“Jadi menurutmu umur anakku tidak lama lagi?”
“Begitulah…”
“Ta… ta… tapi kenapa? Aku sudah meengusahakan pengobatan yang terbaik untuknya, rumah sakit terbaik, bahkan puluhan dokter terbaik sudah aku datangkan dari luar negeri” ucap Hartono dengan nada cemas tidak karuan. Cemas akan kehilangan anak semata wayangnya.
“Takdir…”
“Apa? Takdir katamu? Aku tak percaya takdir. Aku hanya percaya pada logika dan otakku. Jadi… kau benar – benar tak bisa membantuku?” tanya Hartono sedikit menekan Suliki. Wanita peramal.
“Penglihatanku berkata demikian… maafkan aku” ucap Suliki.
“Persetan dengan penglihatanmu…” ucap Hartono dengan geram seraya berlalu pergi dan membanting pintu rumah Suliki.
Suliki diam…
Menarik napas panjang...
Bola matanya bergerak – gerak kesana kemari. Ke kanan dan ke kiri. Kadang pula ke atas dan ke bawah. Sambil mulutnya terus berkomat – kamit merapalkan mantra. Mantra yang hanya dapat dimengerti olehnya dan hanya dapat didengarkan oleh penghuni alam ghaib. Yang lain tidak. Setelah itu ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan merambat menelusuri tembok menuju kamarnya.
***