Mohon tunggu...
Lydia Tesaloni Mangunsong
Lydia Tesaloni Mangunsong Mohon Tunggu... Penulis Amatir

Tadinya mau jadi penulis novel. Tapi nggak jadi.

Selanjutnya

Tutup

Bandung

Karut-Marut Perubahan Iklim, Direktur WALHI Jabar: Masyarakat Tidak Menyangkal, tapi Kurang Mendalami

1 Juli 2022   15:17 Diperbarui: 1 Juli 2022   15:26 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perubahan iklim. (Sumber: TIME)

Perubahan cuaca yang cukup ekstrem terjadi selama bulan Mei lalu. Dimulai dari cuaca panas pada minggu pertama yang berada di kisaran 33--36 derajat Celcius, yang terus berlanjut hingga minggu ketiga. Kemudian pada minggu keempat, hujan mulai turun kembali pada waktu-waktu tertentu. Hingga saat ini pun, cuaca masih tidak menentu. Tidak ada yang menjamin besok akan terang benderang hanya karena hari ini hujan tidak turun. 

Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), cuaca panas biasanya disebabkan oleh gelombang panas (heat wave). Namun dikutip dari Antara, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menjelaskan bahwa fenomena heat wave biasanya terjadi di wilayah lintang menengah hingga tinggi, seperti Eropa dan Amerika, karena kondisi dinamika atmosfer di wilayah tersebut yang kurang stabil. 

Melanjuti, dijelaskan bahwa cuaca panas yang sempat terjadi di Indonesia awal Mei lalu masih termasuk dalam skala variabilitas harian. Menurutnya, cuaca panas yang cukup esktrem tersebut merupakan tanda masuknya musim kemarau, di mana posisi semu matahari yang berada di wilayah utara ekuator menyebabkan pertumbuhan awan dan fenomena hujan akan sangat berkurang sehingga cuaca cerah lebih mendominasi. 

Namun nyatanya, hujan turun pada minggu ketiga Mei. Pun di hari-hari dan minggu-minggu berikutnya. Musim kemarau belum benar-benar hadir di bumi Indonesia. 

Fenomena ini lebih sesuai disebut sebagai perubahan iklim, yang memang sudah terjadi sejak beberapa tahun belakangan. 

Direktur Eksekutif Organisasi Lingkungan WALHI Jawa Barat, Meiki Wemly Paendong menjelaskan fenomena perubahan iklim yang terjadi di Indonesia serta bagaimana pandangan masyarakat terhadap fenomena tersebut. 

Menurut Meiki, perubahan iklim berangkat dari pemanasan global. Pemanasan global sendiri sebenarnya adalah sesuatu yang pasti terjadi, sebagaimana bumi terus bertambah usia sebagai entitas yang tidak kekal. 

Namun kini pemanasan global dipercepat oleh aktivitas manusia. Meiki menyebutkan, revolusi industri menjadi titik mula pemanasan global yang kian parah setiap harinya. Kehadiran teknologi dengan sumber energi fosil menghasilkan emisi karbon yang kemudian menumpuk di atmosfer. Lapisan atmosfer tidak mampu memantulkan panas ke luar angkasa, alhasil panas mengumpul di sana dan menghasilkan gelombang panas yang menyebabkan suhu bumi naik.

Sampai di era digitalisasi kini, tidak bisa dipungkiri kalau manusia masih belum mampu mengatasi pemanasan global yang terjadi. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh tingkat kepedulian masyarakat yang masih rendah.

"Masyarakat memang tidak pernah menyangkal perubahan iklim, namun pemahaman untuk mendalami perubahan iklim tersebut yang masih rendah," ujar Meiki dalam Talkshow yang diadakan Parade Jurnalistik pada Selasa (17/5) lalu. 

Menurut Meiki, pada akhirnya harus ada upaya sosialisasi dan edukasi yang tepat. Di sini, jurnalis memainkan peran yang cukup penting. Jurnalis harus mampu memanfaatkan alat dan instrumen yang ada untuk menghasilkan produk jurnalistik yang, tidak hanya kredibel dan akurat, tetapi juga menarik minat masyarakat.

Masyarakat umumnya tidak menaruh perhatian lebih pada isu lingkungan karena ada banyak isu lain yang lebih menarik, seperti politik, hiburan, dan sebagainya. Perhatian masyarakat akan isu lingkungan cepat terkumpul hanya jika sudah terjadi suatu bencana. Maka dari itu, sosialisasi yang dilakukan harus konsisten, tidak hanya jika terjadi bencana atau kejadian-kejadian tertentu.

Meiki sendiri melihat isu lingkungan akan terus berbenturan dengan sains. "Agar bisa menjadi produk jurnalisme yang akurat, harus ditunjang dengan ilmu," ujar Meiki. "Di sini agak perlu kemampuan khusus," sambungnya.

Masih sering terjadi, di mana jurnalis kurang paham atau kurang menggali isu lingkungan yang akan dipublikasikan, padahal jurnalis harus menghasilkan produk yang berimbang. Alhasil, tak jarang suatu berita menyajikan solusi-solusi lingkungan yang justru membawa dampak lain.

Meiki mengambil contoh isu pembakaran plastik menjadi minyak. Sejumlah produk jurnalistik membawakan isu tersebut sebagai solusi penghematan minyak, padahal dalam prosesnya, plastik yang dibakar akan menghasilkan emisi juga.

Selain jurnalis, tentunya masyarakat perlu menjadi penyambung lidah kepedulian terhadap lingkungan. Di tengah kemudahan komunikasi saat ini, siapa saja bisa membagikan informasi. Hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi isu lingkungan secara konsisten. Namun, tetap harus diingat untuk menyajikan informasi yang hanya berdasarkan fakta penelitian. 

Meiki menekankan bahwa isu lingkungan adalah isu abadi. Selagi bumi masih hidup, para manusia sebagai penghuninya harus selalu peduli dengan isu lingkungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun