Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan GLS

13 Desember 2018   07:27 Diperbarui: 13 Desember 2018   07:38 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Agupena flotim

Literasi sebagai budaya (culture) maupun kebiasaan (habbit) sebenarnya sudah eksis semenjak peradaban manusia mengenal  satuan pendidikan (sekolah) sebagai institusi.  Keduanya merupakan satu entitas, dengan guru dan peserta didik sebagai tokoh  utamanya. 

Sekolah sebagai pusat bersemainya benih-benih pengetahuan dan karakter, senantiasa melibatkan literasi sebagai ciri utama dalam proses menggali, menemukan, membagi, mengolah dan memanfaatkan ilmu pengetahuan itu sendiri. 

Dalam wujud yang paling sederhana, tatkala aktivitas interaksi dan pembelajaran di kelas berlangsung, disitulah sesungguhnya bagaimana literasi di sekolah dipraktekan.  

Outcome dari proses ini biasanya muncul dalam bentuk kecerdasan intelektual, keluasan cakrawala pengetahuan dan keluhuran iman dan budi pekerti peserta didik. Idealnya demikian. 

Namun demikian,  tidak semua proses pembelajaran mampu menghasilkan outcome ideal seperti di atas. Realita ini dialami para penyelenggara dan pelaku pendidikan diberbagai wilayah se Indonesia. Di NTT misalnya, statistik  nilai Ujian Nasional kita secara nasional belum menggembirakan dalam satu dekade terakhir.

 Contoh pada jenjang SMA, rerata nilai UN siswa NTT masih di peringkat 25 dari 34 propinsi se Indonesia, (data Dinas Pendidikan Propinsi NTT 2016, UN tahun 2017, 2018 Kemendikbud tak lagi melakukan perankingan). Jika ingin lebih menukik  pada dampak literasi yang included di aktivitas pembelajaran,  ranking kemampuan peserta didik Indonesia dalam membaca, menguasai sains dan matematika juga rendah dibanding negara ASEAN lain. 


Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah organisasi yang menginisiasi  Program for International Students Assessment (PISA), untuk menilai kemampuan sains, membaca dan matematika siswa di sejumlah negara termasuk Indonesia.

Hasil laporan PISA  pada 2012 dan 2015 menunjukan performa siswa Indonesia pada tiga bidang itu tergolong rendah.

Laporan PISA tahun 2012 seperti dikutip dari laman Kemendikbud, poin  rata-rata kompetensi sains, membaca dan matematika para pelajar Indonesia masing-masing diangka 382, 396 dan 375.  

Pada penilaian tahun 2015, peningkatan signifikan hanya terjadi pada kompetensi sains yakni 403, kemampuan membaca naik sangat tipis menjadi 397 dan matematika 386 poin.  jika dikatagorisasikan dalam peringkat, kemampuan sains siswa-siswi Indonesia berada di urutan 62, membaca diperingkat 63 dan matematika menempati urutan 63 dari 69 negara yang disurvey.

 Dengan data ini, bisa dilihat gambaran performa para pelajar Indonesia, minimal diantara negara ASEAN, yang mana Singapura kokoh di tempat pertama.  Sementara dikalangan orang dewasa, OECD juga melakukan penilaian melaluiu PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies). 

Ini adalah tes kompetensi sukarela dengan segmen orang dewasa  berusia 16 tahun ke atas  yang fokus pada kemampuan literasi, kemampuan angka dan kemampuan memecahkan masalah. Hasilnya, tingkat literasi orang dewasa Indonesia berada pada posisi terendah dari 40 negara yang mengikuti program ini.

Tes PIAAC, menemukan bahwa hanya 1% orang dewasa di Jakarta yang memiliki tingkat literasi yang memadai (Level 4 dan 5). 

Orang dewasa dengan tingkat literasi level 4 dan 5 dari tes PIAAC, dapat mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang yang mengandung informasi yang bertentangan atau kondisional. 

Dan hanya 5.4% orang dewasa di Jakarta memiliki tingkat literasi pada level 3, yaitu dapat menemukan informasi dari teks yang panjang.

Hasil kajian OECD inilah yang sepertinya memantik intervensi pemerintah melalui program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) oleh Kemendikbud pada tahun  2015.  GLS didesain merujuk pada Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti.  

Cakupan kegiatan literasi tidak hanya membaca, tetapi juga dilengkapi kegiatan menulis  (contoh meringkas, menceritakan kembali, meresensi, paraprase dll ) serta beretorika (berpidato, debat , deklamasi dan sebagainya).  Pada awal peluncuran, GLS disosialiasikan dengan gencar. 

Di level kementrian, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah membentuk  satgas GLS yang melibatkan unsur birokrat, akademisi, pegiat literasi, dan LSM. Sosialisasi lintas  sektor melibatkan  Kemetrian Agama, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Perhubungan, dan sejumlah rektor se Indonesia pada 2016.

Advokasi penting yang dilakukan  kepada  kalangan akademisi adalah menjadikan GLS sebagai objek penelitian ilmiah (skripsi, tesis, disertasi), tema dalam KKN. 

Untuk memperkuat GLS di daerah, perlu dukungan pemerintah daerah dalam bentuk regulasi seperti  Perda, Perbup, Surat Edaran sebagai pedoman bagi satuan pendidikan di daerah.   Maka di kabupaten Flores Timur misalnya, pemda memberikan dukungan pada gerakan literasi sekolah melalui surat edaran Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga nomor PKO.420/133/SEKRET 1/2017.

Peran guru

Pada pelaksanaan GLS di tingkat satuan pendidikan, peran guru dan segenap manajemen sekolah berada di garda terdepan. GLS di sekolah tidak cukup semata-mata membaca 15 menit sebelum memulai pelajaran.    Kesannya menjadi sekedar formalitas atau rutinitas biasa. 

Butuh kreatifitas, inovasi dan sinergi  para pendidik untuk misalnya, mendesain program-program sekolah berbasis literasi. Hemat penulis, ada beberapa program strategis yang bisa menopang GLS menjadi semacam school culture yang khas dan berkarakter. 

Pertama, guru dan manajemen sekolah wajib mengkondisikan ketersediaan sumber bacaan beserta tempat membaca yang layak. 

Pojok baca di ruang kelas, lopo baca di halaman sekolah maupun ruang perpustakaan yang representatif disertai beragam koleksi bacaan adalah contohnya. Jika fasilitas seperti ini tersedia, guru-guru cukup merumuskan sistem sebagai alat kontrol untuk memastikan peserta didik memanfaatkannya dengan baik.   

Kedua, aktivitas literasi yang baik akan mempertajam kompetensi diri peserta didik, menulis misalnya.   Ini salah satu indikator, dan untuk mengukurnya guru bisa memfasilitasi media komunikasi di sekolah sebagai ruang kreasi menyajikan tulisan siswa dan warga sekolah secara umum.  

Ketersediaan  media konvensional seperti majalah dinding atau buletin sekolah bisa menjadi solusi. Selain itu, literasi digital dengan media seperti blog sekolah juga  menarik ditengah penetrasi internet dan smart phone yang massif termasuk dikalangan pelajar. 

Kebutuhan media seperti ini penting, untuk menjaga siklus literasi di sekolah.  Siswa tidak hanya berkutat dengan informasi, konsep dan teori yang dibaca, tetapi mampu mengolahnya kembali menjadi produk atau karya dalam bentuk tulisan.

 Siswa yang tulisannya terbit di mading, buletin atau blog sekolah, secara psikologis itu akan melipatgandakan semangat dan motivasinya untuk membaca lalu menulis lagi. Dengan demikian, literasi diharapkan dapat memberi efek jangka panjang pada kemampuan dan kapasitas siswa. 

Khusus menulis, skill ini akan terus dan selalu bermanfaat ketika, misalnya anak berada dibangku kuliah. Keterampilan ini akan sangat membantu mereka dalam menulis makalah, artikel, laporan, skripsi, tesis, karya fiksi dan lainnya. 

Bahkan, kemampuan menulis yang baik akan menjadi modal berharga mereka ketika memasuki dunia kerja.   Banyak bidang kerja menjadikan kemampuan membuat laporan dan kajian yang bagus sebagai syarat khusus bagi para pekerjanya. 

Melatih menulis sejak dini juga membuka peluang siswa-siswi menjadi penulis profesional di masa depan.   

Ketiga, literasi yang baik juga bisa mendukung kemampuan  siswa dalam beretorika . Membaca adalah proses kreatif yang melibatkan sejumlah panca indera penting manusia. Gambaran sederhananya dimulai dari mata yang mengenali huruf, kata, kalimat secara morfologis. 

Kemudian rangkaian bentuk itu dikirim dan diolah diotak. Proses pengolahan ini  melibatkan sejumlah stimulasi yang berhubungan dengan penalaran, pemahaman, analisis dan lain-lain. Informasi hasil olahan itu kemudian diteruskan ke mulut untuk dikomunikasikan.

 Pola komunikasi selain dalam bentuk tulisan yaitu secara verbal. Pada titik ini, desain program sekolah seperti lomba debat, pidato, deklamasi karya sastra akan sangat membantu siswa meningkatkan kemampuan berbicara dan menyampaikan pendapat. 

Pengalaman literasi dengan mengenali ragam kosa kata, gaya bahasa, konteks kalimat dan aspek  lingustik lain penting bagi siswa untuk membangun alur berpikir  logis dan runut, mengembangkan argumen dan menguasai konteks suatu topik, lantas dikomunikasikan secara lisan.  

Berkaitan dengan ini, terobosan MTs Negeri 4 Flores Timur di Pulau Adonara dengan program Literasi Pagi yang  menyediakan ruang berbicara bagi siswa pada apel pagi wajib diapresiasi. 

Sebelum mendapat giliran berbicara, seorang siswa diwajibkan membaca di perpustakaan sekolah atau sumber lain untuk memperkaya topik yang akan disampaikan dihadapan semua warga sekolah. 

 Inilah bukti bagaimana siklus literasi lintas mode dijalankan, dari bahan tulisan, dibaca lalu diolah menjadi pesan lisan dan sebaliknya. 

 Kemampuan menalar dan beretorika yang baik akan memberikan dampak turunan pada soft skill siswa, seperti public speaking, membuat keputusan, merumuskan kebijakan  dan membangun jejaring. 

Sampai pada titik ini,     GLS  wajib hukumnya, karena ia menjadi pintu masuk bagi beragam kecakapan individual siswa, seperti menulis, berbicara, dan tentu saja pengetahuan dan wawasan. Untuk mencapai itu semua, guru adalah master designnya. 

Support guru pada aktifitas literasi dasar di sekolah selain berupa fasliitas dan kebijakan program pendukung, satu lagi yang tak kalah penting adalah model. Dalam segala aktifitas literasi, sebisa mungkin guru harus menjadi role model bagi siswa. 

Sebagai pendidik dan pembimbing guru mesti menjadi contoh dan inspirator bagi para pembelajar. Bagaimana mungkin guru mendorong siswa untuk membaca dan menulis, sementara sang guru sendiri jarang melakukannya? Mading atau blog sekolah akan elok dipandang, jika di sana bertebaran artikel guru dan ragam karya fiksi/nonfiksi siswa-siswi. 

 Siswa juga akan terkesan dengan sosok guru yang berbicara dengan alur logika yang runut, dengan tutur bahasa yang santun dan membakar motivasi, serta didukung perilaku yang menginspirasi. 

Dengan demikian, siswa belajar dari apa yang dilakukan guru (modelling), bukan apa yang dikatakan.  Inilah alasan, mengapa peran guru urgen bagi kecemerlangan aktifitas literasi di sekolah. 

Siswa yang cinta buku, didukung guru yang kreatif mendorong minat baca siswa, ditambah sekolah yang responsif memfasilitasi ketersediaan sumber bacaan, kolaborasi ini akan melahirkan sekolah dengan budaya literasi yang hebat dan lulusan yang gemilang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun