Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sejuta Ide Mengalir Dibalik Secangkir Kopi

16 Mei 2015   08:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:56 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_417802" align="aligncenter" width="250" caption="Illustrasi, Secangkir Kopi dari Nescafe"][/caption]

Tidaklah mengherankan, jika komunitas kita gemar minum kopi. Di daerah asal kelahiranku, Jember, kopi identik dengan warna hitam. Kopi murni warnanya pasti hitam, dan itu yang paling disuka. Bagi masyarakat berpendapatan rendah di daerahku, minum kopi murni masih dianggap mahal. Karena itu kopi MURNI diplesetkan menjadi "kopine sak klumur, campurane sak goni" hehe..:). Benar, itu hanyalah majas untuk menyatakan "kopi murni" yang mereka sukai dianggap mahal. Karena itu, rakyat bawah cukup puas minum bubuk "Kopi Campuran", meski tidak murni yang penting HITAM".

Kopi dengan komposisi campuran seperti apapun, yang penting ada unsur kopinya, ada unsur hitamnya... :).  Selingan bait di bawah ini mungkin bisa menggambarka suasana itu:

Hitam, hitam manis, oh hitam manis, minum tak jemu (2x) setiap hari.

Bait di atas seperti penggalan lagu dangdut ya? Mungkin hal itu untuk menggambarkan bagaimana "kopi hitam", "kopi murni", atau "kopi rakyat" menyatu dalam kehidupan sehari-hari komunitas bawah.

Ohh... jadi, jenis kopi ada hubungannya ya dengan status ekonomi masyarakat. Ya dong! Kopi-kopi pilihan yang harganya mahal, bukan dikonsumsi oleh rakyat bawah bukan? Lihat dan bandingkan aja harga kopi murni jenis Arabika atau Robusta. Bahkan ada kopi yang keluar dari anus binatang justru harganya jauh lebih  mahal, Wow!. Itulah Kopi Luwak namanaya. Unik bukan? Ada lagi Java Coffee, ada kopi Exelsa, Liberica, dan kopi Nescafe yang akrab di seluruh lapisan masyarakat. Ah ... apapun namanya, bagi warga di desaku yang penting kopi, dan tiap pagi-sore bisa minum secangkir kopi hitam. Bagi masyarakat desa, seolah minum kopi adalah ritual harian.

Bagi masyarakat kota sekalipun, minum kopi merupakan salah satu kegemaran sehari-hari. Dibalik secangkir kopi, ada hubungannya dengan "nano-nano", apa saja. Bagi penggemar kopi seperti aku, ada sejuta ide mengalir dibalik secangkir kopi. Wah, ketika jari-jemari nombolin keyboardseperti saat nulis Kompasiana ini, secangkir kopi Nescafe setia menemaniku. Seolah, pikiran terasa hangat, mengalir deras ide-ide segar sehabis "nyruput" kopi. Hmm... nikmatnya!

Bagiku, minum kopi tidak harus selalu hitam. Namun kopi ya tetaplah kopi, dicampur dengan apapun tetap ada rasa kopinya, pahit! Uniknya, meski ada unsur pahitnya, tapi bikin ketagihan. hehe... :). Meski dicampur dengan gula dan susu sekalipun, kopi ya tetap kopi, ada pahitnya.   Meminjam kalimat dari penulis novel yang kisahnya diangkat di layar lebar (Dee Lestari dalam Trinity Production.com , 8/4/2015), dikatakan bahwa:

“Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”

Untaian kata di atas adalah penggalan kutipan dari film Filosofi  Kopiyangdiangkat dari novel karya Dewi Lesatri atau lebih dikenal Dee Lestari.Demikian perusahaan Trinity Productionketika menyampaikan New Release tentang "dongeng secangkir kopi" yang ditulis oleh Dee Lestari sendiri dan dipublikasikan di websiteTrinityproduction.

Jika Dee Lestari menceriterakan kisah "ada cinta tumbuh dibalik kebun kopi", saya coba tunjukkan kisah inspiratif yang berbeda. Alkisah disebutkan, salah satu organsiasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama' (NU) lahir dari gagasan-gagasan cerdas yang mengalir  di kedai kopi Surabaya. Hal ini seperti yang ditulis kawan saya, ketika menanggapi sebuah artikel yang saya tulis. Baiklah saya kutip pernyataan dia yang juga seorang kompasianer:

“Tema ringan pertemuan pegiat kompasianer di Malang “di balik secangkir kopi” tentu tersimpan filosofi yang mendalam. Secangkir kopi bisa menjadi medium apa saja, mulai dari pertemanan, bisnis, perjodohan, resolusi konflik, hingga pembahasan pelik masalah kenegaraan oleh masyarakat grassroot. Kopi sebelum diproses memang keras dan setelah ditumbuk halus pun rasanya masih pahit. Namun, setelah diseduh dengan air panas dan ditambah sedikit gula, lalu dihidangkan dalam secangkir gelas ternyata mampu menciptakan efek nano-nano. Alkisah, organisasi sosial keagamaan terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama’, bermula dari pertemuan para ulama’ di salah satu kedai kopi di Surabaya pada tahun 1926-an yang silam. Bagaimana dengan “kopi kompasiane”, akan melahirkan apa ya….?”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun