“Kami tidak ingin menjadi petani lele sukses, tetapi ingin menjadi guru bagi petani lele yang sukses,” demikian kata Cak Malik kepada kami di kolam lelenya, Peterongan Jombang. Di tempat terpisah, sahabat seniornya yang lebih dahulu sukses memelihara lele di kawasan Minapolitan Lele Banyulegi Pasuruan mengatakan, “Memelihara lele itu mudah, tapi tidak semua orang sanggup menyediakan pakan lele yang murah. Kunci sukses budi daya lele itu ada pada pakannya.” Rupanya, Cak Malik dan sahabatnya itu mampu memecahkan masalah ekonomi setempat melalui kegiatan minabisnis (bisnis perikanan) lele.
Sebagai gambaran simpel, Cak Malik bermodalkan Rp 30 juta untuk bibit lele dan bahan baku pakannya. Dalam tempo sekitar 6 bulan, usahanya memperoleh pendapatan kotor senilai Rp 90 juta. Sementara sahabatnya di Banyulegi Gunungsari Pasuruan, dengan biaya bibit Rp 5 juta, biaya pakan Rp 10 juta, dalam waktu 3 bulan memperoleh pendapatan kotor Rp 30 juta. Pendapatan sebesar ini tinggal dikalikan dengan seberapa banyak kemampuan produksinya. Maka wajar, jika masyarakat sekitarnya tertarik membuka usaha lele hingga daerah ini dikenal sebagai Kawasan Minapolitan Lele. Daerah itu berada di Dusun Banyulegi, Desa Gunungsari, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, JawaTimur yang kami kunjungi pada Minggu lalu (26/6). Apa rahasia suksesnya?
Menegok Kawasan Minapolitan Lele di Banyulegi
Ditemani Cak Malik, pada hari Minggu itu kami diantarkan untuk melihat dari dekat kolam-kolam lele milik sahabatnya. Lokasinya berada di Dusun Banyulegi. Dari pertigaan jalan raya menuju daerah ini, terdapat papan penunjuk arah bertuliskan “KAWASAN MINA POLITAN LELE”. Apa arti Minapolitan itu?

Sebagai bagian dari Kawasan Minapolitan lele, Kecamatan Beji berpenduduk 80.669 jiwa menurut data kependudukan 2009-2013, terdapat sentra lele di Banyulegi. Sebuah sumber menyebutkan, dari 150 KK yang terdapat di Dusun Banyulegi pada tahun 2012, mayoritas warga yang sudah menekuni usaha ternak lele sebanyak 84 KK, termasuk kepala desanya ketika itu (H. Abdul Hamid). Menurut sumber tersebut, budi daya lele di kawasan ini pertama kali dirintis sejak tahun 1990.
Setiba di lokasi, kami menyaksikan bagaimana lele-lele itu hidup di kolam-kolam dengan ukuran yang bervariasi. Ada kolam yang dibuat di atas tanah dengan dinding beton. Namun, kebanyakan terdapat di areal persawahan atau pekarangan dengan cara digali. Sumber pengairannya berasal dari air sungai, bukan dari pompa air. Tampak lele-lele itu saling berebut makanan, saat pakan dari olahan limbah telur itu ditebarkan di atas kolam.

Dari mana pakannya mereka peroleh? Mereka membentuk komunitas dan membuat pakan sendiri. Bahan bakunya berasal dari limbah telur. Sayang, meski limbah telur kaya protein, tapi baunya cukup menyengat. Limbah itu didapatkan dari perusahaan penetasan telur dengan sistem kontrak. Telur-telur yang tidak menetas itulah yang diolah menjadi pakan lele. Oleh karena itu, dapur pengolah pakan itu diletakkan agak jauh dari pemukiman penduduk. Lokasinya terletak di pinggir sungai dekat pekuburan. Kita bisa bayangkan, bagaimana baunya?



Budi Daya Lele dan Spirit Pemberdayaan ala Cak Malik
Kunci sukses budi daya lele lainnya adalah terletak pada karakter kinerja entrepreneur seperti ditunjukkan oleh Cak Malik. Dia bertindak kreatif dan bekerja keras untuk menghasilkan yang terbaik. Saya jadi ingat kata Rudy Fang dalam sebuah diskusi bersama beberapa bulan lalu (2016). Dia mengatakan, “Jika Anda hanya bisa menyapu, maka jadilah tukang sapu terbaik di dunia.” Terlepas Anda setuju atau tidak, inilah yang saya maksud dengan contoh karakter kinerja entrepreneur, bukan sekedar karakter moral seperti diajarkan dalam sistem persekolahan
Pelajaran itu saya peroleh dari Cak Malik, yang juga alumnus pesantren pada Lembaga Pendidikan Al Kaaffah Kepanjen Malang. Sekitar seminggu sebelum mengunjungi Banyulegi, kami berempat melihat kolam miliknya yang dijadikan eksperimen. Lokasinya di pinggir jalan raya Peterongan Jombang. Kolam-kolamnya berada di belakang pekarangan rumahnya dengan ukuran yang beragam.
Cak Malik memanfaatkan limbah ayam mati. Setelah dimasukkan dalam air panas, ayam-ayam mati itu dicabuti bulu-bulunya. Bahan pakan limbah ini kemudian dihancurkan dengan mesin giling. Untuk mengurangi baunya, Cak Malik menyiram lokasi bekas pemrosesan pembuatan pakan dengan air gamping. Sangat efisien. Menurutnya, rata-rata biaya operasional produksi pakan dari limbah ayam hanya Rp 2.300/kg. Pakan siap saji itu Cak Malik berikan hanya pada malam hari, sekali dalam setiap harinya. Menurut Cak Malik, hal itu sesuai dengan tipikal lele sebagai binatang malam. Sungguh pun demikian, setiap 10 hari sekali, Cak Malik memberikan variasi menu makanan khusus dari pelet untuk perbaikan protein dan obat bagi lele-lelenya.


Bahkan Cak Malik telah menyiapkan pola budi daya lele yang cocok untuk jama’ah lain. Setiap jamaah (tiap satu Kepala Keluarga) dipersiapkan mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp 5 juta untuk setiap bulannya. Caranya, tiap jamaah tinggal mengambil bibit lele ukuran khusus dan pakan yang telah ia siapkan. Tiap bulan bisa dipanen. Salut.
Catatan Akhir Untuk Refleksi
Hemat saya, apa yang dilakukan mereka merupakan perwujudan riil dari pemberdayaan ekonomi rakyat. Usahanya berspirit socio-preneur. Muncul inisiasi kegiatan bisnis yang melibatkan rakyat banyak. Meskipun usaha Cak Malik masih dalam taraf riset sederhana, tapi tanda-tanda keberhasilannya sudah tampak. Buktinya, hanya sekitar 5% bibit lelenya yang mati, selebihnya bibit itu tumbuh besar hingga berumur 4 bulan 10 hari. Demikian pula dengan budi daya lele di Kawasan Minapolitan Lele Banyulegi Pasuruan. Fakta ini merupakan bagian dari wujud nyata konsep pembangunan wilayah berprinsip “daerah kuat, makabangsa dan negara pun kuat”.
Sepulang dari sana, kami berdiskusi dengan teman-teman bagaimana bisa mewujudkan jejaring ekonomi kerakyatan di tempat lain. Perlu solusi agar masyarakat pinggiran dan institusi-institusi pendidikan di daerah dapat hidup mandiri secara ekonomi. Mereka tidak harus berlomba mengajukan proposal bantuan. Karenanya mereka perlu fasilitasi agar dapat saling bekerja sama memanfaatkan potensi lokal masing-masing. Ada contoh untuk itu, ialah Korea Selatan. Negeri Ginseng ini punya institusi sosial "Semauel Undong" sebagai gerakan membangun desa maju. Kita juga punya tradisi "gotong royong". Kini tradisi itu perlu dihidupkan kembali untuk diisi dengan usaha ekonomi saling berbagi, seperti halnya pelaku budi daya lele di Banyulegi dan Jombang. Saya yakin, Anda merupakan bagian penting dari pemecah masalah ekonomi rakyat di tempat Anda! Mari kita saling berbagi untuk memecahkan masalah itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI