Ada saat dalam hidup ketika kita menjadi badut---tertawa lebar di depan banyak orang, padahal di dalam hati sedang porak-poranda. Ada saat lain ketika kita menjadi penari---terhuyung-huyung mengejar rembulan, meski tahu langkah itu mungkin takkan pernah sampai.
Clown and The Dancer bukan sekadar cerita tentang Billy, sang badut, dan Annelise, sang penari. Ia adalah panggung besar tentang cinta yang getir, keberanian yang nekat, dan penerimaan yang lahir dari luka. Ada keceriaan slice of life, ada pertunjukan megah yang menakjubkan, ada tragedi medis yang menegangkan, bahkan ada ruang limbo yang surreal---seperti kehidupan itu sendiri, campuran antara tawa dan tangis, nyata dan mimpi.
Kisah ini juga metafora. Kita semua, entah sadar atau tidak, pernah jadi badut bagi cinta kita sendiri: menutupi air mata dengan senyum, menyulap luka menjadi lelucon. Kita semua pernah jadi penari: melompat dengan segala tenaga demi sesuatu yang tampak indah, meski harus jatuh berulang kali.
Kenapa kisah ini penting? Karena ia mengingatkan kita bahwa cinta tidak selalu tentang bahagia, tapi juga keberanian untuk menerima rasa sakit. Bahwa hidup bukan hanya tentang sempurna, tapi tentang bagaimana kita tetap tegak meski tubuh ingin tumbang.
Clown and The Dancer adalah cermin---tentang kegilaan, tentang pengorbanan, tentang cinta yang tak selalu kita miliki, tapi tetap kita perjuangkan.
Dan mungkin, pada akhirnya, kita semua adalah bagian dari panggung itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI