Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Narasi sebagai Realitas

12 Oktober 2021   09:58 Diperbarui: 12 Oktober 2021   10:08 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi seorang Albert Einstein, realitas hanyalah ilusi, meskipun sangat gigih. Apakah berarti realitas sejatinya tidak benar-benar ada?

Oxford Dictionary memberikan definisi, bahwa realitas sebagai tempat, keadaan atau kondisi sesuatu sebagaimana adanya. Sebagai lawan dari ide-ide idealis atau gagasan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan realitas secara sederhana yakni kenyataan.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa realitas adalah kenyataan atau kondisi yang ada. Yang bisa jadi tidak sesuai dengan ekspektasi, harapan ideal. Namun bagaimana ketika realitas itu tak lebih dari sebuah ilusi -sebagaimana yang disebut Einstein- yang begitu masif mencecar otak kita?

Menjawab itu tentunya kita harus mendudukkan realitas secara proporsional dan tepat, agar tak terjadi salah persepsi.

Realitas sendiri dapat dibagi dalam 3 (tiga) jenis: Pertama, realitas obyektif, yaitu realitas yang secara langsung bisa diamati, diobservasi, dan dikonfirmasi. Contohnya adalah benda-benda di sekitar kita. Dari mulai gunung hingga satuan atom atau pun bakteri. Kedua, realitas subyektif, yaitu realitas yang hanya dirasakan atau dialami oleh seseorang. Misalnya orang yang merasakan sakit kepala, nyeri, dan sebagainya. Meskipun dokter dapat mengobatinya akan tetapi itu dilakukan setelah mencari indikasi-indikasi yang berkaitan dengan keluhan si pasien. Ketiga, realitas intersubyektif, yakni keadaan atau kondisi yang diciptakan untuk diyakini bersama lewat narasi-narasi. Realitas ini yang mampu menyatukan orang dalam sebuah kelompok yang bahkan untuknya rela bertaruh nyawa.

Lewat narasi dikotomi yang diciptakan sebagai pembeda antara kita dan mereka, maka yang terjadi adalah sebuah realitas intersubyektif akhirnya kerap disalahgunakan dengan menjadikannya sebagai realitas obyektif.

Kita mudah beradu pukul dengan pendukung tim lawan saat turnamen bola antar kampung (tarkam), tetapi akan saling bantu untuk menyerang bobotoh atau jackmania misalnya, terus bersatu padu pula untuk menggeruduk pendukung Malaysia atau Thailand di level Sea Games. 

Itu baru masalah sepak bola. Bagaimana dengan urusan yang lebih besar semisal politik dan agama? Padahal realitas intersubyektif itu adalah realitas itu sendiri. Kenyataan yang harus diterima.

Bogor, 12 Oktober 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun