Mohon tunggu...
M. Hikmal Yazid
M. Hikmal Yazid Mohon Tunggu... Mahasiswa

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kawah Panas, Kepala Dingin: Mendidik Kesadaran Energi dari dari Perut Bumi

14 Oktober 2025   20:44 Diperbarui: 14 Oktober 2025   20:44 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Menjelaskan Pelajaran Tentang Sumber Energi// Dokumentasi Hikmal Yazid

"Kalau kamu bisa hemat air dan listrik, berarti kamu bisa menjaga panas bumi," kata seorang guru dengan nada lembut namun tegas.
Kalimat itu sederhana tapi mengandung pesan filosofis: pengelolaan energi dimulai dari pengelolaan diri.

Dalam konteks pendidikan nasional, pola semacam ini bisa jadi model green education. Anak-anak bukan hanya tahu tentang energi, tapi punya kepekaan sosial dan moral terhadap lingkungan. Itulah yang disebut pendidikan holistik pendidikan yang tidak berhenti di kepala, tapi meresap ke hati.

Kepala Dingin di Tengah Kawah Panas: Filosofi dari Alam

Judul tulisan ini bukan tanpa makna. "Kawah panas" melambangkan potensi luar biasa dari alam Indonesia kekuatan yang bisa mendidih, menyala, bahkan meledak bila tidak dikelola.
Sementara "kepala dingin" adalah sikap yang harus dimiliki manusia, terutama generasi muda, dalam menghadapinya. Karena mengelola energi, apalagi energi sebesar panas bumi, butuh rasionalitas, kesabaran, dan keseimbangan antara akal dan moral.

Pendidikan di madrasah seperti MI Al Ihsan Terpadu justru menanamkan nilai ini lewat cara sederhana: dialog, eksperimen kecil, dan pembiasaan karakter. Mereka tidak sekadar belajar sains, tapi belajar bagaimana menjadi manusia yang "dingin kepala" dalam berpikir tidak terburu-buru mengeksploitasi, tapi menimbang dan menjaga. Dari sinilah makna pendidikan sejati tumbuh: bukan melahirkan ahli energi yang rakus, tapi generasi yang bijak membaca panas bumi sebagai amanah, bukan sekadar sumber daya.

Kementerian Keuangan memiliki peran besar dalam mengatur arah kebijakan investasi energi nasional. Namun, kebijakan sebaik apa pun tak akan efektif tanpa dukungan kesadaran publik terutama dari generasi muda yang kelak menjadi pengambil Keputusan. MI Al Ihsan Terpadu sadar bahwa tugas mereka bukan menghasilkan ilmuwan, tapi menyiapkan manusia yang bisa berpikir jernih tentang masa depan energi bangsa. Mereka menanamkan konsep energy literacy literasi energi sebagai bagian dari pendidikan karakter. Karena literasi tak lagi cukup hanya membaca dan menulis; sekarang, literasi harus mampu memaknai kehidupan dan kebijakan.

Dari madrasah kecil di Sidoarjo, muncul harapan bahwa anak-anak bisa melihat energi panas bumi bukan sekadar sumber listrik, melainkan simbol kemandirian bangsa. Mereka belajar bahwa negeri yang bisa mengelola panas buminya sendiri, adalah negeri yang tak lagi bergantung pada impor bahan bakar fosil. Dan di situlah letak mimpi Indonesia: menjadi bangsa yang mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan Kemenkeu Mengajar selalu membawa semangat "wujudkan mimpi kita untuk Indonesia."
Dan mimpi itu hanya bisa terwujud jika pendidikan mampu menyalakan kesadaran energi sejak dini.
MI Al Ihsan Terpadu mungkin hanya satu titik kecil di peta negeri, tapi dari titik kecil itulah muncul sinar yang menyebar: kesadaran bahwa bumi ini bukan warisan, melainkan titipan. Ketika anak-anak diajak melihat gunung sebagai sahabat, bukan sekadar pemandangan; ketika mereka memahami bahwa uap panas yang keluar dari bumi bisa menjadi cahaya lampu; ketika mereka mengerti bahwa menjaga energi sama dengan menjaga kehidupan di situlah mimpi Indonesia sedang diwujudkan, satu kelas demi satu kelas.

Energi panas bumi bukan hanya soal turbin dan teknologi; ia adalah kisah spiritual antara manusia dan bumi. Dan pendidikan adalah jembatan yang membuat kisah itu abadi.

Kawah panas akan terus mendidih di perut bumi, tapi masa depan hanya akan cerah jika kepala-kepala muda dijaga tetap dingin. Mendidik kesadaran energi bukan sekadar mengajarkan fakta ilmiah, tapi menghidupkan tanggung jawab moral terhadap bumi yang memberi kehidupan. Madrasah seperti MI Al Ihsan Terpadu telah membuktikan, bahwa pendidikan bisa menjadi bentuk ibadah yang paling ekologis menyinari negeri tanpa membakar masa depan.

Mungkin anak-anak itu belum tahu rumus termodinamika, tapi mereka paham bahwa bumi punya batas, dan manusia harus belajar bersyukur. Dari tangan-tangan kecil yang menyalakan lilin percobaan di kelas, lahir generasi baru yang siap menyalakan mimpi Indonesia: negeri yang hangat oleh semangat, tapi tetap teduh oleh kebijaksanaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun