Dipakainya kertas di sini, seperti sebuah sindiran halus terhadap jaman yang telah berubah. Kertas seolah menjadi simbol untuk apa yang telah usang dan ketinggalan jaman. Apa yang kini telah nyaris tergantikan dengan teknologi digital.Â
Lewat kertas, film ini seolah ingin beri peringatan keras. Jaman telah berubah. Kertas nggak lagi jadi produk andalan. Mungkin berguna buat mencetak uang kertas. Tapi sampai kapan ini bertahan? Toh orang mulai banyak mengandalkan transaksi digital.Â
Pada akhirnya, perubahan jaman adalah sebuah keniscayaan. Mereka yang enggan mengikuti perubahan, akan ditinggal, tergilas dan terlupakan. Lagi-lagi, No Other Choice.Â
Mau nggak mau manusialah yang harus berubah mengikuti jaman. Kok terdengar kejam dan maksa, ya?Â
Mansu sebagai Manusia Menuju Mansu sebagai AlatÂ
Di awal, kita melihat bagaimana Mansu melatih pidatonya demi membela hak-hak buruh seperjuangannya. Tujuannya agar korporat berbaik hati nggak memutus hubungan kerja.Â
Uniknya, segala mimpi buruk ini terjadi setelah adegan manis yang hangat: Mansu berpelukan dengan anak dan istrinya sambil tersenyum menatap langit cerah.Â
Mansu tahu bahwa PHK massal akan menjadi tantangan berat bagi siapapun. Kehilangan pekerjaan artinya kehilangan penghasilan yang akan melunasi kebutuhan hidup. Â
Itu akan menyambung ke kehilangan lainnya. Kehilangan mobil dan rumah. Lalu, mungkin kehilangan keluarga tercinta. Nggak heran jika Mansu mengibaratkan keputusan PHK sama halnya seperti hukuman potong leher. Dampaknya barangkali sama seperti racun yang membunuh secara perlahan.Â
Kaget bahwa dirinya masuk ke deretan orang yang kena pecat, Mansu terserang depresi. Ia bergabung ke komunitas curhat buat mengembalikan mentalnya. Sayangnya, kenyataan hidup memaksanya nggak bisa berlama-lama ambil keputusan.Â