Mohon tunggu...
Madmam Wanahya
Madmam Wanahya Mohon Tunggu... -

Kehidupan itu penuh warna, why so serious...?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Demokrasi Fasis

25 Desember 2012   04:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:05 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan heran dengan judul di atas, karena penulisanya gila. Mohon dimaklumi jika kata-katanya menjadi campur aduk tak jelas dan menimbulkan kontradiksi. Tentu dunia normal Anda sulit menerima model kontradiksi semacam ini. Kalaupun bisa menerima, pastinya setelah Anda mencerna dan berpikir terlebih dahulu sehingga tampak serasi dan seirama sesuai logika.

Bahasa -seingat saya saat masih rasional seperti anda- banyak memuat kosakata yang sekaligus menyimpan antonimnya. Maksudnya, banyak kata-kata yang mengandung suatu arti sekaligus lawannya. Karena pertumbuhan kata-kata seperti ini terus berkembang, maka mohon beribu-ribu maaf saya telah menambahkan kosakata baru seperti judul di atas. Dalam pemahaman orang-orang gila, demokrasi dan fasisme itu sama saja, tidak berbeda sedikitpun. Orang-orang gila adalah manusia yang banyak merasakan kelezatan buah kata tersebut. Lidah dan perut mereka -karena lebih sensitif- tak sanggup melahap kelezatan seluruhnya, mereka pun menyertakan tubuh dan kaki sehingga lidah mereka dipaksa berbicara. Dan setelahnya mereka bertasbih dengan segala pujian. Inilah fasisme demokrasi!

Tersebutlah di sebuah negara, rakyatnya meninggal setiap hari karena kelaparan. Media-media internasional berlomba-lomba memberitakan malapetaka ini. Foto dan video disebarluaskan untuk mengabarkan kematian dan kelaparan yang menimpa. Seolah-olah malikat maut telah membangun pangkalan militer yang tak pernah ditinggalkan kecuali hanya untuk rekreasi, dan setelahnya kembali meninanbobokan penduduknya. Bau kematian dan kelaparan semerbak di setiap sudut kota. Bola mata para penduduk terlihat putih pucat. Sedang bibir mereka tertutupi embun kematian yang membeku.

Jalanan lengan dan sunyi sepi. Tampak hanya para tentara dan warga sipil mengendarai mobil. Mereka terlihat -dibandingkan yang lain- seperti orang asing yang datang mengunjungi orang-orang mati untuk sekedar menyampaikan salam perpisahan. Tentara dan warga sipil tersebut tampak kekar dan cekatan. Mereka adalah kepanjangan tangan pemerintah yang tak henti-henti membantu. Kalau saja tidak ada orang-orang gemuk dan sehat itu, mayat-mayat yang terlantar tak mungkin menemukan orang yang sukarela mengubur dan menyembunyikan mereka dalam tanah. Pemerintahan kami sangat mencintai rakyatnya. Dan seperti itulah, semua pemerintah di dunia ini berlomba-lomba menerapkan cinta model ini.

Di negara yang sudah ditinggal mati rakyatnya ini. Tank-tank, mobil meriam, dan bala tentara berlalu-lalang setiap hari tak seperti biasanya. Mungkin itu parade militer pemerintah yang ingin menegasakan kepada media internasional bahwa negaranya masih dihuni banyak rakyat yang dapat diikutsertakan dalam perang pemilu. Namun sepertinya ada yang janggal. Wajah mereka tak seperti orang-orang yang sedang berparade. Di lapangan utama tak ada panggung untuk para tamu, juga tak ada podium untuk sang panglima. Pasti telah terjadi sesuatu di luar biasa.

Dia mencoba menanyakan keanehan ini kepada seseorang di antara mereka, namun tak ada jawaban. Ia bergumam dalam hati: “Mungkin mereka sedang sibuk akan berperang atau pergi latihan.” Tentara-tentara kami selalu melakukan latihan perang. Mereka sangat menguasai keterampilan ini. Sehingga seorang tentara berpangkat biasa pun mampu mengendalikan beberapa tank dari satu tempat dengan keahlian yang tak dimiliki oleh si pembuatnya sekalipun. Akhirnya kami tahu, bahwa negara adikuasa telah mengirim bala tentara dan para jendralnya untuk latihan bersama di negara kami sebagai wujud perjanjian kerjasama di bidang militer.


Jalanan semakin lama semakin sepi dari pejalan kaki dan terasa begitu mencekam. Hanya terdengar suara rantai tank-tank yang mengarah ke stasiun berita dan kantor-kantor pemerintah. Di negara kami, stasiun berita merupakan elemen paling penting karena pemerintah tahu betul kalau indra pendengaran adalah indra paling kuat yang dimiliki manusia. Sehingga mereka memusatkan pelatihan terhadap indra pendengaran rakyatnya, bahkan sebelum mereka terlahir ke dunia.

Ia kembali ke rumah lantas menjatuhkan diri ke kursi yang sudah lapuk menunggu kepulangan istrinya Khodijah, yang tak kunjung datang. Ia mengira Khadijah pasti pergi ke rumah keluarganya mencari sesuatu yang dapat dimakan. Lama menunggu hingga habis kesabaran. Ia akhirnya pergi menyusul ke rumah mertuanya. Pintu diketuk. Sang mertua pun muncul. Lalu ia menanyakan istrinya. Sang mertua menjawab kalau Khadijah tidak ada. Kemudian ia dibawa masuk ke dalam dan ditanyai tentang peristiwa kudeta. Kata itu melintas cepat di telinganya. Ia berusaha merangkai susunan huruf kata tersebut dalam ingatan sehingga membawanya kembali ke suasana tengah kota yang dipenuhi tank dan meriam. Pikirannya melayang-layang. “Jadi ternyata itu kudeta? Siapa yang mengkudeta? Siapa yang dikudeta? Mereka masih saja terus berebut kekuasaan? Ah, begitulah pemerintah! Tapi untuk apa mereka bertikai? Memperebutkan kota mati? Sangat aneh. Bagaimana mungkin manusia bertikai untuk merebutkan kota yang dihuni orang-orang mati? Seketika ia tersadar kalau ia berbicara dengan rasio, sepertinya ada yang tidak beres dengan pikirannya.

Ia tinggalkan mertuanya yang sedang menunggu jawaban. Ia kembali menyusuri jalan mengetuk pintu-pintu rumah menanyakan Khodijah. Akhirnya ia sampai pada sebuah rumah. Tuan rumah yang ia datangi adalah salah satu oposisi pemerintah yang telah dikudeta tadi pagi. Tuan rumah terlihat begitu gembira di antara anggota keluarganya yang berkumpul. Ia sedang mendengarkan radio. Pimpinan kudeta sedang berpidato tentang kebebasan masa depan dan era baru demokrasi yang katanya akan merangkul seluruh lapisan masyarakat.

Ia kaget dengan demokrasi model baru yang datang di atas tank dan mampu menaungi seluruh penduduk negeri. Pikirnya bisa jadi kematian pun merupakan bagian demokrasi. Saat itu pemimpin kudeta mengajak rakyat untuk keluar rumah dan ikut demo mendukung. Ia lupa kalau yang mampu bergerak adalah orang-orang yang telah dikudeta, dan sekarang mereka berada di tempat persembunyian atau sedang menikmati demokrasi era baru.

Ia menanyakan keberadaan Khadijah, namun tuan rumah itu justru membentak tepat di depan mukanya. Ia kembali berujar: “Aku mencari Khodijah, apa Anda melihatnya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun