Mohon tunggu...
M Iqbal Ramadhan
M Iqbal Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berproses terus

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Radikal dan Terorisme

17 April 2021   12:10 Diperbarui: 17 April 2021   12:54 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Sebuah dasar pemikiran ektrimis yang merujuk pada pemikiran yang sesat membentuk karakter atau pribadi seseorang menjadi terkesan keras dan kuat. Dasar pemikiran semacam ini didapatkan dan dipahami dengan berbagai cara salah satunya melalui indra visual. Ketika indra visual ini menangkap sebuah pemahaman yang dikatakan oleh seseorang bahkan ia mengaku sebagai pencetus pemikiran tersebut, maka indra visual ini akan mengolah informasi itu kedalam memori pikirannya dan menjadi ketertarikan baginya, sehingga, terjadilah yang namanya pencucian otak brainwashing.

Target utama mereka dalam menjalankan misi mereka saat ini ialah para kaum pemuda, sebab bagi mereka para pemuda masih memiliki semangat yang membara diikuti dengan pemikiran yang masih labil sehingga memudahkan mereka dalam melakukan pencucian otak. Berangkat dari sebuah ketertarikan serta penggunaan dalil-dalil kitab suci yang menjadi senjata utama dalam mempengaruhi para targetnya. Oleh karenanya tidak heran apabila para pelaku kejahatan pada saat ini sebagian besar dari para pemuda yang berumur sekitar 20-30 tahun yang sedang mencari jati diri.

Selain itu, hal semacam ini terjadi disebabkan oleh adanya kesesatan berfikir, kesesatan berfikir adalah seseorang yang salah dalam memaknai sesuatu yang berarti tidak logis, salah arah dan menyesatkan. Kesesatan berfikir disebabkan oleh tindakan berfikir yang menerjemahkan sebuah konsep penelitian atau sebuah dalil tanpa diikuti oleh prinsip dasar logika yang benar, sehingga lahirlah sebuah konsep pemikiran baru yang radikal dan ekstrimis. Sebagaimana menurut Prof. Dr. Irfan Idris yaitu Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada proses tersendiri seseorang mengalami perubahan dari seseorang radikalis, ekstrimis, hingga menjadi teroris. Radikalisme mengalami perubahan secara total dan bersifat drastis. Radikalisme menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada , ciri-cirinya adalah mereka intoleran atau tidak toleransi kepada mereka yang memiliki pemahaman yang berbeda di luar golongan mereka, mereka cenderung fanatik, eksklusif dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis.

Berdasarkan pernyataan Direktur Deradikalisasi BNPT diatas, kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan bahwa mereka para pelaku teroris memiliki pemikiran radikal dan ekstrimis yang kuat sehingga menganggap semua orang yang bukan dari golongannya adalah "Kafir" maka tak segan-segan melakukan aksi anarkis hingga memakan korban jiwa yang cukup besar. Semua yang mendasari pemikiran pada golongan mereka adalah Jihad Fi Sabilillah yang bagi mereka bahwa orang yang tak sealiran dengan mereka halal darahnya untuk ditumpahkan bahkan berpahala bagi mereka.

Nah, jika dibandingkan antara pengertian radikal dengan ekstrimis, kedua kata memiliki pengertian yang berbeda dimana ekstrimis menurut Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) bahwa ektrimisme adalah berbasis kekerasan yang dapat mengacu pada terorisme. "Merujuk pada Perpres RAN PE, ekstrimisme yang mengacu pada terorisme adalah keyakinan dan tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem, dengan tujuan untuk mendukung atau melakukan aksi terorisme". Berbeda dengan yang disampaikan oleh Dr. Alex P. Schmid, radikalisme jauh lebih tidak bermasalah bagi masyarakat demokratis daripada ekstrimisme. Radikal bisa bersifat reformis dan tanpa kekerasan, radikalis sejati cenderung lebih pragmatis dan terbuka terhadap penalaran kritis.

Jika disimpulkan dari kedua pengertian diatas bahwa seseorang yang memiliki pemikiran radikal dapat berubah menjadi sebuah aksi yang anarkis disebabkan oleh berkembangnya pemikiran dia kepada tahap ekstrimis, sehingga jika seseorang itu memiliki pemikiran yang sudah melampaui batas kewajaran maka dapat disebut sebagai orang ekstrimis. Tentu pemikiran semacam ekstrimisme ini patut kita waspadai karena seiring berjalannya waktu, seseorang yang memiliki dasar kepercayaan yang telah mencapai tahap ekstrimis mampu melakukan segala cara terhadap siapapun mereka yang tak sepaham bahkan menolak pemikiran mereka. Oleh karenanya, tindakan sedini mungkin dalam mencegah ideologi-ideologi ekstrimis harus mampu diterapkan sejak bangku sekolah dasar.

Ketika melihat track record berbagai kasus radikalisme dan ekstrimisme yang terjadi di Indonesia selama pasca reformasi, ada suatu kasus radikal teroris yang sampai saat ini masih diingat oleh seluruh masyarakat Indonesia terutama masyarakat Bali. Dimana pada saat itu tepatnya bulan Oktober tahun 2002 terjadi aksi terorisme berkelas Internasional yang dilakukan di beberapa pusat titik keramaian di daerah Denpasar, Bali. Kasus terorisme itu disebut sebagai Tragedi Bom Bali yang menelan ratusan korban jiwa dari warga sipil bahkan warga asing yang sedang berada didaerah sekitar TKP. Pada saat tragedi tersebut terjadi, korban yang berjatuhan berupa material dan korban jiwa membuat kerugian besar bagi seluruh masyarakat Bali pada umumnya. Diperkirakan sekitar 202 korban tewas dan puluhan korban luka-luka. Kemudian, ada 3 titik ledakan yang ditujukan oleh para pelaku yaitu didepan Diskotik Sari Club, Diskotik Paddy's dan terjadi 100 meter dari kantor Konsulat Amerika Serikat di Denpasar, Bali.

Menurut keterangan mantan pelaku aksi terorisme tersebut yaitu Ali Imron ketika diwawancarai dalam kegiatan Seminar Deradikalisasi di salah satu Kampus di Indonesia, beliau menerangkan bahwa pada saat perencanaan aksi tersebut, ada sekitar 3 bom yang dipersiapkan oleh mereka, yaitu bom mobil yang bermuatan sekitar 1 ton, kemudian bom motor sekitar 1 kwintal, serta bom rompi sekitar 10 kg, dimana ketiga bom tersebut merupakan bom bunuh diri. Ketika bom tersebut meledak dan menewaskan ketiga simpatisan mereka, Ali Imron beserta para pelaku lainnya seperti Amrozi yaitu kakak kandung dia sendiri serta seluruh pelaku lainnya lari meninggalkan pulai Bali menuju Lamongan, Jawa Timur sambil mengadakan haflah keberhasilan aksi mereka pada saat itu.

Selain kasus Bom Bali yang terjadi, masih banyak aksi terorisme lainnya yang pernah terjadi sehingga menjadi catatan sejarah aksi kekejaman teroris di Indonesia. Jika kita melihat dari historic adanya aksi terorisme tersebut, tujuan sesungguhnya aksi mereka adalah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa dengan memberikan isu agama sehingga nantinya akan terjadi sebuah kekacauan yang bernuansa religi. Kepentingan kelompok mereka dalam upaya mendirikan Negara Islam dan Khilafah Islamiyah di Indonesia berbenturan dengan kebudayaan yang ada di masyarakat, sehingga pemahaman-pemahaman tentang aqidah Islamiyah yang merujuk kepada Jihad serta Mati Syahid diproklamirkan secara diam-diam kepada mereka yang mudah menerima ajaran tersebut seperti contoh para kaum pemuda atau milenial saat ini.

Selain itu, keresahan yang sedang kita rasakan sebulan belakangan ini tepatnya dibulan Maret 2021, setidaknya telah terjadi 2 kasus aksi terorisme yang dilakukan oleh mereka para teroris di Indonesia. Diawali dari kasus pengeboman Gereja Katedral di Makassar hingga aksi penyerangan di Maber Polri Jakarta. Menjadi sebuah berita yang sedang hangat dimasyarakat, dimana didalam keadaan negara kita yang sedang menghadapi pandemi covid-19 diikuti oleh berbagai permasalahan sosial yang terus menghantui kita belakangan ini. Para teroris memanfaatkan situasi darurat ini sebagai alasan mereka dalam menjalankan aksi-aksi anarkis yang masif, sehingga pemerintah dalam hal ini Kepolisian dan TNI bergerak dalam upaya menegakkan hukum dengan cara mencegah aksi-aksi susulan yang akan mereka lakukan kelak. Terlepas dari itu semua, secara pribadi saya terkadang masih bingung dengan segelintir orang yang masih menganggap bahwa aksi terorisme ini terkesan direkayasa, sebab melihat dari beberapa bukti rekaman maupun bukti fisik ditempat kejadian perkara terlihat kejanggalan-kejanggalan serta keanehan seperti  identitas korban, pola penyerangan serta bukti material yang digunakan oleh para teroris.

Namun bagaimanapun juga aksi terorisme ini tak bisa diampuni apalagi diberikan celah bagi mereka dalam melakukan aksi tersebut, sebab jika kita mendengar dan memahami keterangan dari para mantan teroris di Indonesia yang telah mengakui dan menyadari kesalahan mereka seperti Umar Patek dan Ali Imron yang pernah menjadi pelaku pengeboman di berbagai daerah di Indonesia mengatakan bahwa, upaya menanggulangi terorisme adalah dengan menentang keras aksi dan ajaran mereka, sebab apabila masih ada saja orang yang menganggap bahwa terorisme ini adalah sebuah rekayasa, maka bagi mereka  itu adalah sebuah angin sejuk dan semangat tersendiri  karena bagi mereka pernyataan itu sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat secara tidak langsung terhadap upaya pemerintah dalam melawan aksi terorisme. Upaya yang sejauh ini dilakukan oleh pemerintah sudah tepat terukur dengan menangkap jaringan-jaringan kelompok yang memiliki track record kasus terorisme di Indonesia. Oleh karenanya kita sebagai masyarakat yang paham akan radikalisme dan terorisme harus memiliki sikap yang tegas dalam menolak dan mengecam ajaran serta aksi yang mereka lakukan sehingga kedepannya kelompok radikal ekstrimisme semacam Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansarut Daulah dan berbagai kelompok kecil lainnya tak memiliki akses kepada masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun