Gelombang Kerusuhan Agustus-September 2025: Cerminan Cost Politik Indonesia yang Tak Terkendali
Oleh Dr. M. Iqbal Daulay, MA
Pemerhati Politik dan Ekonomi
(Medan, 1 September 2025)Â
Indonesia hari ini menyaksikan gelombang kerusuhan yang meluas, mayoritas seluruh wilayah Indonesia, menelan korban jiwa, termasuk seorang pengemudi ojek online yang tewas akibat intervensi polisi.Â
Apa yang berawal dari demonstrasi damai terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR kini berubah menjadi aksi pembakaran gedung DPRD, penjarahan properti pejabat, dan konfrontasi sengit dengan aparat keamanan.Â
Presiden Prabowo Subianto terpaksa membatalkan agenda kunjungan ke China untuk memerintahkan tindakan tegas, menuding adanya unsur makar atau terorisme, sekaligus memangkas tunjangan DPR sebagai upaya meredam gejolak.
 Namun, di balik hiruk-pikuk ini, akar masalahnya jelas: cost politik yang membengkak secara sistematis, yang tidak hanya memicu kenaikan pendapatan elite legislatif, tapi juga memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi yang telah lama membara.
Pemicu Utama: Kenaikan Tunjangan DPR, Buah Cost Politik
Cost politik di Indonesia yang mencakup pengeluaran masif untuk subsidi partai politik, tunjangan bagi pejabat, dan biaya kampanye yang sering kali mencapai triliunan rupiah telah menjadi parasit bagi anggaran negara.Â
Kenaikan tunjangan perumahan dan gaji anggota DPR hingga 10 kali lipat baru-baru ini menjadi detonator utama, dilihat sebagai bukti ketidakpekaan elite terhadap realitas rakyat: inflasi yang melonjak, tingkat pengangguran pemuda yang mencapai puncak, dan biaya hidup yang semakin membebani kelas menengah ke bawah.Â
Bayangkan kontrasnya: pendapatan DPR mencapai Rp 200 juta per bulan (belum termasuk fasilitas lain), sementara upah minimum regional (UMR) hanya berkisar Rp 4-5 juta. Ini bukan sekadar ketimpangan; ini adalah hasil langsung dari sistem politik yang bergantung pada patronase, di mana dana publik dialirkan untuk mempertahankan loyalitas elite, bukan untuk investasi produktif.
Analisis eksekutif menyoroti bahwa cost politik ini struktural dan kronis. Korupsi endemik, praktik nepotisme, dan pembengkakan anggaran legislatif menciptakan defisit fiskal yang kronis, memaksa pemerintah bergantung pada peningkatan pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau utang luar negeri untuk menambal lubang.Â