Tulisan 1,
Fenomena protes sejumlah kepala daerah, khususnya para Gubernur, terhadap rencana atau realisasi pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) yang berujung pada adu argumentasi sengit dengan Menteri Keuangan, mencerminkan dinamika fundamental dalam tata kelola keuangan negara di Indonesia. Isu ini bukan sekadar masalah teknis pengalokasian anggaran, melainkan sebuah cerminan dari kompleksitas hubungan pusat-daerah, yang memiliki implikasi luas terhadap pembangunan, pelayanan publik, dan stabilitas politik di tingkat regional. Memahami akar permasalahan, strategi TKD, serta posisi para pemangku kepentingan menjadi krusial untuk merumuskan solusi yang berkelanjutan dan harmonis.
Dana Transfer ke Daerah (TKD) secara esensial merupakan instrumen kebijakan fiskal yang dirancang untuk mendistribusikan sumber daya keuangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Tujuannya adalah untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah, mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah, serta memungkinkan daerah menjalankan otonomi yang lebih luas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Sejarah perkembangan TKD di Indonesia menunjukkan evolusi yang signifikan, bermula dari era desentralisasi fiskal yang lebih sederhana hingga kini terbagi menjadi berbagai jenis, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Otonomi Khusus (Otsus) serta Dana Keistimewaan (DIY). Perkembangan ini mencerminkan upaya berkelanjutan untuk menyesuaikan mekanisme transfer dengan kebutuhan pembangunan dan realitas fiskal yang ada (Mardiasmo, 2002). TKD bukan hanya sekadar kucuran dana, tetapi merupakan wujud nyata dari prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menegaskan bahwa pembangunan harus merata dan kesejahteraan harus dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia di berbagai penjuru.
Strategisnya TKD bagi pembangunan daerah tidak dapat dipungkiri. Sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat bergantung pada penerimaan dari TKD, terutama di daerah-daerah yang memiliki basis pendapatan asli daerah (PAD) yang terbatas. Dana ini menjadi sumber pendanaan utama untuk membiayai berbagai program pembangunan, mulai dari infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, dan irigasi, hingga sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Tanpa TKD yang memadai, banyak daerah akan kesulitan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang esensial dan bahkan terancam lumpuh dalam memberikan pelayanan dasar kepada warganya. Lebih jauh lagi, TKD berperan sebagai alat pemerataan pembangunan, karena pemerintah pusat dapat mengalokasikan dana lebih besar kepada daerah-daerah yang membutuhkan, sehingga mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial antarwilayah (Suryana, 2018). Analisis Bank Dunia (2020) juga menegaskan bahwa efektivitas TKD sangat menentukan keberhasilan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di tingkat daerah.
Dalam konteks polemik terkini, posisi para pemimpin daerah, khususnya Gubernur yang menyuarakan protes, bersumber dari kekhawatiran mendalam terhadap dampak pemotongan TKD terhadap operasional pembangunan dan pelayanan publik di wilayah mereka. Mereka berargumen bahwa pemotongan tersebut akan mengganggu perencanaan anggaran yang telah disusun, menghambat proyek-proyek prioritas, dan bahkan dapat menyebabkan penundaan pembayaran gaji pegawai serta pemutusan kontrak kerja, sebagaimana diindikasikan dalam pemberitaan (Suara.com, 2025; Tirto.id, 2025). Argumen ini didukung oleh fakta bahwa banyak daerah masih sangat bergantung pada transfer pusat untuk membiayai belanja daerah yang bersifat wajib dan mendesak. Di sisi lain, argumen dari Menteri Keuangan, yang biasanya didasari oleh pertimbangan makroekonomi, target pendapatan negara, kondisi kas negara, serta upaya efisiensi belanja negara, seringkali mengacu pada kebutuhan untuk menjaga stabilitas fiskal nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global atau domestik. Penjelasan dari pihak Kementerian Keuangan kerap menekankan bahwa pemotongan atau penyesuaian TKD dilakukan berdasarkan data realisasi pendapatan negara dan prioritas belanja nasional, dengan tujuan agar keuangan negara tetap sehat dan berkelanjutan (Kementerian Keuangan, 2024). Perbedaan perspektif ini menciptakan friksi yang signifikan, di mana daerah merasa haknya atas alokasi dana publik tergerus demi kepentingan yang dianggap lebih sentralistik, sementara pusat berkukuh pada keharusan menjaga kesehatan fiskal negara secara keseluruhan.
Untuk menengahi adu argumentasi ini dan mencari jalan tengah yang konstruktif, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan kolaboratif. Pertama, perlu adanya transparansi dan akuntabilitas yang lebih kuat dalam proses perencanaan dan alokasi TKD. Pemerintah pusat harus secara terbuka menyampaikan dasar-dasar perhitungan dan proyeksi pendapatan negara yang menjadi landasan bagi setiap penyesuaian TKD, sehingga daerah dapat memahami secara rasional dan mempersiapkan diri. Sebaliknya, daerah juga harus menyajikan data dan analisis yang akurat mengenai kebutuhan riil dan dampak potensial dari pemotongan TKD terhadap program pembangunan dan pelayanan publik mereka. Kedua, penguatan kapasitas fiskal daerah melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dicapai melalui reformasi perpajakan daerah, optimalisasi pengelolaan sumber daya alam, dan penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerah, sebagaimana dianjurkan dalam berbagai kajian tentang desentralisasi fiskal (Tambunan, 2001). Ketiga, mekanisme komunikasi dan dialog antara pusat dan daerah perlu diperkuat secara kelembagaan. Pembentukan forum dialog yang rutin dan efektif, yang melibatkan perwakilan daerah dan kementerian terkait, dapat menjadi wadah untuk menyelaraskan kebijakan, mendiskusikan kendala, dan mencari solusi bersama sebelum keputusan-keputusan krusial diambil. Keempat, evaluasi berkala terhadap formula alokasi TKD perlu dilakukan untuk memastikan bahwa formula tersebut masih relevan, adil, dan mampu menjawab dinamika pembangunan daerah yang terus berubah. Perlu dipertimbangkan pula skema transfer yang lebih fleksibel, yang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi makro tanpa secara drastis mengorbankan kebutuhan pembangunan daerah.
Sebagai kesimpulan dan usulan kebijakan, Indonesia perlu bergerak menuju model hubungan pusat-daerah yang lebih sinergis dalam pengelolaan keuangan negara. Pemotongan TKD yang bersifat mendadak dan tanpa dialog yang memadai berpotensi merusak kepercayaan dan menghambat kemajuan pembangunan daerah. Harmoni anggaran pusat-daerah bukan hanya cita-cita, melainkan keharusan demi terwujudnya pembangunan yang merata dan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan di seluruh Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI