Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sinema dan Mentalitas Kita

4 Agustus 2020   02:02 Diperbarui: 5 Agustus 2020   03:12 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tayangan televisi. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Mungkin banyak yang bosan membahas dan mendengar tentang acara-acara televisi yang  dianggap tidak mendidik seperti sinetron atau pun film televisi dan sejenisnya. 

Tahu kenapa? Karena kita kadung sudah tidak berharap banyak pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang pengawasannya menitikberatkan pada hal-hal pornografi tapi lupa pada hal-hal esensi. Oke, kita lupakan dulu kinerja KPI.

Sinema, baik layar lebar maupun televisi bukan sekedar hiburan di akhir pekan semata, akan tetapi, juga penggambaran realita bahkan angan-angan idealisme setiap orang.

Bagusnya tema-tema film bioskop oleh para sineas kita, sayangnya kurang diikuti oleh para sineas yang bergerak di ranah sinema elektronik (sinetron). 

Meskipun ada beberapa pengecualian seperti: Si Doel Anak Sekolahan, Bajay Bajuri, Preman Pensiun, Ok Jek, dan Tukang Ojek Pengkolan yang sekarang jalan ceritanya malah kedodoran.

Yang lebih parah lagi adalah sinetron yang kerap dilabeli sebagai 'sinetron religi' namun malah merendahkan makna religiusitas itu sendiri. Pemaknaan tekstual yang begitu hitam putih dan instan, akhirnya menciptakan mentalitas halu.

Semangat Nasionalisme

Media hiburan berupa film merupakan sarana yang ampuh dalam penyampaian pesan, termasuk pesan nasionalisme. Di kala semangat nasionalisme sekarang ini menjadi barang yang langka. 

Cobalah mulai dengan hal-hal yang receh dulu. Tidak perlu propagandis seperti kawan-kawan demonstran yang gemar mengusung bendera namun berujung jadi alas duduk kala istirahat. Meminjam istilah Aa Gim, mulailah dari hal-hal yang kecil.

Mungkin ini hal sepele yang kadang luput dari perhatian kita. Tapi, cobalah perhatikan film-film Hollywood, baik film serial maupun layar lebar. Selalu ada dalam alur rangkaian cerita, satu scene yang meski selintas dan tidak difokuskan terlihat bendera Amerika. 

Entah di pojok meja, di sudut ruangan, atau latar pertemuan di gedung pemerintahan. Termasuk dalam genre film-film super hero macam The Avenger. Tidak mesti besar dan menyolok seperti bendera Inggris yang digunakan sebagai parasut-nya James Bond.

Bandingkan dengan sinema kita, adegan di kantor maupun institusi negara pun bendera merah putih kebanggaan kita jarang sekali kena shot. Apalagi dalam dunia sinetron. Kecuali film-film bertema nasionalisme seperti Naga Bonar dan sinetron jelang agustusan.

Mentalitas Halu

Maraknya sinema elekronik alias sinetron di televisi, baik itu serial maupun fim tv lepas membuktikan bahwa dunia hiburan ini sangat digemari masyarakat kita. Terlepas dari cibiran soal kualitas cerita. 

Apalagi sinetron religi yang dibuat secara serampangan. Baik dari segi isi cerita, maupun estetika. Masih ingat viralnya tokoh utama sinetron ini yang digambarkan tidak mempunyai tangan dan terlihat konyol kala bajunya tersingkap saat sang tokoh hendak bunuh diri.

Anggapan itu tidaklah berlebihan, boro-boro menumbuhkan semangat nasionalisme yang kini berubah menjadi ego kelompok. Tapi malah terjadi pendangkalan iman karena jalinan ceritanya yang terlalu tekstual, hitam putih. 

Lihat saja dari judul-judulnya yang akhirnya menjadi bahan olok-olok berupa meme. Contoh salah satu caption Sinetron Dzolim: "Juragan Daging Jenazahnya Berat Sebelah Akibat Curang Dalam Berdagang". Sungguh fantastis!

Belum lagi dengan happy ending-nya yang bagai dongeng HC Andersen versi kekinian. Sang tokoh yang terdzalimi kalau tidak jadi manajer, biasanya langsung kaya mendadak. 

Pola-pola seperti ini jika terus-menerus dijejalkan ke penonton, secara tidak langsung akan membuat generasi halu, generasi pemimpi, sekaligus generasi pemalas. 

Generasi hitam putih yang selalu berharap Tuhan akan langsung turun tangan membalasnya, baik dengan hukuman maupun kenikmatan yang setimpal. Bahkan lebih. Intinya tidak ada usaha sebagai sebuah proses yang menyertainya. Semua serba instan bagai kopi sachet-an.

Dampak generasi halu ini bisa dilihat dalam kondisi nyata di masyarakat. Bagaimana ketika seseorang mengemas jualan mitos akan datangnya kemakmuran, kesejahteraan, dan kejayaan masa silam. Maka muncullah kerajaan-kerajaan bak negeri dongeng diikuti oleh mereka yang terbuai kemakmuran semu.

Juga menumbuhkan generasi yang tak lagi peka alias hilangnya sense of crisis, yang dengan banal mempertontonkan kebodohannya. Ngotot merasa tidak bersalah dan marah tak terhingga saat tertangkap tidak memakai masker di masa pandemi dengan alasan bukan warga dari daerah yang dirazia.

Itulah potret mentalitas halu yang berkelindan dengan sinetron-sinetron yang menjual mimpi dan bukan mengarahkan pada kerja keras untuk menggapai cita-cita.

Bogor, 4 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun