Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

HARUSKAH MENAIKKAN PAJAK BUMI dan BANGUNAN (PBB)?

23 Agustus 2025   06:37 Diperbarui: 23 Agustus 2025   06:37 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://share.google/images/kFof4odOyAvtDuTM4

Tulisan ini menjawab pertanyan mahasiswa diruang kelas.

Rendahnya kemandirian fiskal daerah di Indonesia, ditandai dengan ketergantungan yang sangat tinggi pada Dana Transfer Pusat, telah lama menjadi perhatian serius para akademisi dan praktisi pembangunan daerah. Mayoritas daerah masih berkutat pada pola pembiayaan yang rentan terhadap kebijakan pusat, sehingga upaya untuk memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi krusial. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan sebuah tren yang mengkhawatirkan: maraknya kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) oleh pemerintah daerah, seringkali dengan besaran yang signifikan, yang berujung pada respon negatif dan protes dari masyarakat, seperti yang terekam jelas dalam kasus Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Fenomena ini memunculkan pertanyaan fundamental: haruskah kita terus menerus membebani rakyat dengan kenaikan PBB sebagai satu-satunya atau cara paling mudah untuk meningkatkan PAD, tanpa inovasi yang memadai dalam mencari sumber pembiayaan pembangunan daerah lainnya, termasuk melalui sinergi dan kolaborasi?

Kebijakan menaikkan PBB, meskipun secara teori merupakan instrumen klasik untuk meningkatkan PAD, seringkali dipilih oleh kepala daerah yang menghadapi tekanan untuk menunjukkan peningkatan realisasi pendapatan. Keterbatasan pemahaman atau kemauan politik untuk menggali potensi PAD lain yang lebih inovatif, serta kemudahan administrasi dalam mengimplementasikan kenaikan tarif PBB dibandingkan dengan menciptakan mekanisme pemungutan jenis pajak baru, tampaknya menjadi faktor pendorong utama. Data menunjukkan bahwa kontribusi PBB terhadap total PAD di banyak daerah masih relatif kecil dibandingkan potensi sektor lain (Bappenas & World Bank, 2019), namun ironisnya, justru PBB yang menjadi sasaran utama 'peningkatan'. Peningkatan PBB yang drastis, tanpa disertai dengan peningkatan kualitas pelayanan publik yang sepadan atau penjelasan yang memadai kepada masyarakat, secara inheren menimbulkan beban ekonomi yang signifikan, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah yang memiliki aset properti. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan vertikal dalam perpajakan, di mana beban pajak seharusnya proporsional dengan kemampuan ekonomi wajib pajak.

Dampak kenaikan PBB yang tidak proporsional jelas dirasakan oleh masyarakat. Selain menambah pengeluaran rutin rumah tangga, kenaikan PBB yang tiba-tiba dapat menggerus daya beli masyarakat, mengurangi alokasi anggaran untuk kebutuhan pokok lainnya, dan bahkan berpotensi memicu inflasi di tingkat daerah. Di sisi lain, kebijakan ini seringkali dianggap sebagai cerminan minimnya inovasi fiskal daerah. Banyak kepala daerah belum secara optimal menggali potensi PAD dari sektor-sektor lain yang sebenarnya memiliki daya ungkit lebih besar dan lebih adil, seperti optimalisasi retribusi daerah, pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang efisien dan menguntungkan, pengelolaan aset daerah yang produktif, serta inovasi dalam pemungutan pajak jenis lain yang lebih berkeadilan seperti pajak parkir, pajak reklame, atau bahkan pajak barang mewah yang konsumsinya cenderung tidak elastis terhadap perubahan pendapatan. Ketergantungan pada PBB sebagai sumber PAD utama menunjukkan keengganan untuk melakukan reformasi struktural dalam pengelolaan keuangan daerah yang lebih komprehensif dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Padahal, peluang dan tantangan peningkatan PAD di luar PBB sangatlah luas dan menjanjikan. Potensi optimalisasi retribusi daerah, misalnya, masih sangat besar mengingat banyaknya jenis retribusi yang belum terkelola secara maksimal dan seringkali tarifnya masih di bawah standar (Kurniawan & Wibowo, 2021). Pengembangan BUMD yang fokus pada sektor-sektor strategis dan memiliki keunggulan kompetitif, serta tata kelola yang baik, dapat menjadi sumber PAD yang signifikan dan berkelanjutan, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem pemungutan pajak dan retribusi dapat meningkatkan efisiensi, akurasi, dan akuntabilitas, serta memperluas basis pajak. Kerja sama antar daerah dalam mengembangkan sektor-sektor ekonomi unggulan bersama, seperti pariwisata atau industri kreatif, juga dapat menciptakan sinergi yang menguntungkan dan membuka sumber-sumber pendapatan baru yang tidak hanya bergantung pada pajak properti. Tantangannya terletak pada kemauan politik, kapasitas birokrasi daerah, serta kemampuan untuk melakukan inovasi dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan ekonomi.

Oleh karena itu, implikasi kebijakan yang harus diambil adalah perlunya pergeseran paradigma dalam pengelolaan keuangan daerah. Pemerintah pusat perlu memberikan dukungan kebijakan dan teknis yang lebih kuat kepada daerah untuk melakukan diversifikasi sumber PAD. Daerah harus didorong untuk melakukan pemetaan potensi PAD secara komprehensif, melakukan kajian kelayakan atas berbagai jenis pajak dan retribusi baru, serta melakukan reformasi birokrasi yang efisien dalam sistem pemungutan. Inovasi dalam pemungutan PBB itu sendiri juga perlu dilakukan, misalnya dengan menerapkan sistem penilaian NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang lebih akurat dan transparan, serta mempertimbangkan gradasi tarif PBB berdasarkan luasan lahan dan nilai objek pajak untuk menciptakan keadilan. Namun, yang terpenting, fokus utama haruslah pada pengembangan sumber-sumber PAD yang tidak membebani masyarakat secara berlebihan, yang sifatnya lebih progresif, dan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan.

Kebijakan menaikkan PBB sebagai cara instan untuk meningkatkan PAD daerah harus dihindari jika tidak disertai dengan inovasi dan kajian yang matang serta dialog yang intensif dengan masyarakat. Peningkatan PBB yang drastis tanpa dasar yang kuat dan alternatif lain yang memadai hanya akan memperburuk kesejahteraan rakyat dan menunjukkan kelemahan dalam tata kelola fiskal daerah. Pemerintah daerah harus berani melakukan terobosan dengan menggali potensi PAD dari sektor-sektor lain, memperkuat BUMD, mengoptimalkan retribusi, dan memanfaatkan teknologi. Fokus pada inovasi dan diversifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah, serta dialog konstruktif dengan masyarakat, adalah kunci untuk mencapai kemandirian fiskal yang sejati tanpa harus membebani rakyat yang sudah berat. Kebijakan fiskal daerah yang efektif haruslah berkeadilan, inovatif, dan berkelanjutan, yang pada akhirnya mampu mendorong pembangunan daerah yang inklusif dan merata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun