Mohon tunggu...
LYSTIN CHAYATULJANNAH
LYSTIN CHAYATULJANNAH Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

saya adalah mahasiswa yang ingin terus belajar untuk menjadi pendidik yang profesional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menapaki Jejak Nilai-Nilai Pendidikan Ki Hajar Dewantara untuk Mengatasi Kekerasan di Sekolah

10 Oktober 2023   06:00 Diperbarui: 10 Oktober 2023   11:47 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : dppkbpppa Pontianak

Kekerasan dan bullying akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyrakat Indonesia. Beberapa peristiwa kekerasan dan bullying kini marak terjadi di lingkungan sekolah contohnya seperti kasus penusukan mata yang terjadi di Gresik, seorang anak yang melompat dari lantai atas sekolah setelah bertengkar dengan temannya, dan masih banyak peristiwa lain yang terjadi baik yang sudah tersorot oleh media maupun yang tidak. Hal ini jelas menjadi tanda tanya besar, mengapa hal tersebut bisa terjadi di lingkungan sekolah? Padahal sekolah harusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi siswa. Mengapa anak-anak bisa melakukan hal sekeji itu? Apalagi jika itu terkait hal yang sepele.

Dari peristiwa yang telah terjadi akhir akhir ini harusnya membuat semua pihak intropeksi hal apa yang menyebabkan peristiwa tersebut terjadi apalagi itu terjadi di lingkungan sekolah. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sebagaimana yang telah kita ketahiu bahwa Ki Hajar Dewantara merupakan sosok pendidikan Indonesia yang sampai saat ini masih dikenang jasanya oleh masyarakat. Ki Hajar Dewantara, pemikirannya mengenai pendidikan masih digunakan hingga hari ini.

“Pendidikan yang memerdekakan” merupakan tujuan pendidikan nasional saat ini. Untuk mencapai pendidikan yang merdeka maka diperlukan pondasi yang kuat, nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara menjadi pondasi yang digunakan untuk mewujudkan pendidikan yang merdeka. Pendidikan yang memerdekakan dapat diartikan sebagai konsep pendidikan yang siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran dan memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal (Sirodjuddin, 2023). Perlu disadari bahwasannya pendidikan bukan hanya berfokus pada akademik saja namun juga berfokus pada aspek spiritual, sosial, dan emosional. Dari peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi mungkin disebabkan kurangnya penerapan aspek spiritual, sosial, dan emosional pada siswa.

Kita pasti sering mendengar ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani, yang memiliki arti di depan memberikan contoh, ditengah menjadi  pembimbing, di belakang memberi dukungan. Dari pepatah tersebut mengandung makna yang mendalam dalam dunia pendidikan. Seperti yang telah kita ketahui bahwa guru merupakan orang tua pengganti saat di sekolah memiliki peran yang besar dalam pertumbuhan siswa. Guru dalam proses pembelajaran guru harus menerapkan “sistem among”. “Among” berasal dari Bahasa jawa yaitu “momong” yang artinya mengasuh anak, sedangkan guru atau pendidik disebut dengan “pamong” yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dan kasih sayang (Wangid, 2009). Dalam proses menuntun siswa diberikan kebebasan dalam belajar.

Dalam pemikiran KHD, pendidik mempunyai kewajiban mengamati, agar anak dapat bertumbuh menurut “kodrat”. Kodrat sendiri terbagi menjadi dua macam yaitu kodrat alam dan kodrat zaman.  Kodrat alam berkaitan dengan “sifat dan “bentuk” lingkungan anak, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”. Jika kita melihat kembali dari kodrat zaman saat ini, pendidikan ditekankan pada perkembangan kemampuan siswa dan perkembangan pada abad 21. Sedangkan untuk kodrat alam, lebih ditekankan pada konteks sosial budaya disekitar siswa. Selain itu KHD juga mengungkapkan bahwa budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi Pekerti merupakan keselarasan (keseimbangan) hidup antara cipta, rasa, karsa dan karya. Keselarasan ini dapat dilatih sehingga menjadikan siswa menjadi pribadi yang peduli dengan lingkungannya. Budi pekerti menjadi salah satu nilai luhur sosial. Pengimplementasian nilai luhur dengan menggunakan kearifan budaya di sekitarnya dapat membantu pertumbuhan karakter yang baik pada diri siswa. Kearifan budaya yang ada di Indonesia tentu sangatlah beragam, oleh sebab itu guru harus menyadari keberagaman itu.


Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kepulauan. Dari segi geografis inilah yang menjadikan salah satu keberagaman kebudayaan yang ada di Indonesia. Dari data bank dunia populasi penduduk Indonesia kurang lebih 237 juta penduduk yang beragam mulai dari keragaman agama (kepercayaan), ras, suku, warna kulit, dan bahasa dalam konteks ribuan pulau, tradisi, ritual, mitos, legenda, simbolisme bangunan, hasil bumi, dan flora-fauna. Jika dibandingkan dengan manusia dari negara lain, manusia Indonesia memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Keberagaman sosio-kultural dan nilai-nilai luhur disetiap daerah yang menyatu dalam kebhinekatunggalikaan.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwasannya penerapan nilai-nilai pendidikan KHD dapat mencegah terjadinya peristiwa kekerasan dan pembullyan dalam lingkungan sekolah. Mulai dari konsep pendidikan yang memerdekakan, hal ini memberikan kebebasan kepada siswa untuk bereksplorasi dalam artian melepaskan “kebelengguan” yang selama ini mengikat siswa, selain itu dengan pendidikan yang memerdekakan juga menekankan proses pengajaran yang berpusat pada siswa hal ini membuat siswa aktif dan dapat berkembang. Dalam “sistem among” guru berperan penting untuk memberikan contoh, mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dan kasih sayang hal ini yang menjadi salah satu faktor terbentuknya karakter yang baik pada siswa. Pemahaman guru terhadap perkembangan kodrat zaman dan perbedaan kodrat alam tiap anak membuat anak akan tumbuh dengan baik. Penanaman budi pekerti pada siswa menjadi hal yang sangat penting, bukan hanya tentang akademik saja. Pengimplementasian nilai luhur dengan menggunakan kearifan budaya di sekitarnya dapat membantu pertumbuhan karakter yang baik pada diri siswa. Guru harus memahami keberagaman yang ada pada siswa terutama mengenai agama (kepercayaan), ras, suku, warna kulit, dan bahasa. Karena keberagaman ini yang rawan sekali menjadi pemicu terjadinya pembullyian, maka tugas guru memberi pemahaman kepada peserta didik bahwasannya meskipun mereka berbeda-beda tapi tetap satu kesatuan (menerapkan prinsip Bhineka Tunggal Ika).  

Karya : Lystin Chayatul Jannah Mahasiswa PPG Pendidikan Matematika Universitas Widya Mandala Surabaya

Daftar Referensi

Sirodjuddin, A. (2023). Pendidikan yang Memerdekakan. cabdindikwil1.com. https://cabdindikwil1.com/blog/pendidikan-yang-memerdekakan/

Wangid, M. N. (2009). Sistem among pada masa kini: Kajian konsep dan praktik pendidikan. Jurnal Kependidikan: Penelitian Inovasi …, 129–140.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun