Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

KONFIGURASI KEPULAUAN INDONESIA. Menemukan Teori Supply Chain Geography Khas Indonesia dan Penurunan Biaya Logistik

22 September 2025   19:13 Diperbarui: 22 September 2025   19:13 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.rctiplus.com/news/detail/ekonomi/5232673/biaya-logistik-ri-masih-tinggi--pengusaha--sistemnya-tidak-efisien

Tulisan 2,  Lanjutan tulisan sebelumnya.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki konfigurasi geografis unik yang secara inheren menghadirkan tantangan signifikan dalam manajemen rantai pasok. Tantangan ini seringkali belum sepenuhnya terakomodasi oleh teori-teori supply chain geography yang dikembangkan dalam konteks geografis yang lebih homogen (Woodburn & McCormack, 2007). Teori-teori konvensional cenderung mengasumsikan konektivitas darat yang relatif mudah dan jaringan transportasi yang padat, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan realitas Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, di mana bentang laut yang luas berperan sebagai penghubung utama (United Nations Group of Experts on Geographical Names, 2007). Oleh karena itu, adaptasi dan penyesuaian teori supply chain geography agar relevan dengan konteks kepulauan Indonesia menjadi sebuah keniscayaan mutlak, bukan sekadar pilihan, terutama dalam upaya struktural menurunkan biaya logistik nasional yang mencapai 23-24% dari PDB, jauh di atas rata-rata ASEAN sekitar 13% (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, 2020).

Secara alamiah, hambatan geografis yang dihadapi Indonesia dalam menurunkan biaya logistik sangatlah fundamental. Jarak antar pulau yang sangat jauh, keberagaman topografi di setiap pulau, serta frekuensi dan kapasitas transportasi laut dan udara yang terbatas, semuanya berkontribusi pada tingginya biaya. Jika teori supply chain geography klasik lebih banyak membahas optimasi jaringan darat, di Indonesia fokus utama harus bergeser pada optimasi jaringan maritim dan intermodalitas antara laut dan darat. Konsep node dan link dalam jaringan logistik harus diinterpretasikan ulang; pelabuhan tidak lagi hanya sebagai titik transisi sederhana, tetapi sebagai strategic nodes yang memerlukan investasi besar dalam infrastruktur pendukung, seperti dermaga yang memadai, fasilitas penyimpanan yang efisien, dan konektivitas darat yang mulus ke hinterland (Coyle et al., 2016). Keterbatasan ini menyebabkan setiap pergerakan barang dari satu pulau ke pulau lain membutuhkan biaya yang berlipat ganda dibandingkan dengan pergerakan dalam satu wilayah daratan yang padat.

Penyesuaian teori supply chain geography untuk Indonesia harus mencakup beberapa aspek krusial. Pertama, perlu adanya penekanan pada analisis spasial yang lebih mendalam terhadap pola distribusi sumber daya alam, pusat produksi, dan pusat konsumsi yang tersebar di berbagai pulau. Pemetaan supply chain hot spots dan cold spots secara geografis akan membantu mengidentifikasi area yang paling membutuhkan intervensi logistik. Pendekatan seperti spatial autocorrelation untuk mengukur sebaran biaya logistik antar wilayah atau gravity model untuk memprediksi aliran barang antar pusat produksi dan konsumsi akan sangat relevan dalam konteks ini (Fotheringham et al., 2000). Kedua, teori ini harus mengintegrasikan secara kuat pertimbangan terhadap moda transportasi laut. Efisiensi dalam penggunaan kapal kargo, optimalisasi rute pelayaran antar pelabuhan utama, dan pengembangan pelabuhan-pelabuhan kecil yang terhubung dengan jaringan tol laut menjadi fokus utama. Ini berbeda dengan teori yang mungkin lebih menekankan pada jaringan kereta api atau jalan tol yang dominan di negara-negara kontinental.

Lebih lanjut, faktor risiko yang terkait dengan kondisi geografis kepulauan, seperti cuaca buruk yang dapat mengganggu pelayaran dan penerbangan, serta potensi bencana alam, harus dimasukkan dalam analisis supply chain geography yang disesuaikan. Manajemen risiko ini memerlukan strategi contingency planning yang matang, termasuk identifikasi rute alternatif, penambahan stok pengaman di wilayah rawan gangguan, dan diversifikasi moda transportasi. Teori yang ada seringkali mengasumsikan stabilitas dalam aliran logistik, namun di Indonesia, ketidakpastian geografis adalah realitas yang harus dikelola secara proaktif (Chopra & Meindl, 2016). Oleh karena itu, studi tentang resilience dalam rantai pasok, yang mempertimbangkan kerentanan spasial, menjadi sangat penting untuk memastikan keberlanjutan operasional.

Implikasi dari konfigurasi kepulauan ini terhadap penurunan biaya logistik sangatlah besar. Tanpa penyesuaian teori dan praktik supply chain geography, upaya penurunan biaya akan bersifat tambal sulam dan tidak efektif. Membangun lebih banyak gudang di satu pulau tanpa memperbaiki konektivitas ke pulau lain tidak akan secara signifikan mengurangi biaya logistik secara keseluruhan. Sebaliknya, dengan mengadopsi perspektif supply chain geography yang berfokus pada optimasi jaringan maritim dan intermodal, kita dapat merancang strategi yang lebih holistik. Ini termasuk optimalisasi penempatan pusat distribusi regional yang melayani beberapa pulau terdekat, penggunaan kapal tol laut yang efisien untuk mengangkut volume besar antar pelabuhan utama, serta pengembangan sistem distribusi last-mile yang inovatif di daerah-daerah terpencil (Kementerian Perdagangan, 2021).

Sebagai rekomendasi kebijakan, pemerintah perlu memprioritaskan pengembangan infrastruktur maritim yang terintegrasi, seperti pelabuhan peti kemas yang modern di berbagai wilayah strategis, serta peningkatan kualitas dan kuantitas armada kapal perintis dan tol laut. Selain itu, perlu didorong adopsi teknologi digital dalam manajemen logistik maritim, seperti tracking and tracing kontainer secara real-time dan sistem penjadwalan pelayaran yang terintegrasi. Studi supply chain geography dapat menjadi dasar ilmiah untuk menentukan lokasi optimal pelabuhan, pusat logistik, dan titik-titik konektivitas, serta untuk merancang kebijakan tarif logistik yang lebih adil dan kompetitif antar pulau. Dengan demikian, kita dapat mentransformasi tantangan geografis kepulauan Indonesia menjadi kekuatan dalam membangun sistem logistik nasional yang efisien dan berdaya saing, sebagaimana diamanatkan oleh visi pembangunan ekonomi nasional yang berkeadilan dan inklusif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun