Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada sebuah dilema krusial: pertumbuhannya yang moderat tampaknya belum mampu menyerap angkatan kerja yang terus bertambah, menciptakan jurang lebar antara potensi ekonomi dan realitas kesempatan kerja yang stagnan, bahkan cenderung menurun di beberapa sektor. Memahami akar permasalahan ini menuntut kita untuk kembali ke dasar-dasar teoritik ekonomi pembangunan, yang telah lama menggarisbawahi hubungan kausalitas yang kuat antara laju pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan tingkat pengangguran (Lewis, 1954; Solow, 1956). Kegagalan dalam menstimulasi pertumbuhan yang inklusif dan padat karya dapat berujung pada stagnasi kesempatan kerja, menyulitkan pencarian pekerjaan bagi lulusan baru, dan memicu lonjakan pengangguran yang mengancam stabilitas sosial dan ekonomi. Tanpa pemahaman teoritik yang kokoh mengenai bagaimana mesin pertumbuhan ekonomi seharusnya diterjemahkan menjadi penciptaan lapangan kerja, upaya-upaya penanggulangan pengangguran hanya akan menjadi pemadaman kebakaran tanpa solusi struktural.
Data terkini menunjukkan gambaran yang kompleks. Sementara Indonesia terus mencatat pertumbuhan ekonomi yang positif, biasanya berkisar di angka 5% per tahun, angka ini belum cukup untuk menciptakan lapangan kerja baru yang memadai bagi jutaan pencari kerja setiap tahunnya, seperti yang diindikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Fenomena ini semakin diperparah oleh kesenjangan spasial yang signifikan; kota-kota besar cenderung menawarkan lebih banyak kesempatan kerja dibandingkan daerah pedesaan, menciptakan migrasi internal dan potensi ketidakmerataan pembangunan (Dollar & Kray, 2002). Tingkat pengangguran terbuka, meskipun berfluktuasi, seringkali masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, terutama di kalangan usia produktif dan lulusan perguruan tinggi, sebuah ironi di mana peningkatan akses pendidikan tidak serta merta berbanding lurus dengan peningkatan kesempatan kerja. Kesenjangan ini mencerminkan bagaimana manfaat pertumbuhan ekonomi tidak terdistribusi secara merata, menciptakan kantong-kantong pengangguran struktural di berbagai wilayah.
Fakta empiris di lapangan semakin mempertegas kaitan erat antara rendahnya pertumbuhan ekonomi, stagnasi investasi, dan lonjakan pengangguran di Indonesia. Investasi, sebagai motor penggerak penciptaan lapangan kerja, seringkali belum mencapai skala yang memadai untuk menyerap angkatan kerja yang melimpah. Sektor-sektor yang mengalami perlambatan pertumbuhan atau investasi yang minim, seperti manufaktur padat karya, secara langsung berkontribusi pada kesulitan pencarian kerja dan peningkatan angka pengangguran. Data historis menunjukkan bahwa perlambatan investasi, baik domestik maupun asing, seringkali diikuti oleh peningkatan pengangguran, mengindikasikan kerentanan pasar tenaga kerja terhadap dinamika ekonomi makro (Feldstein, 2008). Lebih lanjut, model-model pertumbuhan ekonomi modern menekankan bahwa kualitas pertumbuhan, bukan sekadar kuantitasnya, menjadi penentu utama dalam penciptaan kesempatan kerja yang berkelanjutan (Acemoglu & Restrepo, 2019).
Menghadapi situasi ini, Indonesia berada di persimpangan jalan yang penuh dengan peluang sekaligus tantangan dalam mengatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi dan investasi di satu sisi, serta lonjakan pengangguran yang semakin mengkhawatirkan di sisi lain. Peluang terletak pada potensi demografi Indonesia yang masih memiliki bonus usia produktif yang besar, serta kekayaan sumber daya alam yang melimpah jika dikelola dengan bijak. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan benar-benar inklusif dan mampu menciptakan lapangan kerja yang layak dan berkelanjutan. Implikasi bagi pembangunan sangatlah besar; pengangguran massal tidak hanya menggerogoti potensi ekonomi melalui hilangnya produktivitas, tetapi juga dapat memicu masalah sosial seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan instabilitas. Tanpa kebijakan yang tepat sasaran, potensi demografi yang seharusnya menjadi aset justru bisa berubah menjadi beban demografi.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah manajemen dan kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi untuk mengatasi pengangguran, membuka kesempatan kerja, dan yang terpenting, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi secara berkelanjutan di Indonesia. Pertama, pemerintah perlu fokus pada reformasi struktural yang mendasar untuk meningkatkan iklim investasi, baik domestik maupun asing, dengan menyederhanakan regulasi, memastikan kepastian hukum, dan meningkatkan kualitas infrastruktur. Kedua, perlu ada revitalisasi sektor-sektor strategis yang memiliki potensi besar dalam menyerap tenaga kerja, seperti industri hilirisasi sumber daya alam dan sektor jasa yang berbasis teknologi. Ketiga, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan vokasi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja harus menjadi prioritas utama, agar lulusan siap bersaing dan mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi (Addison & O'Connell, 1997). Keempat, kebijakan ketenagakerjaan harus lebih adaptif, mendorong kewirausahaan, dan memberikan jaring pengaman sosial yang efektif bagi mereka yang terdampak pengangguran struktural. Kebijakan ini harus didukung oleh data yang akurat dan analisis yang mendalam, serta melibatkan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Kesimpulannya, Indonesia harus segera beralih dari sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang berfokus pada penciptaan kesempatan kerja yang lebih luas dan merata, demi mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan bagi seluruh rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI