PERKEMBANGAN WILAYAH DI ZONA BENTUKLAHAN INTER VULKANO BASIN
(Tulisan 10, Kuliah Kerja lapangan 1)
Indonesia, negeri seribu pulau, sejatinya adalah permadani bentang alam yang luar biasa, dihiasi oleh sabuk vulkanik yang membentang dari barat ke timur. Di antara puncak-puncak megah itu, tersembunyi permata-permata geografis yang seringkali menjadi denyut nadi peradaban: cekungan antar gunung api atau inter-volcano basin. Wilayah ini, yang terbentuk dari aktivitas vulkanik berkelanjutan selama ribuan bahkan jutaan tahun, menawarkan lanskap unik yang kaya akan sumber daya alam, sekaligus menyimpan segudang tantangan dalam perencanaan pengembangannya. Memahami hakikat geomorfologi cekungan ini bukan sekadar kajian akademis, tetapi sebuah keniscayaan fundamental bagi keberlanjutan wilayah perkotaan yang tumbuh subur di dalamnya, sebuah tema krusial yang akan menjadi fokus Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Fakultas Geografi UGM tahun 2025.
Secara konseptual, inter-volcano basin merupakan depresi atau cekungan yang terbentuk di antara dua atau lebih gunung api aktif maupun tidak aktif, seringkali diakibatkan oleh proses tektonik yang berkaitan dengan aktivitas vulkanik, akumulasi material vulkanik (seperti lahar, abu, dan aliran piroklastik), serta pengendapan sedimen fluvial dari sistem sungai yang mengalir dari lereng gunung (Twidale, 2012; Bloom, 1991). Bentuk lahan ini dicirikan oleh variasi topografi yang signifikan, mulai dari lereng gunung yang curam hingga dataran aluvial yang luas di bagian tengah cekungan, serta seringkali memiliki sumber daya tanah yang subur berkat material vulkanik yang kaya mineral. Contoh klasik di Indonesia seperti Cekungan Bandung, dataran yang mengelilingi Magelang dan Solo, serta wilayah Kediri, semuanya menunjukkan pola morfologi yang serupa, di mana dataran yang relatif datar dan subur menjadi pusat aktivitas ekonomi dan permukiman, dikelilingi oleh perbukitan vulkanik yang menjadi sumber air dan potensi bencana.
Potensi yang ditawarkan oleh wilayah inter-volcano basin sangatlah beragam. Pertama, kesuburan tanah vulkanik menjadikan sektor pertanian sebagai tulang punggung ekonomi di banyak daerah ini, seperti yang terlihat pada produksi pertanian di dataran sekitar Magelang yang dikenal luas. Kedua, keberadaan sumber daya air melimpah dari daerah tangkapan air di pegunungan sekitarnya mendukung pasokan air bersih untuk perkotaan dan irigasi, meskipun pengelolaannya kerap menjadi isu pelik. Ketiga, bentang alam yang dramatis, seperti kaldera, kerucut vulkanik, dan sumber air panas, menawarkan potensi besar untuk pengembangan pariwisata alam dan geowisata, yang dapat menjadi motor penggerak ekonomi lokal, seperti yang mulai dikembangkan di beberapa kawasan sekitar gunung api di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, di balik potensi ini, tersimpan pula berbagai permasalahan. Ancaman bencana alam seperti erupsi gunung api, lahar, banjir bandang, dan gerakan tanah adalah risiko inheren yang harus terus diwaspadai, sebagaimana sering dilaporkan media massa terkait aktivitas gunung-gunung di sekitar Cekungan Bandung atau Jawa Timur. Alih fungsi lahan pertanian subur menjadi kawasan permukiman dan industri juga menjadi tantangan serius, mengancam ketahanan pangan dan memperparah kerentanan terhadap bencana. Ditambah lagi, urbanisasi yang pesat seringkali menyebabkan masalah klasik seperti kemacetan lalu lintas, peningkatan kebutuhan infrastruktur, serta pengelolaan sampah dan limbah yang belum memadai, seperti yang sering menjadi sorotan di pusat-pusat pertumbuhan kota seperti Bandung atau Solo (Sari & Wibowo, 2018; Pranoto & Sudirman, 2015).
Pendekatan geomorfologi, yang berfokus pada studi bentuk lahan dan proses yang membentuknya, memegang peranan krusial dalam mengungkap potensi dan mengidentifikasi permasalahan di wilayah inter-volcano basin. Dengan memahami pola drainase, jenis material vulkanik, kemiringan lereng, serta sejarah aktivitas vulkanik, para geografer dan perencana dapat memetakan zona-zona yang memiliki potensi kesuburan tanah tinggi untuk pertanian, area yang ideal untuk pengembangan permukiman yang aman dari bencana, serta lanskap yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata. Misalnya, analisis geomorfologi dapat menunjukkan bahwa dataran aluvial di bagian tengah cekungan memiliki potensi pertanian terbaik, tetapi juga rentan terhadap genangan banjir, sementara lereng yang lebih tinggi mungkin lebih cocok untuk konservasi hutan atau pengembangan wisata alam yang meminimalkan risiko. Studi seperti yang dilakukan oleh Hartono (2007) mengenai daerah vulkanik dan Adnyana (2009) di sekitar Gunung Kelud, Kediri, secara gamblang menunjukkan bagaimana pemahaman geomorfologi dapat diterjemahkan menjadi identifikasi potensi sumber daya dan pengembangan kawasan. Pendekatan ini memberikan pemahaman yang mendalam mengenai interaksi antara proses alam dan aktivitas manusia, memungkinkan identifikasi risiko bencana yang lebih akurat dan perumusan strategi mitigasi yang efektif.
Implementasi teori dan konsep geomorfologi inter-volcano basin dalam penentuan perencanaan pengembangan wilayah adalah kunci untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berketahanan. Data geomorfologi yang akurat, yang diperoleh melalui pemetaan, analisis citra penginderaan jauh, dan survei lapangan yang mendalam, harus menjadi fondasi utama dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ini berarti mengintegrasikan zona-zona lindung di lereng-lereng curam yang berpotensi longsor, menetapkan zona pengembangan pertanian berkelanjutan di dataran subur, serta mengalokasikan ruang untuk infrastruktur vital dengan mempertimbangkan risiko bencana. Perencanaan harus bersifat adaptif, mampu merespons dinamika lingkungan dan sosial, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Contohnya, di Cekungan Bandung, upaya untuk revitalisasi sungai dan pengelolaan daerah resapan air merupakan langkah penting dalam mengatasi masalah banjir dan krisis air bersih yang diperparah oleh urbanisasi. Di Magelang, Solo, dan Kediri, penekanan pada pengembangan pariwisata berbasis geologi dan budaya, yang selaras dengan pelestarian lingkungan, dapat menjadi alternatif ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan yang harus diambil adalah penguatan kapasitas institusi perencanaan daerah dalam mengintegrasikan data dan analisis geomorfologi secara sistematis, serta peningkatan kesadaran publik mengenai pentingnya living with volcanoes – hidup berdampingan secara aman dengan gunung api – melalui edukasi mitigasi bencana yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, wilayah inter-volcano basin adalah aset strategis nasional yang menawarkan potensi besar bagi pembangunan perkotaan, namun juga menuntut pendekatan perencanaan yang cermat dan berbasis ilmu pengetahuan. KKL Fakultas Geografi UGM pada tahun 2025 akan menjadi momentum penting untuk menggali lebih dalam aspek-aspek ini, menghasilkan kajian yang dapat menjadi masukan berharga bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu, kami mengusulkan agar pemerintah daerah yang berada di kawasan ini, mulai dari Cekungan Bandung hingga Magelang, Solo, dan Kediri, memprioritaskan integrasi analisis geomorfologi dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan. Ini mencakup pemetaan risiko bencana yang terperinci, zonasi penggunaan lahan yang responsif terhadap karakteristik geomorfologi, serta promosi pengembangan sektor ekonomi yang selaras dengan kelestarian lingkungan, seperti agrowisata dan geowisata. Penguatan kapasitas sumber daya manusia di instansi pemerintah daerah dalam bidang geografi dan perencanaan wilayah, serta kolaborasi yang erat dengan akademisi dan peneliti, adalah langkah konkret yang harus segera diambil untuk memastikan bahwa jantung vulkanik Nusantara ini dapat terus memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi generasi mendatang.
#vulkanik
#basin