Langit senja menorehkan gradasi warna jingga keemasan yang berpadu lembut dengan birunya cahaya lampu yang menyelimuti kubah dan menara masjid. Di bawah bayang langit yang mulai gelap, arsitektur megah masjid ini tampak kian menawan, seperti lukisan hidup yang menyatu dengan suasana damai sore hari. Cahaya bulan sabit menggantung malu-malu di ufuk barat, mempertegas nuansa spiritual yang menyelimuti setiap sudut. Suara angin berbisik pelan, seakan mengiringi detik-detik sebelum azan magrib berkumandang. Inilah momen di mana keindahan arsitektur dan suasana batin bertemu dalam satu bingkai keheningan yang syahdu.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Masjid Sheikh Zayed Solo, yang langsung terasa bukan cuma kemegahannya, tapi keheningannya. Di tengah ramainya orang yang datang untuk berfoto, saya justru menangkap suasana yang sunyi. Bukan sunyi karena sepi, tapi seperti sedang diajak diam dan mengagumi. Masjid ini bukan cuma tempat ibadah, tapi juga seperti karya seni yang membuat kita bertanya-tanya: apakah benar kita datang untuk berdoa, atau sekadar mengabadikan momen saja?
Masjid yang terletak di Gilingan, Banjarsari, Solo ini memang menarik perhatian sejak awal. Dibangun sebagai simbol persahabatan antara Indonesia dan Uni Emirat Arab, Masjid Sheikh Zayed hadir dengan kemegahan ala Timur Tengah yang jarang kita temui di Indonesia. Kubah-kubah besar, menara tinggi, marmer putih yang berkilau, hingga ukiran ayat suci yang menghiasi dinding dalam dan luar bangunan. Tak berlebihan jika banyak orang menjuluki masjid ini sebagai “masjid Instagramable”—tempat ibadah yang juga menjadi destinasi wisata.
Di Antara Kekaguman dan Keheningan
Saya datang ke Masjid Zayed di hari libur, dan seperti yang sudah saya duga, tempat ini ramai. Orang-orang berbondong datang, sebagian mengenakan pakaian terbaik mereka, sebagian lainnya membawa kamera, tripod, ataupun hanya sebuah handphone genggam saja. Banyak juga yang hanya duduk diam di tangga atau di lorong, mengagumi arsitektur sambil berbincang. Namun anehnya, di balik keramaian itu, saya merasa sepi.
Mungkin karena bangunannya yang terlalu megah. Atau karena saya datang dengan ekspektasi ingin "merasakan khusyuk", bukan sekadar "melihat keindahan". Tapi saya sadar, rasa hening itu datang bukan karena tempatnya sepi, melainkan karena atmosfer yang dibangun oleh arsitekturnya sendiri. Masjid ini seperti mengajak kita diam sejenak, bukan untuk takut, tapi untuk kagum. Seakan berkata: lihatlah, semua yang besar ini pun dibuat untuk mengingat Tuhan.
Antara Sakral dan Estetika
Pertanyaan yang terus muncul dalam benak saya adalah: “Apakah ini benar-benar tempat ibadah, atau sudah bergeser makna menjadi objek wisata?” Mungkin jawabannya adalah dua-duanya. Tidak sedikit yang datang benar-benar ingin beribadah—mereka terlihat memasuki ruang utama salat, melepas alas kaki, dan duduk tenang. Tapi lebih banyak yang datang untuk berfoto. Bahkan, antrean untuk berpose di sudut-sudut populer bisa memakan waktu cukup lama.
Saya sendiri sempat merasa canggung. Ingin mengabadikan momen, tapi juga merasa bersalah kalau niatnya lebih besar ke “konten” daripada “kontemplasi”. Apakah ini salah? Belum tentu. Tapi inilah tantangan zaman, dimana tempat ibadah menjadi bagian dari budaya populer, batas antara sakral dan estetika menjadi semakin tipis bahkan tak terlihat.