Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Petik Kearifan Budaya Lokal Keraton Yogyakarta

24 Desember 2016   23:55 Diperbarui: 25 Desember 2016   11:31 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian dari Kompleks yang Dijadikan Museum/Dok. Pribadi
Bagian dari Kompleks yang Dijadikan Museum/Dok. Pribadi
Hunian Kesultanan/Dok. Pribadi
Hunian Kesultanan/Dok. Pribadi
Balairung Istana berkesan mewah/Dok. Pribadi
Balairung Istana berkesan mewah/Dok. Pribadi
Benda-benda bersejarah terawat dengan baik di museum, menempati sebagian kompleks Keraton yang dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka, hadiah raja-raja Eropa, dan warisan sejarah lainnya. Museum itu bernama Museum Sri Sultan Hamengkubuwono IX, diresmikan pada 28 Nopember 1992.

Monumen Sri Sultan Hamengkubowono IX/Dok. Pribadi
Monumen Sri Sultan Hamengkubowono IX/Dok. Pribadi
Pintu masuk kawasan museum/Dok. Pribadi
Pintu masuk kawasan museum/Dok. Pribadi
Suasana dalam museum Keraton/Dok. Pribadi
Suasana dalam museum Keraton/Dok. Pribadi
Suasana sebuah sudut museum/Dok. Pribadi
Suasana sebuah sudut museum/Dok. Pribadi
Hingga kini, keraton itu sudah berumur lebih dari 250 tahun sejak didirikan. Pasca Indonesia merdeka, secara administratif Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Yogyakarta) diserahkan ke pangkuan pemerintah Republik Indonesia.

Piagam Amanat Penetapan/Dok. Pribadi
Piagam Amanat Penetapan/Dok. Pribadi
Benda-benda bersejarah/Dok. Pribadi
Benda-benda bersejarah/Dok. Pribadi
Meja kursi tempat pertemuan bersejarah/Dok. Pribadi
Meja kursi tempat pertemuan bersejarah/Dok. Pribadi
Uniknya, rumah tangga istana kesultanan itu masih menjalankan tradisinya hingga sekarang, seolah layaknya kehidupan sebuah kerajaan yang masih aktif.

Seperti saya saksikan kala itu, beberapa wisatawan asing berbaur dengan wisatawan domestik. Mereka menikmati musik gamelan yang dimainkan oleh orang-orang berpakaian ala Keraton di dalam kompleks istana.

Gamelan Keraton/Dok. Pribadi
Gamelan Keraton/Dok. Pribadi
Sisi lain, saya sempat mencium aroma bau khas kemenyan. Benda itu baru saja dibakar di sebuah sudut sekitar kompleks Keraton. Entah apa maknanya.

Bakar kemenyan/Dok. Pribadi
Bakar kemenyan/Dok. Pribadi
Abdi Dalem,Blangkon dan Kearifan Lokal


Para abdi dalem Keraton, hingga kini masih tetap setia bergiliran bekerja mengurusi rumah tangga istana, jelas sang pemandu wisata kami. "Setiap hari mereka menyisihkan waktunya selama dua jam untuk bekerja di Keraton", tambahnya.

Saya menyaksikan, para abdi dalem sedang berjajar di serambi kompleks Keraton dengan pakaian khasnya, memakai sarung batik, pusaka keris dan “blangkon. Sayang, kami tak diperkenankan memotretnya dari jarak dekat, sang pemandu mengingatkan kami.

Para abdi dalem berjajar di kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Para abdi dalem berjajar di kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Pemakai Pakaian Keraton saat berjalan di Kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Pemakai Pakaian Keraton saat berjalan di Kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Blangkonnya terlihat sedikit mbendhol (menonjol) di bagian belakangnya, sementara bagian depannya halus. Tutup kepala ini unik, mengandung filosofi yang dalam. Blangkon menggambarkan karakter Jawa halus yang tidak suka blak-blakan.

Tersedia blangkon di Kawasan Kompleks Keraton/Dok. Pribadi
Tersedia blangkon di Kawasan Kompleks Keraton/Dok. Pribadi
“Manusia Jawa”, berusaha menutupi aib demi menjaga perasaan orang lain. Meski hatinya sedih atau marah, ia simpan dalam-dalam. Kehidupannya sarat dengan bahasa simbolik.

Mungkin hal itu relevan dengan peribahasa Jawa, “Mikul dhuwur, mendhem jero”, artinya “menjunjung tinggi kelebihan orang lain, dan menutupi aib orang lain”. Sebuah filosofi manusia Jawa Keraton yang selalu berusaha menghargai tanpa meninggalkan luka sedikitpun di hati lawan bicaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun