Transformasi PPP di Muktamar X: Momentum Bangkit dari Krisis Parlemen di Tengah Gejolak Politik Nasional
Oleh Dr. M. Iqbal Daulay, MA
(GBG, 16 September 2025) -- Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai berbasis Islam tertua di Indonesia, kini berada di persimpangan sejarah yang kian genting. Dibentuk pada 1973 sebagai fusi empat partai Islam di era Orde Baru, PPP pernah menjadi simbol persatuan umat.
 Namun, tren penurunan dukungan masyarakat terhadap PPP, khususnya dalam konteks parlemen, kian nyata. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat: Pemilu 1999 (10,72% suara, 58 kursi DPR); 2004 (8,15%, 58 kursi); 2009 (5,32%, 38 kursi); 2014 (6,53%, 39 kursi); 2019 (4,52%, 19 kursi); hingga 2024 (3,87%, 0 kursi DPR).Â
Kegagalan lolos ambang batas parlemen 4% pada 2024 menandai kehancuran total representasi nasional PPP untuk pertama kalinya, di tengah situasi politik nasional yang bergolak dengan protes massa, tuntutan reformasi, dan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Di tengah krisis ini, Muktamar ke-10 PPP yang dijadwalkan digelar pada 27-29 September 2025 di Jakarta, muncul sebagai harapan transformasi. Dengan tema "Transformasi PPP untuk Indonesia", acara ini diharapkan menjadi titik balik: dari partai yang terjebak konflik internal menuju kekuatan politik inklusif yang relevan dengan tantangan bangsa seperti ekonomi syariah, pemberdayaan umat, dan keadilan sosial, terutama di tengah gejolak nasional seperti demonstrasi besar-besaran sejak Februari 2025 yang menuntut reformasi undang-undang dan transparansi pemerintahan.
 Lokasi di Jakarta, dengan aksesibilitasnya yang tinggi, melambangkan semangat perubahan  dari masa lalu yang statis ke masa depan yang dinamis, sekaligus memungkinkan partisipasi luas di ibu kota yang menjadi pusat aksi protes.
 Namun, apakah muktamar ini cukup untuk membalikkan nasib PPP? Berikut uraian penyebab krisis dan kriteria pemimpin ideal untuk era baru.
Faktor Internal: Konflik yang Merusak Fondasi.
Krisis PPP berakar dari dalam: konflik kepemimpinan kronis, kegagalan kaderisasi, dan pragmatisme elit. Dualisme seperti yang terjadi pada 2014 hingga pergantian Suharso Monoarfa dengan Muhammad Mardiono sebagai Plt Ketua Umum (2022-2023) menciptakan ketidakpastian.
Menjelang Pemilu 2024, perpecahan ini memengaruhi dukungan terhadap Ganjar-Mahfud, yang kalah telak.
 Pasca-kegagalan, wacana "tobat nasuha" pada Desember 2024 menjadi seruan membersihkan partai dari konflik, namun hingga September 2025, kontestasi Muktamar ke-10 semakin memanas.