Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

KAWASAN CAGAR BUDAYA. Belajar dari Sangiran, Patiayam dan Museum Karst

4 Juli 2025   20:54 Diperbarui: 4 Juli 2025   20:54 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/5ceESPoP94gZgVyU7

Tulisan ke 19 dalam KKL1

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati dan budaya, dianugerahi kekayaan alam dan budaya yang luar biasa, yang tertuang dalam ketentuan konstitusional dan berbagai peraturan perundang-undangan. Kekayaan ini tidak hanya menjadi identitas bangsa, tetapi juga aset tak ternilai untuk edukasi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam kerangka perlindungan warisan dunia, Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia (UNESCO, 1972), yang mewajibkan negara untuk mengidentifikasi, melindungi, melestarikan, dan mempromosikan warisan budaya dan alam yang memiliki Nilai Universal Luar Biasa (NUL). Di tingkat nasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya memperkuat mandat ini, mengklasifikasikan benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan sebagai cagar budaya yang harus dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan demi kemajuan peradaban. Keberadaan Situs Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, Museum Patiayam yang kaya akan fosil manusia purba dan fauna, serta Museum Karst yang menampilkan keunikan geologi, menjadi bukti nyata komitmen Indonesia dalam menjaga warisan lintas disiplin ini.

Manfaat dan fungsi kawasan cagar budaya, seperti Situs Sangiran dan Museum Patiayam, melampaui sekadar pelestarian fisik artefak dan fosil. Situs Sangiran, yang merupakan salah satu situs terpenting di dunia untuk studi evolusi manusia purba, menawarkan bukti tak ternilai mengenai jejakHomo erectus, yang menjadikannya laboratorium alam terbuka untuk penelitian arkeologi dan paleoantropologi (Ardika, 2013). Keistimewaannya terletak pada proses kejadian geologi dome sangiran dan kelimpahan fosil manusia purba dan fauna Pleistocene yang ditemukan di sana, serta konteks geologisnya yang memungkinkan rekonstruksi lingkungan purba. Demikian pula, Museum Patiayam, yang berlokasi di lingkungan geologis yang kaya, menyimpan koleksi fosil yang memberikan gambaran tentang keanekaragaman hayati dan perkembangan ekosistem di masa lalu, mendukung pemahaman kita tentang sejarah geologi regional dan evolusi kehidupan (Hadiprakoso, 2017). Kedua situs ini, bersama dengan Museum Karst yang menampilkan formasi geologi unik, memberikan kesempatan langka bagi masyarakat luas untuk belajar dan mengapresiasi sejarah bumi dan evolusi manusia secara langsung, memenuhi fungsi edukasi dan penelitian yang menjadi inti dari pelestarian warisan.

Namun, pengelolaan kawasan cagar budaya ini tidak lepas dari berbagai peluang dan tantangan, terutama yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Peluang terbesar terletak pada potensi pengembangan pariwisata edukasi yang berkelanjutan. Situs Sangiran, dengan statusnya sebagai Warisan Dunia, menarik minat wisatawan domestik maupun internasional, menciptakan potensi ekonomi bagi masyarakat lokal melalui penyediaan jasa pariwisata, kerajinan, dan kuliner. Namun, tantangan utama adalah memastikan bahwa manfaat ekonomi ini dapat dirasakan secara merata oleh masyarakat tepi hutan dan desa sekitar. Keterlibatan komunitas lokal dalam pengelolaan, seperti yang ditekankan oleh Konvensi UNESCO, menjadi krusial untuk menciptakan rasa kepemilikan dan memastikan keberlanjutan program pelestarian (Smith, 2006). Tantangan lain termasuk upaya untuk menjaga integritas situs dari gangguan aktivitas manusia yang tidak terkontrol, serta kebutuhan akan infrastruktur pendukung yang memadai untuk meningkatkan pengalaman pengunjung. Artikel oleh Rico (2012) tentang pengalaman pengunjung di Sangiran menyoroti pentingnya interpretasi yang efektif untuk meningkatkan pemahaman dan apresiasi publik.

Dalam menghadapi dinamika ini, manajemen dan kebijakan yang terintegrasi menjadi suatu keniscayaan. Pengelolaan kawasan cagar budaya dan museum harus berorientasi pada keseimbangan antara perlindungan ketat terhadap nilai universal luar biasa dan pengembangan yang inovatif untuk edukasi publik dan riset. Untuk Situs Sangiran, Museum Patiayam, dan Museum Karst, ini berarti tidak hanya fokus pada pemeliharaan fisik situs dan koleksi, tetapi juga pada pengembangan narasi edukatif yang menarik dan mudah diakses, memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas jangkauan informasi (Cameron & Kenderdine, 2007; Lou & Zhang, 2018). Pengembangan wisata edukasi harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip konservasi, memastikan bahwa aktivitas pariwisata tidak merusak keaslian situs. Keterlibatan aktif komunitas lokal melalui program-program pemberdayaan, seperti pelatihan pemandu wisata lokal, pengelolaan pusat informasi, dan pengembangan produk kerajinan berbasis warisan, akan menjadi kunci keberhasilan.

Oleh karena itu, sebagai bagian dari pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan Fakultas Geografi UGM tahun 2025, studi yang mendalam mengenai integrasi antara perlindungan dan pengembangan kawasan cagar budaya di Sangiran, Patiayam, dan Museum Karst menjadi sangat relevan. Berdasarkan pengalaman dan analisis literatur yang komprehensif, kami mengajukan beberapa usulan kebijakan. Pertama, penguatan kemitraan antara lembaga pengelola (misalnya Balai Pelestarian Cagar Budaya, Perum Perhutani untuk kawasan sekitar, dan dinas terkait), akademisi, serta masyarakat lokal. Kemitraan ini dapat diwujudkan melalui forum-forum diskusi rutin dan penyusunan rencana pengelolaan bersama yang partisipatif. Kedua, pengembangan sistem interpretasi yang inovatif dan multidimensional, menggabungkan elemen fisik (papan informasi, diorama), digital (aplikasi augmented reality, virtual tour), dan sumber daya manusia (pemandu terlatih yang menguasai konteks geografis, arkeologis, dan geologis). Pendekatan ini akan memperkaya pengalaman belajar pengunjung, sesuai dengan rekomendasi ICOMOS Charter (2000). Ketiga, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal melalui pengembangan produk-produk ekonomi kreatif yang berbasis pada warisan budaya dan geologi kawasan. Ini bisa berupa kerajinan tangan yang terinspirasi dari artefak, produk makanan lokal yang dikaitkan dengan sejarah pertanian, atau bahkan pengembangan ekowisata berbasis geologi yang dikelola oleh masyarakat.

Terakhir, kami mengusulkan peninjauan dan adaptasi regulasi lokal agar lebih responsif terhadap kebutuhan pengembangan kawasan cagar budaya secara berkelanjutan, dengan tetap menjaga integritas konservasi. Ini mencakup penyederhanaan prosedur perizinan untuk kegiatan penelitian atau pengembangan pariwisata yang bertanggung jawab, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran pelestarian. Dengan mengadopsi kebijakan yang berfokus pada sinergi antara perlindungan, edukasi, penelitian, dan partisipasi masyarakat, kawasan cagar budaya seperti Sangiran, Patiayam, dan Museum Karst dapat bertransformasi menjadi pusat pembelajaran global yang tidak hanya melestarikan masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com

https://www.kompasiana.com/luthfimutaali4996/

#cagarbudaya

#sangiran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun