Mohon tunggu...
adhon simbers
adhon simbers Mohon Tunggu... -

tulislah apa yang kamu pikirkan lalu pikirkan apa sudah kamu tuliskan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Deregulasi besar-besaran: Refleksi dari Pemikiran Hukum Progresif Sang Presiden

25 Maret 2016   00:10 Diperbarui: 25 Maret 2016   00:47 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 mengatakan jika Negara Indonesia merupakan negara hukum, maksudnya ialah di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah tetap menjunjung tinggi terhadap prinsip – prinsip hukum. Namun definisi negara hukum dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 inilah mengantarkan kepada kerancuan konsep hukum yang akan diterapkan oleh negeri seribu satu pulau yang amat disayangi ini. 

Sebagaimana disampaikan oleh tulisan Prof. Mahfud MD dalam buku Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif yang menyatakan konsep negara hukum Indonesia yang sebenarnya mengarah kepada konsep rechstaat yakni mengedepankan nilai kepastian hukum, akan tetapi di sisi lain dalam realitanya Indonesia juga masih menekankan kepada konsep rule of law yaitu menjunjung nilai keadilan dalam penerapan hukum di tengah – tengah masyarakat. 

Kerancuan dalam konsep negara hukum Indonesia inilah yang memberangkatkan pemikirannya yang progresif terhadap hukum itu sendiri yang hasilnya ialah kepastian hukum harus bersumber dari keadilan, lalu nilai keadilan haruslah dinormakan kepada kepastian hukum. Cara berpikir yang progresif terhadap hukum inilah kemudian dikenal dengan nama konsep teori hukum prismatik.

[caption caption="sumber : nasional.kompas.com"][/caption]Cara berpikir progresif dalam memandang hukum menurut penulis seyogianya dapat juga disematkan Presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo. Hal ini terkait dengan pidato yang disampaikan oleh Presiden Indonesia Jokowi Widodo di depan menteri – menterinya, pejabat negara hingga daerah di Istana Negara, Jakarta, Senin (14/12/2015). Sebagaimana dikutip dari situs beritasatu.com edisi Senin (14/12/2015), Di dalam isi pidatonya tersebut dia menginginkan pada tahun 2016, adanya pemangkasan dari 42 ribu peraturan baik PP, Keppres, Permen, dan regulasi lainnya menjadi separuh atau tepatnya menjadi 11 ribu peraturan saja. 

Dia menambahkan jika ruang gerak pemerintah menjadi terhambat dan tidak fleksibel dalam menarik arus investasi dari luar negeri dan menjalankan program pembangunan baik di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya diakibatkan banyaknya peraturan yang sifatnya berbelit – belit. Atas dasar pemikiran inilah mantan walikota Solo tersebut menginisiasi adanya deregulasi besar – besaran seperti ini.

Sudah menjadi rahasia umum jika proses birokrasi administratif di Indonesia begitu kompleks. Hal ini diakibatkan banyaknya tahapan peraturan yang harus dilalui sehingga masyarakat jenuh dan tergopoh – gopoh dalam upaya memperoleh hasil yang diinginkan. Keutamaan pemerintah yang terkesan mengedepankan prosedural daripada hasil seakan – akan menjadi buah simalakama bagi pemeritah sendiri, di satu sisi Indonesia berusaha memajukan program pembangunan bagi kesejahteraan rakyat tetapi di sisi lain pemerintah justru mengalami kesukaran tersendiri dalam mewujudkannya.

[caption caption="sumber : nasional.kompas.com"]

[/caption]

Tindakan dari Presiden Jokowi inilah dapat dikatakan sebagai refleksi keadaan sistem hukum Indonesia saat ini. Instrumen hukum yang disiapkan seyogianya dapat memberi manfaat yang baik bagi masyarakat. Di samping itu, adanya wacana deregulasi besar – besaran ini menurut hemat penulis merupakan hasil kontemplasi pemerintah terhadap konsep hukum Indonesia yang masih terkesan kaku , statis dan sukar untuk berubah. Padahal jika merujuk kepada pernyataan dari Paul Scholten bahwa hukum merupakan suatu sistem terbuka (open system van het recht) yaitu hukum itu bersifat dinamis dan disesuaikan dari perkembangan dan kebutuhan sosial masyarakat itu sendiri.

Penulis yakin kebijakan deregulasi ini akan menimbulkan berbagai opini dari masyarakat khususnya dari para pakar hukum baik itu bersifat pro dan kontra. Tidak sedikit masyarakat ada saja yang berpendapat jika kebijakan deregulasi ini merupakan bentuk dari intervensi pemerintah dalam mereduksi nilai kepastian hukum, mereka memandang jika suatu prosedur birokrasi administratif yang diatur dalam sebuah peraturan tertulis tidak dapat dengan semena – mena dihilangkan begitu saja. 

Di samping itu, tindakan pemerintah ini dapat dikatakan sebagai bentuk abuse of power (pelampauan wewenang kekuasaan) dari pemerintah yang memberi celah bagi oknum – oknum yang ingin bermain kotor dalam bidang ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Tidak ada yang salah jika ada masyarakat yang menyatakan persepsi seperti ini dikarenakan salah satu fungsi hukum yang dikodifikasikan ke dalam sebuah peraturan sudah seharusnya mempunyai upaya preventif. 

Upaya preventif yang dimaksudkan ialah membatasi dan mencegah adanya tindakan penyimpangan dari nilai maupun norma yang dilakukan oleh setiap orang. Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya ialah konsekuensi dari hukum yang dikodifikasikan dalam bentuk peraturan tertulis meskipun secara nilai kepastian hukum telah ada akan tetapi nilai keadilan belum tentu atau bahkan tidak sama sekali ada dalam peraturan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun