Mohon tunggu...
mohammad endy febri
mohammad endy febri Mohon Tunggu... Administrasi - Orang awam

Asuh fikiran, lahirkan keyakinan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Syeikh Ahmad al Fathani dan Sejarah Percetakan Riau Lingga

2 Oktober 2016   20:36 Diperbarui: 2 Oktober 2016   20:49 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkisah tentang masa lalu Melayu, tak bisa diingkari ingatan kita akan dilarikan kepada benteng, bangunan kerajaan yang dominan bercat kuning dan mulut meriam atas bukit yang mengarah ke pantai. Lalu disambut hembusan angin disepanjang pelantar atau bom berlatarkan pemandangan hamparan laut diisi kapal – kapal kayu yang kokoh menyisip diantara jong sebagai alat angkut turun – temurun yang berjejer ditepi pantai.

Budaya Melayu yang dibangun kental dengan nuansa Islam, sungai dan uap air asin ini, jarang mengingatkan kita betapa agungnya budaya tulis yang pernah dimiliki puak ini. Rata – rata kita hanya mengenal nama ulama dan pujangga Raja Ali Haji dengan gubahan Gurindam Dua Belasnya semata. Entahlah mengapa.

Ahli sejarah selalu mengaitkan kebudayaan aksara dan angka merupakan peninggalan premium dari suatu kaum, selain sesuatu yang berbentuk mega struktur pastinya. Itulah sebabnya mengapa hitungan tahun Sebelum Masehi (SM) diartikan bahwa, belum ada peradaban didunia ini mampu memiliki kesepakatan memaknai arti dari susunan huruf. Kasarnya, manusia dianggap belum sampai pada masa yang seharusnya ia ada.

Teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow menyimpulkan, apabila kita memiliki keinginan baru, artinya kebutuhan setingkat dibawahnya sudah terpenuhi terlebih dahulu. Karya dari olah fikir dan olah rasa disemayamkan pada posisi tertinggi dalam formasi segitiga Maslow, termasuk didalamnya aktualisasi diri.

Proses aktualisasi diri Melayu sebagai sebuah kaum, bermula sejak para putera bangsa ini merantau ke berbagai tempat, mencari dan menemukan hal baru dinegeri orang, lalu mempengaruhinya. Baik menetap diluar ataupun sekembalinya ke kampung halaman.

 Dalam buku Syeikh Ahmad Al Fathani Pemikir Agung Melayu dan Islam (Jilid II) karangan Wan Mohd Shaghir Abdullah; Tok Dil – begitu saya memanggil sang penulis – mengisahkan tentang asal muasal dunia pensyarahan dan percetakan serta pengaruhnya ke semenanjung Melayu, termasuk diwilayah kerajaan Riau Lingga pada masa itu.


Dibukunya, Tok Dil yang semasa hidupnya rajin bersilaturahim mengunjungi para narasumber kunci sekaligus mengumpulkan naskah atau bukti pendukung mengenai sepak terjang ulama – ulama Asia Tenggara ini, mengerucutkan pada satu nama. Syeikh Ahmad Al Fathani.

 Cerita ini bermula saat Syeikh Ahmad Al Fathani (SAF), ulama Melayu asal Patani Thailand itu bermukim di Mekah dan bersahabat dengan Syeikh Mushthafa alBaby alHalaby. Syeikh Mushthafa adalah pemilik mathba’ah atau percetakan di Mesir. Karena ilmu SAF mengenai agama, teknik penulisan dan sastra dianggap mumpuni, Syeikh Mushthafa mempekerjakannya sebagai penyimak (editor) kitab – kitab Arab yang sedang diproses di Mathba’ah miliknya.

Sampai suatu masa, mereka beda pandangan. SAF kecewa karena percetakan Syeikh Mushthafa selalu menolak usulannya untuk mencetak karangan – karangan ulama yang berasal dari dunia Melayu. Percetakannya menganggap akan bermasalah pada pemasaran karena kitabnya akan sepi peminat. Ditambah lagi, Syarif (Raja Mekah) saat itu tidak membenarkan kitab – kitab selain berbahasa arab ditransliterasi dan disebarkan di Mekah dan Madinah.

Diam – diam, SAF mencari percetakan yang bisa bekerjasama. Bertemulah dengan pemodal yang bernama Al Amjad al Kasymiri dan anaknya, Abdul Ghani. Lalu terbitlah kitab Melayu berbahasa arab pertama yang dicetak di negeri Mesir, Hidayah as Salikin karya Syeikh dari Palembang, Abdus Shamad al Falimbani dipercetakan Syeikh Hasan at Tukhi.

Sadar akan keadaan yang kurang bersahabat kedepannya, SAF menghubungi Sultan Abdul Hamid Khan ats Tsani, Sultan Turki Utsmaniyah. Kemudian SAF banyak menghabiskan waktunya ke berbagai tempat di Timur Tengah untuk belajar mematangkan teknik cetak. Sampai akhirnya ia dilantik oleh Sultan Turki sebagai kepala percetakan kerajaan Turki.

Diluar aktivitas dunia cetak, SAF adalah ulama, penulis dan juga politisi. Sebab inilah SAF berturut – turut mempertemukan muridnya dari dunia Melayu dengan Sultan Turki, untuk meminta pendapat dan bantuan Sultan agar melepaskan dunia Melayu dari penjajahan.

Beberapa muridnya dari semenanjung Melayu yang dibawanya menghadap adalah: Raja Haji Ali Kelana, Raja Haji Utsman atau lebih dikenal dengan Raja Khalid Hitam bin Raja Hasan Riau, Dato’ Nik Mahmud (Perdana Menteri Paduka Raja Kelantan) dan Dato’ Laksamana Kelantan serta Haji Sulung al Fathani (Bapak Revolusi Islam Patani saat perang dunia II). Pertemuan itu terkait langkah politik dunia Melayu melawan penjajahan asing.

Pada Tahun 1307 H/ 1889 M SAF dilantik sebagai penasehat Syarif (Raja Mekah). Ditahun yang sama pula SAF dihadiahi kewarganegaraan Turki oleh Sultan, untuk memudahkan geraknya dalam urusan ‘kitab’ dan politik, tepatnya 28 Rajab 1307 H/ 1889 M.

Jejaring Al Ahmadiah

Dalam buku cetakan Khazanah Fathaniyah Kuala Lumpur yang merupakan Pusat Penyelidikan dan Penyebaran Khazanah Islam Klasik dan Moden Dunia Melayu itu, disebutkan Tok Dil bahwa untuk memajukan percetakan dunia Melayu, SAF melantik beberapa murid untuk membantu tugasnya.

Diantaranya, Syeikh Daud bin Ismail al Fatani sepupu SAF yang awalnya bertugas membantu SAF di Mekah, ditugaskan di Percetakan al Miriyah al Kalantaniyah di Kota Bharu Kelantan. Kemudian, Raja Ali Kelana dipercaya mengelola percetakan al Miriyah ar Riyauwiyah, yang berkembang menjadi percetakan al Miriyah al Ahmadiyah. Nama al Ahmadiyah diberikan oleh kaum intelektual Riau (Penyengat) untuk mengenang jasa SAF sebagai guru yang memperjuangkan kitab – kitab Melayu di Timur Tengah serta peran Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi.

Masa itu Kepulauan Riau dikenal dengan nama Riau Lingga. Percetakan Riauwiyah/ Ahmadiyah di Pulau Penyengat yang melibatkan Raja Haji Ali Kelana diperkirakan berdiri pada tahun 1894 M (U.U Hamidy) dan tahun 1893 M (Abu Hassan Sham). Perkiraan Tok Dil sang penulis buku tentang SAF, berdirinya Ahmadiyah (Penyengat) pada tahun 1882 M, karena literatur pendukung lainnya dan SAF sudah mempelajari sastra arab secara mendalam mulai tahun 1288 H/ 1871 M, diusia 16 tahun.

Semasa hidup Tok Dil, adik kandung dari almarhum Kakek saya ini, beberapa kali bertandang kerumah keluarga kami di Tanjungpinang. Saat jeda perjalananya pulang – pergi dari Kuala Lumpur ke Provinsi Kepulauan Riau (Natuna dan Anambas), Riau dan Singapura, kala memfokuskan dirinya meneliti sejarah Percetakan Ahmadi dan menelisik bukti pendukungnya.

Dalam bukunya tahun 2005 (cetakan pertama) itu, Tok Dil menjelaskan bahwa Percetakan al-Ahmadiah Singapura tidak sama dengan percetakan al Ahmadiah Riau (Penyengat). Ahmadiah Singapura merupakan cabang dari Syarkah Al Ahmadi & Co dari Pulau Midai, Natuna. Ide mendirikan percetakan di Singapura, berawal dari Raja Haji Ahmad bin Raja Haji Umar atau dikenal dengan Tengku Endut. Keinginan tersebut mucul karena  pertemuannya dengan Syeikh Muhammad bin Ismail al Fathani yang menceritakan cita – cita SAF terkait dunia percetakan di tanah Melayu.

Syarikat tersebut lahir saat Raja Haji Ahmad menghadap Sultan Abdur Rahman Mu’azzam Syah (Sultan Riau Lingga terakhir) di Pulau Penyengat. Pada 10 Syaban 1324 H/ 17 September 1906 M berdirilah perusahaan yang awalnya fokus pada perniagaan semata. Kemudian hari, pada masa kemerdekaan, Al Ahmadi Midai dikunjungi oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan tersirat dalam sejarah sebagai koperasi pertama di Indonesia.

Cabang dari perusahaan Ahmadi Midai, mulai dijalankan di Singapura oleh Raja Ali bin Raja Muhammad pada 1 Saban 1333 H/ 14 Juni 1915 M. Raja Ali juga dikenal dengan nama Tengku Selat. Ia berjasa mengalahkan lanun disekitar Laut Kepulauan Letung dan Tarempa atas perintah Sultan Abdur Rahman Mu’azzam Syah. Khusus Percetakan Al Ahmadiah Press Singapura, didirikan setelah Raja Haji Ahmad pulang dari Mekah, diperkirakan mulai 22 Rabiul Akhir 1339 H/ 3 Desember 1920 M beroperasi.

Dibelakang pesatnya budaya tulis ini, pastilah dipelopori para intelektual muslim masa itu. Kala itu, semenanjung Melayu dijajah oleh Inggris dan Hindia Belanda (Indonesia) dijajah oleh Belanda. Organisasi Al Fathaniyah yang didirikan oleh SAF di Mekah merupakan organisasi politik Melayu pertama yang didirikan pada tahun 1290 H/ 1873 M. Organisasi ini jauh mendahului berdirinya Syarikat Islam (1912 M) yang didirikan oleh H.O.S Tjokroaminoto.

Dari murid – murid SAF inilah, lahir berbagai organisasi level daerah di nusantara. Seperti di Riau Lingga (Penyengat), berdiri Jamiyah ar Rusydiyah yang kemudian dikenal dengan Rusydiah Kelab dan Jamiyah al Khairriyah. Perkumpulan cendikiawan muslim.

Al Fathaniyah dan Ar Rusydiyah, bila diterjemahkan dalam kosakata Melayu, tidak terdapat perbedaan makna yang signifikan menurut Tok Dil. Al Fathanah dalam bahasa arab kadang digunakan dengan kata al fithnah yang artinya kepandaian, kecerdasan atau kecerdikan. Sedangkan al rusydu dapat diartikan sebagai akal, fikiran, atau mengikuti petunjuk. Organisasi ini sama – sama meneruskan semangat SAF.

Dari seluruh penjelasan diatas, bersumberkan karya Tok Dil atau Wan Mohd Shaghir Abdullah, dapat kita pahami bahwa warga Melayu Kepulauan Riau khususnya, telah lama merasakan manfaat percetakan serta memiliki wadah aktualisasi yang efektif, mempromosikan ide sekaligus memberi pemahaman baru kepada publik. Hal ini membuktikan bahwa cendikiawan dunia Melayu masa itu telah memahami pentingnya arti publikasi ide melalui tekhnologi cetak, agar dapat memberi pengajaran, manfaat dan pendidikan. Betapa kesadaran semacam itu telah jauh melampaui zamannya.

Sejarah pasti mengapung dengan bermacam ragam versinya. Tulisan yang bersumber dari Tok Dil putera kelahiran Midai Natuna 17 Agustus 1945 ini, dapat dilihat dibukunya dari Jilid I hingga Jilid III. Seorang penulis dan peneliti kitab Islam ternama Malaysia yang memfokuskan diri pada kajian ulama Asia Tenggara dan kerap menjadi pembicara seminar nasional dan internasional di Kerajaan Malaysia. Karena keterbatasan ruang, untuk mengetahui naskah – naskah Islam nusantara milik Allahyarham Tok Dil (wafat pada 12 April 2007) yang terkait tulisan ini, dapat menghubungi percetakan Khazanah Fathaniyah di Kuala Lumpur, milik penerusnya.  II (Tulisan ini diterbitkan di Jembia, Batam Pos 2 Oktober 2016) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun