Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rakyat Menanti Sikap Presiden Jokowi terkait Menteri Rangkap Jabatan

21 Desember 2017   01:50 Diperbarui: 21 Desember 2017   03:05 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: www.jawapos.com

Presiden Joko Widodo merupakan sosok pemimpin yang terkenal konsisten dalam menjalankan setiap kebijakan untuk kepentingan masyarakat yang dipimpinnya. 

Salah satu contoh nyata yang sering kita temui dalam keseharian Presiden ke-7 Indonesia ini ialah upayanya untuk mendekatkan diri dengan rakyat agar mengetahui secara langsung setiap permasalahan yang ada di sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dengan cara "blusukan". 

Saking melekatnya istilah tersebut, Presiden Jokowi seakan menjadi trendsetter "blusukan" sehingga kini menjadi hal yang lazim dilakukan setiap pejabat pemerintahan seluruh penjuru Nusantara.

Saat masa kampanye jelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 2014 lalu, pria kelahiran Surakarta ini menyampaikan salah satu poin dalam janji politiknya yang terbilang berani bagi beliau karena  saat itu bisa disebut sebagai orang baru dalam kerasnya panggung politik Nasional. 

Adalah keputusannya untuk melarang Menteri dalam jajaran kabinetnya rangkap jabatan di partai politik. Keputusan tersebut menimbulkan perdebatan di mana-mana, karena sejatinya eksekutif tidak akan pernah lepas dari campur tangan legislatif. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa sikap Joko Widodo saat itu sama dengan mendeskreditkan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi.

Namun, ayah dari Youtuber Kaesang Pangarep ini memiliki alasan kuat, mengapa ia memilih untuk melarang Menteri dalam jajaran kabinetnya ada dalam posisi rangkap jabatan. Ia tetap berkomitmen penuh untuk melaksanakannya dengan alasan jika sampai ada Menteri yang rangkap jabatan, maka dapat mengganggu kinerja pemerintahan eksekutif. 

"Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua," ujar Jokowi dalam sebuah kesempatan di depan awak media. Singkat cerita, setelah terpilih menjadi Presiden bersama Jusuf Kalla sebagai wakilnya, Joko Widodo langsung menunjuk 34 Menteri yang akan membantu jalannya pemerintahan.

Rinciannya, 14 Menteri berasal dari kalangan partai politik, sedangkan 20 lainnya adalah tokoh profesional anak bangsa. Setidaknya terdapat 4 orang menteri di kabinet kerja jilid 1 merupakan anggota partai PDI Perjuangan, 4 dari Partai Kebangkitan Bangsa, 3 orang dari Nasdem, 2 anggota partai Hanura, dan 1 lainnya berasal dari PPP. 

Saat itu, 14 sosok Menteri tersebut disebut sudah menanggalkan jabatan di partai politiknya masing-masing ketika ditugaskan oleh Presiden untuk membantu eksekutif di Kabinet Kerja. Selanjutnya, yang terjadi pada reshufflekabinet jilid 2, pada Juli 2016 juga sama. Waktu itu Presiden Joko Widodo menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, padahal Purnawirawan TNI itu sedang menjabat sebagai Ketua Umum Hanura. 

Namun, tidak lama setelah diberi amanah sebagai Menkopolhukam, Wiranto juga langsung melepas jabatannya di partai politik dan posisi Ketua Umum Hanura digantikan oleh koleganya, Oesman Sapta Odang.

Konsistensi Presiden Jokowi pada janji politik yang diucapkannya saat masa kampanye 2014 silam kini kembali diuji ketika masa pemerintahannya tinggal berusia 2 tahun. Semua berawal dari  kasus korupsi KTP elektronik yang sedang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menjadikan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto sebagai tersangka. 

Demi kepentingan menjaga nama baik dan elektabilitas jelang tahun politik pada 2018 dan 2019 yang akan datang, partai berlogo pohon beringin ini langsung mengambil sikap untuk mengganti Ketua Umum melalui forum Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). 

Dalam agenda luar biasa itu, nama Airlangga Hartarto akhirnya terpilih secara aklamasi untuk menahkodai Golkar hingga 2019 mendatang karena mendapatkan dukungan penuh dari 34 Dewan Pimpinan Daerah tingkat I, 514 DPD tingkat II, dan 10 Ormas pendiri Golkar.

Terpilihnya Airlangga Hartarto untuk memimpin Golkar memang menyelesaikan masalah bagi partai itu, namun di sisi lain justru menimbulkan persoalan baru di tubuh pemerintahan eksekutif. Seperti yang kita semua tahu, Airlangga Hartarto merupakan Menteri Perindustrian yang ditunjuk Joko Widodo pada Juli 2016 yang lalu menggantikan Saleh Husin. 

Maka, seharusnya secara periodik masa jabatannya sebagai Menteri Perindustrian Republik Indonesia masih berlaku hingga 2019. Dengan kenyataan ini Presiden Jokowi dituntut untuk segera mengambil sikap memilih apakah akan memberhentikan Airlangga sebagai Menteri atau tetap memberikan lampu hijau untuk rangkap jabatan. Fakta di lapangan, sampai tulisan ini terbit belum ada sikap final yang diambil oleh sang kepala negara terkait dengan persoalan ini.

Saya memaklumi jika belum ada kebijakan apapun yang diputuskan oleh Presiden dengan kondisi adanya Menteri yang rangkap jabatan ini. Mungkin saja beliau tidak mengharapkan terjadinya kegaduhan politik baru di dalam negeri jika tiba-tiba mengadakan reshufflekabinet jilid III. 

Hal itu tentu saja selain membuat iklim politik tanah air memanas, juga akan timbul kekhawatiran bagi investor yang ingin berinvestasi di tanah air, padahal Presiden sendiri bersama jajarannya sedang gencar-gencarnya untuk terus menggenjot pembangunan infrastruktur demi kesejahteraan masyarakat. 

Tetapi, jika sampai tidak mengambil keputusan apapun, Presiden Joko Widodo akan dihadang oleh janjinya sendiri yang pernah melarang Menteri dalam kabinet kerjanya untuk rangkap jabatan.

Terkait dengan sikap Presiden, terdapat friksi antar kalangan Istana. Dikutip dari detik.com, ketika dimintai tanggapannya mengenai rangkap jabatan Airlangga Hartarto, Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap bukan suatu masalah besar. "Waktu saya Wakil Presiden dulu malah ketua partai juga, tidak bermasalah. 

Ibu Megawati juga ketua partai, SBY juga ketua partai dia Presiden," Ujarnya saat menghadiri penutupan Munaslub Golkar yang digelar di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (20/12/2017). Dalam kesempatan lainnya, Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi, Eko Sulistyo menegaskan bahwa Presiden akan tetap konsisten menerapkan aturan bagi pembantunya untuk tidak rangkap jabatan. 

"Sejak pembentukan kabinet di awal, Presiden sudah menyatakan, agar para menterinya tidak rangkap jabatan di kepengurusan partai politik," kata Eko. Ia juga menyampaikan setelah terpilih sebagai Ketua Umum Golkar, secara otomatis Airlangga Hartarto harus mundur dari jabatan Menteri Perindustrian yang sedang diembannya saat ini

Eko Sulistyo memberikan pernyataan di depan pewarta untuk meluruskan isu yang sudah terlanjur beredar bak bola panas di tengah kalangan masyarakat, bahwa Presiden Joko Widodo memberikan restu kepada Airlangga Hartarto untuk tetap menjalankan tugas sebagai Menteri walaupun menjabat Ketua Umum Golkar. 

Karena sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Kolektif Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (PPK Kosgoro) 1957, Agung Laksono mengatakan Airlangga telah mendapatkan izin dari Presiden untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Menurut Agung, dengan demikian Jokowi telah merestui Airlangga Hartarto tetap menjadi Menteri Perindustrian sekaligus Ketua Umum partai.

Secara hukum positif yang berlaku di Indonesia, memang tidak ada ketentuan yang melarang Menteri untuk rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik. Hanya saja, dalam kasus ini Presiden Joko Widodo terbentur dengan permasalahan etika karena beliau secara etis seharusnya konsisten untuk menepati janji politiknya pada masa kampanye 2014 lalu yang tegas melarang Menteri pembantunya rangkap jabatan. 

Oleh karena itu berkaca dari janji politik yang pernah disampaikan oleh Presiden, tanpa atau dengan keputusan Jokowi pun secara otomatis Airlangga Hartarto harus mundur sebagai Menteri.

Akan tetapi, kalau pada akhirnya sama sekali tidak ada sikap yang diputuskan oleh Jokowi, ia tidak hanya merusak tradisi pemerintahan anti rangkap jabatan yang dicetuskan dirinya sendiri bersama wakilnya, Jusuf Kalla sejak 2014, tetapi juga mencoreng nama dan sangat berpotensi mengancam elektabilitasnya pada 2019 nanti. 

Inkonsistensi Joko Widodo terhadap kebijakannya sendiri ini tentu menjadi celah yang sangat terbuka bagi siapapun lawan politiknya yang ingin merebut kursi kepala negara. 

Selain itu jika ada rangkap jabatan Menteri dengan posisi kepengurusan di partai politik juga rawan terjadi konflik kepentingan dalam penyelenggaraan negara. Akhirnya, rakyat menganggap adanya campur tangan partai politik tertentu dalam berjalannya pemerintahan eksekutif Republik Indonesia.

Partai Golongan Karya sendiri tentu juga tidak mau main-main soal ini, seperti lazimnya partai politik, mereka juga punya kepentingan politik tersendiri. Kita sama-sama tahu jika pada Pemilihan Presiden 2014, Golkar yang saat itu masih dipimpin oleh Aburizal Bakrie memilih jalannya sendiri untuk bergabung bersama Koalisi Merah Putih (KMP) mendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. 

Tiba-tiba pada medio Mei 2016, sesaat setalah Setya Novanto terpilih menjadi Ketua Umum dalam Munaslub di Bali sikap partai warna kuning ini berubah 180 derajat dengan menyatakan sikap untuk mendukung sekaligus mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden 2019. Dalam politik kawan bisa menjadi lawan dan sebaliknya, lawan pun bisa berubah menjadi kawan.

Pilihan Partai Golkar untuk mengalihkan dukungannya pada Joko Widodo tentu saja menimbulkan banyak Tanya. Tidak ada makan siang gratis, walaupun beberapa waktu lalu Idrus Marham ketika masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum saat terjadi peralihan dari Setya Novanto ke Airlangga Hartarto pernah kembali menegaskan bahwa sikap partainya untuk mendukung dan mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden 2019 tetap final dan tanpa syarat. 

Lain halnya dengan Idrus Marham, saya justru menilai ada kepentingan politik tersendiri yang diincar oleh Golkar. Kemungkinan pertama, karena Golkar ingin tetap mendapatkan jatah kursi Menteri di kabinet, baik itu pada masa jabatan Jokowi saat ini, maupun 2019 nanti jika terpilih kembali. 

Kemungkinan lainnya, Partai Golongan Karya ingin mengulang memori manis ketika salah satu kadernya, Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009). Sehingga saat Pemilu 2019 nanti Golkar kembali bisa menempatkan salah satu kadernya untuk mendampingi Joko Widodo.

Akan banyak konsekuensi yang harus dibayar oleh Presiden Jokowi, jika tidak menepati janji politiknya dan mengizinkan salah satu menteri rangkap jabatan, maka kemungkinan besar banyak rakyat Indonesia yang akan dikecewakan, dampaknya akan langsung dirasakan pada perolehan suaranya di pemilu yang akan datang. 

Di sisi lain, jika langsung mencopot jabatan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, bisa saja Partai Golkar mempertimbangkan ulang terkait pilihannya mendukung Joko Widodo atau tidak pada 2019 nanti. Jika sampai sikap Jokowi akan hal ini membuat Golkar kembali beralih halauan, maka sangat disayangkan sekali karena Golkar termasuk salah satu partai besar yang mempunyai basis massa mumpuni.

Jika boleh menyarankan, alangkah baiknya Presiden Joko Widodo memilih jalan tengah dengan tetap memegang teguh janji untuk melarang menterinya rangkap jabatan di kepengurusan partai politik. Maka kewajiban mengganti posisi Airlangga Hartarto dengan nama lain yang juga sama-sama berasal dari kader Partai Golkar yang tidak terbebani dengan jabatan apapun di dalam kepengurusan partai mungkin bisa menjadi pilihan yang paling bijak demi meredam suhu politik agar tetap kondusif jelang Pemilu serentak.

Kalau keputusan ini dijalankan, kemesraan Jokowi dengan Golkar niscaya tetap harmonis demi misi politik yang lebih besar di 2019 nanti. Yang penting jangan sampai kebimbangan Presiden dalam menyikapi polemik ini terus berlarut, karena pada akhirnya mengganggu kinerja pemerintah dan merugikan rakyat. 

Yang saya tahu, bentuk kekuasaan pemerintahan negara ini adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka harapan kita semua, sebesar apapun kepentingan politik yang coba digapai oleh para elit, jangan sampai merugikan kepentingan rakyat itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun