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang sepele hanya karena ikatan emosional yang diciptakan dan diada-adakan sendiri.

Karena, meskipun dalam perkembangannya manusia berhasil membentuk sebuah nilai (value) yang mengenal baik dan buruk, namun sejatinya kita lebih tanggap terhadap ancaman atau bahaya daripada harapan. Semakin mengancam sebuah narasi yang didengar maka semakin dipercaya. Jadi jangan terkejut dan heran dengan merebaknya hoax.

Sebuah narasi, apakah itu sebagai konspirasi atau pun hoax yang berkembang seiring dengan nilai tersebut, seringkali pula ditafsirkan secara hitam putih. Padahal sebuah nilai tidak melulu dilihat dengan dikotomis benar atau salah. Baik atau buruk.

Bagi orang Jepang, makan mie dengan suara seruputnya yang khas tentu akan dianggap tidak sopan ketika diundang makan bareng dengan orang-orang di kampung penulis. Atau dari sudut kepercayaan, umat Hindu terlarang makan daging sapi sementara umat Islam melakukan kurban dengan -salah satunya- memotong sapi di hari raya Iduladha. Jadi sebuah nilai itu sendiri bisa menjadi bias. Itulah realitas yang sesungguhnya harus diterima sebagai kenyataan yang ada.

Keniscayaan Realitas

Bagi seorang Albert Einstein, realitas hanyalah ilusi, meskipun sangat gigih. Apakah berarti realitas sejatinya tidak benar-benar ada?

Oxford Dictionary memberikan definisi, bahwa realitas sebagai tempat, keadaan atau kondisi sesuatu sebagaimana adanya. Sebagai lawan dari ide-ide idealis atau gagasan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan realitas secara sederhana yakni kenyataan.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa realitas adalah kenyataan atau kondisi yang ada. Yang bisa jadi tidak sesuai dengan ekspektasi, harapan ideal. Namun bagaimana ketika realitas itu tak lebih dari sebuah ilusi -sebagaimana yang disebut Einstein- yang begitu masif mencecar otak kita?

Menjawab itu tentunya kita harus mendudukkan realitas secara proporsional dan tepat, agar tak terjadi salah persepsi.

Realitas sendiri dapat dibagi dalam 3 (tiga) jenis: Pertama, realitas obyektif, yaitu realitas yang secara langsung bisa diamati, diobservasi, dan dikonfirmasi. Contohnya adalah benda-benda di sekitar kita. Dari mulai gunung hingga satuan atom atau pun bakteri. Kedua, realitas subyektif, yaitu realitas yang hanya dirasakan atau dialami oleh seseorang. Misalnya orang yang merasakan sakit kepala, nyeri, dan sebagainya. Meskipun dokter dapat mengobatinya akan tetapi itu dilakukan setelah mencari indikasi-indikasi yang berkaitan dengan keluhan si pasien. Ketiga, realitas intersubyektif, yakni keadaan atau kondisi yang diciptakan untuk diyakini bersama lewat narasi-narasi. Realitas ini yang mampu menyatukan orang dalam sebuah kelompok yang bahkan untuknya rela bertaruh nyawa.

Lewat narasi dikotomi yang diciptakan sebagai pembeda antara kita dan mereka, maka yang terjadi adalah sebuah realitas intersubyektif akhirnya kerap disalahgunakan dengan menjadikannya sebagai realitas obyektif.

Kita mudah beradu pukul dengan pendukung tim lawan saat turnamen bola antar kampung (tarkam), tetapi akan saling bantu untuk menyerang bobotoh atau jackmania misalnya, terus bersatu padu pula untuk menggeruduk pendukung Malaysia atau Thailand di level Sea Games. 

Itu baru masalah sepak bola. Bagaimana dengan urusan yang lebih besar semisal politik dan agama? Padahal realitas intersubyektif itu adalah realitas itu sendiri. Kenyataan yang harus diterima.

Bogor, 12 Oktober 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun