Mohon tunggu...
Lydia Avry Inayah
Lydia Avry Inayah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Online Learning Communication Science '17

a flight attendant, a student, and full time mother.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Etika pada Film Schindler's List

22 Juli 2022   03:48 Diperbarui: 22 Juli 2022   03:53 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oskar Schindler adalah seorang Katolik, tetapi ia berbohong dan menyogok Nazi untuk mempekerjakan Yahudi di pabriknya. Bagaimana kita menilai perbuatan Oskar secara etis?

 

Setelah menonton film Schindler's List, kita semua setuju bahwa pada awalnya Oskar Schindler digambarkan sebagai orang yang tidak terlalu peduli pada situasi yang terjadi pada perang dunia kedua. 

Oskar hanyalah seorang anggota partai Nazi yang mencari peluang untuk menambah kekayaannya dalam situasi perang. Ia melakukan segala cara untuk mengkapitalisasi dan mewujudkan mimpinya untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya, termasuk berbohong pada Yahudi yang memiliki modal, dan menyogok anggota Nazi agar ia dapat dengan leluasa membangun pabrik enamel. Ia belum menyadari kekejaman dan tragedi yang ditimbulkan oleh Nazi, dan tidak melakukan apapun untuk menyelamatkan para Yahudi.

Pada saat itu orang Yahudi dibagi menjadi pekerja 'esensial' yang akan diberi kerja paksa dan 'non esensial' yang akan dipindahkan ke kamp konsentrasi. Stern mempekerjakan para Yahudi yang dianggap 'non esensial' dan mengubah mereka menjadi pekerja 'esensial' sebagai upaya menyelamatkan sesamanya. 

Awalnya Schindler marah mengetahui hal ini, namun saat ia menyaksikan dengan kedua matanya sendiri Nazi membantai ratusan Yahudi di jalanan, ia menyadari bahwa ia tidak bisa tinggal diam. Ia melihat seorang anak perempuan kecil bermantel merah yang berkeliaran sendirian. 

Hal ini menyadarkan pemikiran etisnya dan menjadi sebuah problema etis. Menjadikan titik balik kehidupan Oskar dan ia bersumpah untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang Yahudi.

Schindler terus bersosialisasi, berbohong dan menyogok perwira Nazi untuk menjaga penampilannya, namun dibalik itu semua ia membangun kamp untuk menampung para Yahudi dan menghabiskan sebagian besar hartanya. 

Ini adalah momen penting dalam film, saat Schindler benar-benar muncul sebagai pemimpin etis bagi para pekerja yang ia kenal dan pedulikan. Dia memilih untuk menghabiskan uangnya untuk "membeli" pekerjanya dengan kedok membuat peluru artileri untuk mengkapitalisasi perang. Dia mencoba meyakinkan pemilik bisnis lain untuk melakukan hal yang sama tetapi tidak berhasil. 

'Daftar pekerja Schindler' atau Schindler's List merupakan pengakuan atas nilai para pekerja Yahudi tersebut sebagai manusia, bukan properti, sebuah langkah besar dalam evolusi semangat etika Schindler. Setelah Jerman kalah perang, Schindler yang masih menjadi anggota Nazi terpaksa meninggalkan pabriknya. 

Sebelum ia pergi, para pekerjanya memberi surat yang menjelaskan apa yang telah Schindler lakukan untuk menyelamatkan mereka. Mereka juga menghadiahkannya cincin emas yang bertuliskan "Siapapun yang menyelamatkan satu nyawa, menyelamatkan satu dunia."

Tindakan Oskar sebagai seorang Katolik yang berbohong dan membantu Yahudi dapat dilihat dari sudut pandang meta-etika. Dari manakah asalnya baik dan buruk? Meta-etika mempersoalkan tentang objektivitas moral itu sendiri. 

Apa yang mendasari larangan membantu Yahudi? Apakah standar moral berbeda-beda di setiap budaya masyarakat? Kita mengetahui manusia pada dasarnya mampu mengetahui perbedaan baik-buruk dan memiliki kesadaran untuk memilih yang baik diantara yang buruk. Dalam meta etika kita dapat merefleksikan secara kritis tentang relativitas moralitas.

 

Etika normatif manakah yang dapat membenarkan hal yang dipersoalkan dalam film ini?

Etika utilitarianisme yang mengusahakan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang dapat membenarkan persoalan dalam film ini. Etika utilitarianisme adalah sebuah bentuk dari konsekuensialisme. 

Menurut Abumere (2019) pada konsekuensialisme, tindakan apa yang baik dan buruk secara moral tergantung pada konsekuensi yang ditimbulkan. 

Pada dasarnya tindakan (atau bisa jadi tidak bertindak apa-apa) yang konsekuensi negatifnya lebih besar daripada konsekuensi positifnya akan dianggap salah secara moral, sedangkan tindakan yang konsekuensi positifnya lebih besar daripada konsekuensi negatifnya dianggap benar secara moral. 

Tindakan yang menguntungkan sedikit orang dan merugikan lebih banyak orang akan dianggap salah secara moral, dan tindakan yang menguntungkan banyak orang dan merugikan sedikit orang dianggap benar secara moral. Istilah untung dan rugi pada utilitarianisme juga dapat diganti oleh kebahagiaan/ketidakbahagiaan dan kenikmatan/kesakitan.

Menurut utilitarian, kita diperbolehkan mengorbankan kepentingan individual demi kebaikan sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini, kewajiban moral Oskar sebagai individu untuk selalu berkata jujur dikorbankan demi menyelamatkan pekerja Yahudinya. 

Ia yakin dengan berbohong dan menyogok, dampaknya adalah para Nazi memperbolehkannya mengelola pekerjanya dengan lebih bebas. Sehingga dapat menyelamatkan mereka dari kamp konsentrasi. Alasan ini merupakan jelmaan konsep utilitarian sejati yang mengukur suatu tindakan dari kesuksesan tindakan tersebut. 

Oskar beruntung karena keputusannya untuk berbohong dan menyogok memiliki konsekuensi yang baik, para pekerja Yahudi itu memang akhirnya selamat. Namun tindakannya telah menjadikan nilai moral menjadi relatif, dimana berbohong dan menyogok diperbolehkan. 

Utilitarianisme memang tidak mampu menampung sejumlah keyakinan moral umum seperti berperilaku jujur. Namun utilitarianisme dapat menjustifikasi tindakan Oskar. Apa yang penting bagi sudut pandang utilitarian bukanlah kita selalu melakukan hal baik, tapi saat kita memberikan konsekuensi yang terbaik.

Apakah etika deontologis (non-konsekuensialis) cocok untuk menilai Tindakan Oskar (menyogok tapi menyelamatkan)?

Etika deontologis yang dipelopori oleh Immanuel Kant bertolak dari perintah-perintah moral yang telah ada di kehidupan sehari-hari manusia. Contohnya seperti keharusan untuk jujur dan larangan untuk mencuri. 

Perintah moral yang sifatnya absolut dalam arti terdapat keharusan mematuhi larangan apapun konsekuensinya, menguntungkan atau tidak, dan baik atau tidak. Etika deontologis mewajibkan kita untuk selalu melakukan kewajiban moral. 

Jika kita melakukan suatu tindakan bukan berdasarkan pada ketaatan pada kewajiban moral itu, maka bukanlah termasuk tindakan yang baik. Kant mengkategorikan dua perbedaan imperatif pada etika deontologis, yaitu imperatif-hipotesis dan imperatif-kategoris. 

Kata "imperatif" dalam konteks ini berarti perintah. Namun, tidak seperti kebanyakan perintah lain, yang biasanya datang dari orang yang berkuasa, perintah ini datang dari dalam diri manusia sendiri (reasoning) (Kranak, 2019). Namun, mereka berfungsi dengan cara yang sama: mereka adalah perintah untuk melakukan tindakan tertentu. 

Kategori imperatif-hipotesis memiliki sifat dependen dan pengandaian seperti "jika kita ingin A maka kita harus melakukan B" sedangkan kategori imperatif-kategori merupakan perintah mutlak tanpa kecuali, seperti "jangan berbohong".

Menurut Kant, kita hanya boleh bertindak menurut prinsip yang dapat sekaligus kita inginkan menjadi hukum universal. Jika tindakan yang kita lakukan dapat diterapkan pada semua orang, maka tindakan itu dapat kita lakukan. 

Hal ini disebut prinsip universalitas. Prinsip ini digunakan sebagai cara untuk menguji apakah kewajiban itu bersifat moral atau tidak. Kita harus dapat mengandaikan apabila seluruh orang di dunia melakukan tindakan yang sama. Jika tidak bisa, maka tindakan itu tidak lolos uji universalisasi.

Pada kasus ini, kita dapat melihat bahwa Oskar berbohong dan menyogok, lalu kita bayangkan jika semua orang di dunia berbohong dan menyogok. 

Apa yang akan terjadi saat semua orang di seluruh tidak ada lagi orang yang berkata jujur? Tentunya kata-kata manusia dan konsep 'bohong' dan 'jujur' menjadi tidak berarti. Hal ini disebut Kant sebagai kontradiksi konsep, sehingga tindakan ini tidak lolos uji universalisasi, dan kita tidak boleh berbohong. 

Menurut Kranak (2019) Kant mengajukan situasi dimana berbohong kiranya dapat diperbolehkan dalam essay "On a Supposed Right to Lie from Philanthropy". 

Pada essay ini dijelaskan sebuah situasi dimana teman kita masuk ke dalam rumah kita untuk bersembunyi dari pembunuh. Lalu pembunuh itu datang dan bertanya apakah teman kita ada di dalam rumah. Kant menegaskan meskipun dalam situasi seperti ini kita tetap tidak boleh berbohong. 

Katakanlah kita berbohong dan berkata bahwa teman kita tidak ada di rumah, lalu si pembunuh pergi. Namun bisa saja teman kita kabur keluar dari rumah kita tanpa kita ketahui, dan bertemu dengan pembunuh itu dan ia tewas. Kita menjadi bertanggung jawab atas kematiannya. 

Menurut Kant, inilah mengapa kita tidak boleh mengkalkulasikan konsekuensi, karena pada dasarnya konsekuensi itu selalu tidak pasti. Kant percaya bahwa konsekuensi tidak mempengaruhi apakah suatu tindakan itu benar atau salah, dan cerita di atas menunjukkan bahwa konsekuensi itu tidak dapat diprediksi.

Namun bagaimana jika terdapat dua kewajiban moral yang saling bertentangan? Misalnya berbohong untuk kebaikan. Filsuf W.D.Ross mengajukan konsep prima facie. 

Konsep ini berasal dari kata prima : pertama, dan facie : pandangan. Konsep ini menyatakan bahwa etika deontologi mengharuskan kita melakukan kewajiban jika tidak ada kewajiban lain yang lebih penting untuk dipertimbangkan. Jika ada yang lebih penting, kita dapat mengesampingkan kewajiban moral pertama. 

Beberapa kewajiban prima facie diantaranya adalah fidelity (menepati janji), reparation (memperbaiki tindakan yang salah), gratitude (bersyukur), non-injury (tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain), harm-prevention (mencegah melukai), dan beneficence (berperilaku baik) (Garret, 2004). 

Pada kasus ini, menyelamatkan nyawa banyak Yahudi adalah bentuk dari harm prevention dan beneficence, sehingga kewajiban untuk berkata jujur dapat dikesampingkan. Akhirnya, hal ini dapat menjadi justifikasi Etika Deontologis dalam menilai tindakan Oskar.

Essay ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Etika PJJ Ilmu Komunikasi Universitas Harapan.

Nama: Lydia Avry Inayah

NIM: 01045170026

Referensi: 

Abumere, F. A. (2019, December 9). Utilitarianism -- Introduction to Philosophy: Ethics. Pressbooks. Retrieved July 21, 2022, from https://press.rebus.community/intro-to-phil-ethics/chapter/utilitarianism/

Garrett, J. (2004, August 10). A Simple Ethical Theory Based on W. D. Ross. Western Kentucky University. Retrieved July 21, 2022, from https://people.wku.edu/jan.garrett/ethics/rossethc.htm

Kranak, J. (2019, December 9). Kantian Deontology -- Introduction to Philosophy: Ethics. Pressbooks. Retrieved July 21, 2022, from https://press.rebus.community/intro-to-phil-ethics/chapter/kantian-deontology/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun