Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bukan Salah Conte

18 Februari 2018   07:29 Diperbarui: 18 Februari 2018   07:46 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antonio Conte (Foto squawka.com)

Kemegahan panggung sepakbola di daratan Inggris selalu menawarkan setiap insan yang menggeluti dunia si kulit bundar untuk mencari peruntungan di negeri ratu Elizabeth tersebut. Mulai dari pemain, pelatih, hingga investor berlomba-lomba untuk bisa menembus sisi glamor Liga Premier. Bagi pekerja sepakbola seperti pemain dan staf pelatih, potensi mendapatkan pemasukan materi yang tak terbatas tentu menjadi godaan tersendiri yang terkadang menghilangkan akal dan logika manusia. Besaran dana yang seakan tidak pernah habis itu tentu tak akan tersedia tanpa kehadiran investor-investor kaya yang rela menghabiskan uang secara besar-besaran untuk menghidupi sebuah klub sepakbola di Inggris.

            Namun terkadang, sikap investor yang semacam ini kemudian menimbulkan masalah lain tatkala bersinggungan dengan kenyataan kerasnya kompetisi yang harus dijalani. Ambisi membabi buta dari pemilik saham yang berharap uangnya bisa membuat sebuah klub berprestasi dengan cara yang instan. Padahal sebuah tim yang membidik prestasi, tentu mereka harus melalui sebuah proses. Seperti halnya emas yang tak mungkin menjelma menjadi perhiasan bernilai jual tinggi tanpa melalui proses panjang. Namun sayangnya, banyak pemilik klub di Liga Inggris yang hanya berorientasi pada hasil karena meyakini bahwa prestasi bisa dibeli hanya dangan besaran Poundsterling.

            Setidaknya hal semacam ini sudah dialami oleh klub seperti Chelsea. Kesebelasan itu memiliki status sebagai klub kaya dengan keuangan yang bagus setelah Roman Abramovich, sang taipan minyak asal Rusia mengakuisisi "si biru" pada 2003. Perlu diingat, jauh sebelum Abramovich membeli Chelsea dengan kekayaannya, klub asal London ini sama sekali tidak diperhitungkan di pentas Liga Inggris. 

Mereka hanya mampu menorehkan prestasi terbaik sebagai kampiun pada musim 1955. Setelah datangnya investor, Chelsea merupakan klub kaya baru yang menciptakan sensasi dengan kemampuannya mendatangkan beberapa pemain bintang kala itu seperti Claude Makalele, Hernan Crespo, Juan Sebastian Veron dan kemudian juara pada musim berikutnya dengan punggawa yang lebih mentereng semacam Didier Drogba, Ricardo Carvalho, Paulo Ferreira, dan Petr Cech.

                Kehadiran Abramovich yang mampu mengubah derajat the bluessempat dielu-elukan oleh pendukungnya, apalagi reformasi besar-besaran tersebut langsung menghasilkan 2 trofi Liga Premier yang diraih dalam jangka dua musim berturut-turut, yakni pada 2004/2005 dan 2005/2006. Namun, hegemoni itu tak berlangsung lama setelah pada 2007 sang bos memberhentikan Jose Mourinho, pelatih kepala bertangan dingin yang direkrut demi sebuah harga mati bernama prestasi. 

Pemecatan itu menggegerkan dunia, alasannya karena the special one dianggap sukses menangani Chelsea dengan rentetan gelar juara yang sudah lama dinantikan publik Stamford Bridge. Tapi investor tetaplah investor, walaupun datang bagaikan malaikat dengan anggaran yang besar, seorang Abramovich tetap punya sisi ambisius yang tidak bisa ditentang oleh siapapun. Gelar juara liga domestik seakan sudah membosankan bagi dirinya, ia menginginkan sesuatu yang lebih besar, sebuah capaian baru dan sekaligus menciptakan sejarah dengan membawa Chelsea meraih "si kuping besar," Liga Champions Eropa.

            Kenyataannya memang demikian, semenjak kepergian Mourinho, banyak pelatih-pelatih top Eropa berdatangan silih berganti untuk membesut The Roman Emperor. Namun bisa dipastikan karir mereka tidak akan pernah bisa menyamai pengabdian Sir Alex Ferguson di Manchester United yang justru datang ke Old Trafford tanpa nama besar, tapi mampu bertahan hingga 26 tahun dengan 38 gelar juara. Kehadiran Fergie di setan merah awalnya mendapatkan sambutan keraguan dari banyak pihak. 

Bandingkan dengan saat Jose Mourinho mengambil alih kursi kepelatihan Chelsea, ia sudah diyakini akan mampu memenuhi ambisi Roman Abramovich dengan pengalamannya membawa klub sebelumnya, FC Porto juara Liga Champions Eropa pada musim 2003/2004. Namun, akhirnya portofolio itu juga yang membuat the special one harus angkat kaki dari Stamford Bridge. Mungkin Abramovich beranggapan, jika di Porto, yang notabene bukan merupakan klub dengan kekayaan melimpah saja Mourinho mampu mengangkat trofi Liga Champions, namun kenapa di Chelsea yang didukung dengan dana besar gagal. Berarti ia bukan pelatih terbaik yang mampu memaksimalkan peran pemain-pemain bintang the blues.

            Pada musim 2007/2008, pelatih asal Israel, Avram Grant hampir saja memenuhi ambisi pemilik klub karena mampu mengantarkan Chelsea ke Final Liga Champions Eropa untuk pertama kalinya dalam sejarah klub. Namun impian itu tidak pernah terwujud setelah dikalahkan oleh sesama tim Inggris, Manchester United dengan skor 5-6 melalui babak adu penalti. 

Seperti yang dialami oleh Mourinho, kegagalan mencapai prestasi yang menjadi ambisi harga mati sang investor pun membuat pemecatan menjadi sebuah keniscayaan bagi Avram Grant. Luiz Felipe Scolari sempat mencoba peruntungan untuk merasakan kursi panas sebagai manajer, tetapi sayang, keberaniannya itu justru berbuah pemutusan kontrak lebih cepat, karena secara efektif ia hanya membesut tim selama 7 bulan semenjak didatangkan di bulan Juli 2008. Walaupun datang dengan riwayat kebintangan setelah membawa Brasil menjuarai Piala Dunia 2002, nampaknya hal itu tak cukup menggoda Abramovich untuk menambah kesempatan bagi dirinya.

            Bongkar pasang pelatih membuat Chelsea kesulitan mengulangi masa manis untuk menjadi penguasa di Liga Inggris seperti ketika dilatih oleh Jose Mourinho. Carlo Ancelotti lalu datang dengan kepercayaan diri tinggi yang kemudian mengembalikan trofi domestik, yakni Liga Premier pada 2009, Community Shield 2009, dan Piala FA 2010 ke Stamford Bridge. 

Namun lagi-lagi, ia bukanlah jawaban yang tepat bagi Abramovich untuk mewujudkan keinginannya menjadi raja di Liga Champions Eropa. Don Carlettoakhirnya harus merasakan pahitnya pemecatan pada tahun 2011. Chelsea baru benar-benar merasakan juara Liga Champions setelah mengandaskan Bayern Munich di partai final melalui adu tos-tosan dengan skor 3-4 di tahun 2012. Kesuksesan itu datang bagaikan keajaiban karena perjalanan the blues waktu itu tidak bisa dibilang mudah. Mereka sebelumnya harus melewati kesebelasan langganan juara, Barcelona dengan gaya tiki-taka yang seakan sulit dihentikan oleh tim manapun. 

Tidak berhenti sampai disitu, seusai menumbangkan klub Catalan, John Terry dan kawan-kawan kala itu dipaksa bermain di kandang lawan pada partai puncak, karena pertandingan dilaksanakan di Allianz Arena, dan siempunya yang sekaligus penantang Chelsea ialah Bayern Munich.

Adalah Roberto Di Matteo, sosok yang sukses memenuhi hasrat prestasi Roman Abramovich di kasta Eropa. Ia merupakan legenda Chelsea di era 1996 hingga 2002. Awalnya banyak orang mengira bahwa penunjukan Di Matteo hanya bersifat sementara seusai pemecatan Andre Villas Boas pada musim 2012. Apalagi saat itu, pria Italia ini merupakan asisten Villas Boas, maka tidak mengherankan jika perekrutan dirinya diprediksi tidak akan berjalan secara permanen, karena petinggi klub belum menemukan sosok lain yang tepat untuk ditunjuk sebagai pelatih. 

Tetapi justru spekulasi tersebut membuahkan perjalanan yang tidak terduga, Chelsea sukses memenangi Piala FA dan Liga Champions. Pria yang juga pernah menangani West Bromwich Albion ini dianggap membawa gaya baru bagi permainan Chelsea. Keberhasilannya memaksimalkan kekuatan pertahanan the bluesdengan sebutan taktik "parkir bus" menjadi kunci utama menghentikan kreatifitas pemain-pemain Barcelona menambah agregat gol, yang akhirnya  menghentikan langkah Carles Puyol dan kawan-kawan di semi final Liga Champions 2012 dan mengantarkan Chelsea menuju singgasana untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Jabatan Roberto Di Matteo sebagai manajer akhirnya dipatenkan oleh manajemen. Tetapi sayang, kisah manis itu tidak berlangsung lama, setelah di musim berikutnya Abramovich menilai mantan legenda Chelsea tersebut gagal mengulang masa emas. Ketidaksabaran pemilik klub akan hadirnya tambahan trofi membuat kontrak 2 tahun yang sudah disodorkan kepada Di Matteo harus diselesaikan lebih singkat. Semenjak saat itu, Roman Abramovich seakan ingin bernostalgia dengan "teman lama" yang pernah membawanya merasakan sensasi memiliki klub berstatus juara Liga Primer Inggris, Jose Mourinho. 

Manajer kontroversial ini kembali ke Stamford Bridge untuk yang kedua kalinya pada musim 2013/2014, meskipun saat itu hanya mampu mengantarkan anak asuhannya finish di peringkat ke 3. Hasil tangan dingin the special one  baru terlihat di musim selanjutnya dengan raihan Piala Liga dan Liga Inggris 2014/2015. Secara keseluruhan manajer asal Portugal ini sudah mempersembahkan Sembilan gelar untuk Chelsea sekaligus mendapatkan predikat sebagai pelatih tersukses sepanjang sejarah klub.

Sayangnya, Abramovich menutup mata dengan kenyataan tersebut setelah timnya kembali terseok-seok ketika menjalani musim 2015/2016. Seperti yang sudah-sudah, pria Portugal ini merasakan ditendang dari Chelsea untuk yang kedua kalinya. Mendatangkan Guus Hiddink dua kali sebagai manajer interim ternyata juga bukan pilihan terbaik bagi sang raja minyak Rusia tersebut. Kepincut dengan kesuksesan Juventus dan Timnas Italia, Abramovich akhirnya mendatangkan Antonio Conte. Keputusan itu membuahkan hasil berupa gelar Liga Primer Inggris di musim perdana Conte membesut Chelsea pada 2016/2017.

Antonio Conte datang ke London dengan membawa karakternya, ia sukses membuat perubahan dalam skema permainan the blues. Sosok yang identik dengan gaya meledak-ledak ketika di pinggir lapangan itu nekat memainkan pola 3-4-3 yang sebelumnya tidak familiar bagi pemain yang berlaga di Liga Inggris. Awalnya strategi Antonio Conte diragukan karena dianggap kurang cocok dengan gaya Liga Inggris yang cepat dan mengandalkan kekuatan fisik tinggi atau kick and rush. Sedangkan di Italia jauh lebih lambat, selain itu sepakbola negeri pizza juga mengutamakan skema bertahan. 

Tetapi ternyata gaya yang dibawa Antonio Conte bukan sekedar pola 3 bek kuno yang biasa diterapkan pada sepakbola Italia. Nyatanya legenda Juventus itu mampu mengkombinasikan kecepatan Liga Inggris dalam menyerang dan kekuatan pemain bertahan yang dimilikinnya, alhasil muncul sebutan "tikitalia" yang diusung Conte. Istilah tersebut mengadopsi gaya bermain tiki-taka khas Spanyol. 

Perbedaannya ialah, selain mengusung permainan menyerang dan cepat dengan umpan dari kaki ke kaki, tikitalia punya sumber kekuatan lain, yakni pertahanan yang sulit ditembus oleh penyerang lawan. Itulah yang sudah diterapkan oleh Antonio Conte di Juventus, Italia, dan sekarang Chelsea.

Daniele De Rossi, mantan anak asuh Conte di Italia pernah mengungkapkan perbandingan antara tiki taka yang dimiliki oleh Spanyol dan tikitalia yang diusung oleh Antonio Conte. "Tikitalia adalah sebuah nama yang lucu, sebenarnya lebih cocok untuk Spanyol, dengan apa yang sudah mereka lakukan dalam beberapa tahun terakhir," ujar sang pemain dikutip dari laman resmi FIFA. "Mereka mempunyai lebih banyak penguasaan bola dan mereka semua ada pemain berkualitas, perbedaannya, kami punya sumber kekuatan lain dalam bentuk pertahanan yang baik dan penyerang yang eksplosif," tambah pemain 34 tahun tersebut.

Roman Abramovich Harus Bertanggung Jawab

Namun siapa sangka karir Conte di Chelsea saat ini sedang berada di titik nadir. Itu terjadi setelah Abramovich menghadapi kenyataan bahwa kesebelasannya memiliki statistik yang buruk jika dibandingkan dengan musim lalu. Terhitung the bluessudah menelan 6 kekalahan, 5 hasil seri, dan hanya menciptakan 16 kemenangan pada musim ini. Hasil yang sudah diraih hingga sekarang tidak cukup memuaskan petinggi klub. Kebiasaan Abramovich yang selalu menyudutkan manajer sebagai penyebab utama buruknya prestasi tim sepertinya akan kembali dirasakan oleh Antonio Conte. 

Kekalahan beruntun yang terjadi berturut-turut saat menghadapi Bournemouth (0-3), dan Watford (1-4) disinyalir menambah keyakinan manajemen klub untuk segera mendepaknya sebelum musim berakhir. Tetapi faktanya, ketika memenangkan pertandingan dengan skor 3-0 menghadapi West Bromwich Albion, Selasa (2/13/2018) yang lalu, Conte masih mendampingi skuadnya di bench pemain.

Meskipun dalam berbagai kesempatan mantan pelatih tim nasional Italia itu tidak merasa khawatir jika sampai mengalami pemecatan, namun ia berkali-kali mengutarakan bahwa buruknya performa klub yang dibesutnya saat ini merupakan tanggung jawab semua pihak mulai dari dirinya sebagai manajer, pemain, dan manajemen klub. 

Selain itu ia juga mengungkapkan kekecewaannya di depan media terkait kebijakan transfer Chelsea yang dinilai gagal memenuhi kebutuhan pola permainan yang diterapkannya musim ini. Ya, pada awal musim ini Conte memang diyakini mengincar beberapa nama besar seperti striker Romelu Lukaku, Leonardo Bonucci, Alex Sandro, Virgil Van Dijk, dan Edin Dzeko. Tetapi manajemen justru memberi nama lain, yakni Alvaro Morata, Olivier Giroud, Antonio Rudiger, Emerson Palmieri, Ross Barkley, Davide Zappacosta, dan Willy Caballero. "Saya rasa saya agak buruk dalam hal meyakinkan klub untuk membeli pemain. 

Dalam aspek ini saya bisa banyak berkembang. Saya bisa belajar banyak dari pelatih lain, manajer lain, dari aspek ini. Saya harus berbicara lebih banyak dengan manajer yang sangat bagus untuk membujuk klubnya membelanjakan uang dan membeli pemain top," ungkap Conte dilansir ESPN.

Akibat protesnya kepada manajemen klub itulah yang kemudian dirumorkan menjadi faktor lain pemicu pemecatan Antonio Conte. Namun, jika memang kontrak Conte yang masih berlangsung hingga 2019 akan berakhir lebih cepat, maka menurut hemat saya, Chelsea akan menjadi klub yang paling merugi. Pasalnya, kehadirannya di awal musim lalu dengan merubah pakem permainan the blues sudah berbuah dengan kesuksesan. 

Liga Inggris dikenal dengan kompetisi yang sangat sulit. Tidak banyak pelatih yang langsung sukses di musim perdananya membesut tim Inggris walaupun ia punya nama besar. Sedangkan di Chelsea sendiri, hanya Jose Mourinho yang mampu menyamai prestasi Conte dengan langsung menjadi juara di musim pertama. Setelah kedatangan Antonio Conte, Chelsea tidak lagi bermain dengan gaya yang monoton dan pragmatis seperti sebelumnya. 

Ia juga yang kemudian membuat klub-klub inggris lainnya mengikuti pola 3-4-3 seperti yang diperagakan oleh Chelsea. Padahal sebelumnya, mayoritas klub Liga Inggris lebih suka bermain dengan formasi 4-2-3-1 atau 4-3-3. Bisa dibilang datangnya Conte juga membawa trend baru dalam kompetisi Liga Inggris secara keseluruhan.

Seharusnya dengan hasil baik yang sudah diraih pada musim lalu, setidaknya manajemen Chelsea bersedia memberikan hadiah dengan memenuhi keinginan transfernya pada musim ini. Tetapi faktanya proposal nama-nama pemain yang diajukan oleh Conte tidak disetujui. Padahal pria kelahiran Lecce ini berkali-kali mengeluhkan skuadnya yang terlalu ramping untuk menjalani musim ini, mengingat Chelsea harus mengikuti kompetisi yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun lalu. 

Menghadapi kondisi yang sudah mulai tidak sehat di dalam manajemen tim, Antonio Conte memang menjadi satu-satunya pihak yang paling tersudut. Ia tidak mungkin secara terang-terangan menentang orang-orang yang ada di atasnya. Seperti misalnya wanita cantik berdarah Rusia, Marina Granovskaia yang merupakan tangan kanan Roman Abramovich dan menjabat sebagai direktur klub. Orang kepercayaan sang pemilik itu bahkan santer diisukan bakal menggantikan peran Michael Emenalo sebagai direktur teknik yang baru saja mengundurkan diri. 

Menentang Marina berarti sama saja memicu konflik dengan Abramovich. Akibat merasa terbatas dalam bergerak, akhirnya Antonio Conte memilih diam dan memaksimalkan potensi yang ada di Chelsea saat ini. "Saya pikir saya adalah tipe pelatih di mana jika saya punya pemain tipe nomor 6, saya akan membuatnya jadi pemain nomor 8, jika punya pemain bertipe nomor 8, saya membawanya jadi pemain nomor 10," kata manajer asal Italia tersebut.

Jadi, jika memang sampai saat ini kita masih melihat menurunnya performa Chelsea dibandingkan musim lalu, maka satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab adalah Roman Abramovich sendiri. Ia telah memberikan segalanya bagi Chelsea, khususnya dari segi finansial yang kemudian menjadi faktor utama keberhasilan klub hingga saat ini. Oleh sebab itulah sang raja minyak juga harus sadar bahwa ia memang harus membayar lebih mahal atas ambisi besarnya. 

Jika ingin membangkitkan Chelsea dengan skuad yang mumpuni untuk kembali bertahta di Liga Inggris dan Eropa, maka ia harus membayar konsekuensinya dengan cara memenuhi setiap keinginan transfer sang pelatih selama itu memang dirasa tepat dan sesuai dengan kebutuhan klub. Seperti penolakan transfer pemain yang dialami oleh Antonio Conte saat ini, saya rasa sangat tidak tepat mengingat apa yang sudah diberikan manajer untuk Chelsea pada musim lalu. Apalagi the blues juga bukan klub yang akrab dengan masalah keuangan semenjak diambil alih oleh Abramovich. 

Seharusnya tidak ada alasan bagi bos untuk menolak kemauan Antonio Conte. Namun kalau akhirnya pemilik klub enggan untuk memenuhi keinginan juru racik, pasti akan berakibat pada inkonsistensi penampilan Chelsea di kompetisi seperti yang terjadi sekarang ini.

Luis Enrique Calon Pengganti Conte

Kabarnya jika Conte dipecat, Luis Enrique disebut-sebut menjadi kandidat terkuat yang akan menggantikannya di kursi pelatih Chelsea. Salah satu media di Spanyol, Don Balon mengungkapkan, mantan pelatih Barcelona tersebut sudah mengajukan beberapa syarat kalau Chelsea benar-benar menginginkan jasanya. Beberapa diantaranya ialah, the blues harus menyiapkan dana untuk mendatangkan daftar pemain incarannya seperti Marco Asensio dari Real Madrid serta mantan anak asuhannya selama masih di Barcelona, Luis Suarez. Seperti halnya Conte, agaknya calon manajer pengganti yang mungkin sudah disiapkan Chelsea pun mempunyai permintaan tertentu yang harus dipenuhi oleh manajemen tim. 

Namun, tentu Chelsea harus mengkalkulasi ulang perbandingan besaran dana yang harus dikeluarkan jika mendatangkan Luis Enrique atau mempertahankan Antonio Conte. Prestasi Enrique "hanya" terlihat saat ia membesut Barcelona. Selebihnya, manajer asal Spanyol ini tidak berhasil menangani tim lainnya seperti AS Roma dan Celta Vigo. Lagipula, sama sekali belum ada jaminan jika gaya permainan yang diterapkan Enrique akan cocok untuk the blues. Untuk memenuhi syarat transfer juga bukan hal yang mudah dan murah, karena Asensio sedang menjadi andalan Los Blancos musim ini, Suarez juga tidak mungkin dilepas Barcelona dengan biaya yang terjangkau.

 Sedangkan Antonio Conte, selain mempunyai pengalaman prestasi yang baik bersama klub dan timnas sebelumnya, pola yang ia terapkan juga sudah terlanjur nyetel dengan mayoritas pemain yang bermain untuk Chelsea. Manajer Italia ini hanya membutuhkan dukungan klub dengan cara memenuhi kemauan transfernya untuk melengkapi kebutuhan skema permainan tim. 

Jika tidak bisa dikabulkan musim ini, paling tidak manajemen memberikannya kesempatan di musim yang akan datang. Segala pilihan kini ada di tangan Abramovich sebagai pemilik klub sekaligus sosok yang paling berkuasa. Apakah ia ingin membentuk timnya sebagai sebuah kesebelasan yang berproses sekaligus berprestasi atau dirinya memilih memperlakukan Chelsea bagaikan robot yang hanya mampu berdiri tanpa tahu bagaimana langkahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun