(Tulisan ke 7)
Wilayah di sekitar Selat Muria, yang membentang di antara kompleks vulkanik purba Gunung Muria dan dataran pesisir utara Jawa Tengah, merupakan lanskap dengan sejarah geomorfologis yang dinamis dan kompleks. Sebagai seorang perencana wilayah dengan tambahan pengetahuan geomorfologi, saya melihat bahwa pemahaman terhadap paleogeomorfologi, khususnya evolusi geomorfologis Gunung Muria yang terpisah dari Pulau Jawa di masa lalu geologi dan kini telah menyatu, memberikan wawasan krusial untuk merumuskan strategi pengembangan wilayah yang adaptif dan berkelanjutan. Sejarah geologi yang membentuk penyatuan ini, dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik, pergerakan tektonik, serta dinamika laut dan sungai, memiliki implikasi mendalam terhadap karakteristik fisik wilayah, potensi ekonomi, kerentanan terhadap bencana, serta arah perencanaan pengembangan di masa kini dan masa depan. Memahami evolusi lanskap ini, dengan merujuk pada prinsip-prinsip geomorfologi umum dan spesifik Indonesia seperti yang dikembangkan Verstappen, menjadi kunci untuk menata ulang arsitektur lanskap di kawasan yang strategis ini.
Paleogeomorfologi Selat Muria adalah studi tentang bentuk lahan dan proses-proses yang membentuknya di masa lalu geologi, yang mencakup evolusi Gunung Muria dan wilayah sekitarnya. Sejarah geologi Pulau Jawa, sebagaimana diuraikan oleh Van Bemmelen (1949) dan Darman & Sidi (2000), menunjukkan bahwa wilayah utara Jawa telah mengalami serangkaian perubahan tektonik dan vulkanik yang signifikan. Kompleks vulkanik Gunung Muria, yang merupakan bagian dari busur vulkanik utara Jawa, memiliki sejarah pembentukan yang panjang, dengan fase-fase aktivitas yang menghasilkan berbagai bentuk lahan vulkanik seperti kerucut, lereng, dan produk hasil erupsi. Di masa lalu geologi, Gunung Muria kemungkinan besar dikelilingi oleh perairan, membentuk sebuah pulau atau semenanjung yang terpisah dari daratan utama Jawa. Perubahan muka air laut global, seperti yang dibahas oleh Pirazzoli (1996), serta proses sedimentasi intensif dari sungai-sungai besar di Jawa Utara, bersama dengan pergerakan tektonik (Susilowati & Wiyanto, 2018), secara bertahap menyebabkan penyatuan Gunung Muria dengan daratan utama Jawa melalui pembentukan dataran aluvial dan fluvio-marin. Verstappen (1973) dalam kajiannya tentang geomorfologi pesisir utara Jawa, kemungkinan besar telah mendokumentasikan proses-proses ini yang membentuk lanskap saat ini, termasuk dataran rendah yang menjadi Selat Muria. Rekonstruksi paleogeomorfologis ini penting untuk memahami bagaimana evolusi lanskap memengaruhi kondisi fisik wilayah saat ini, termasuk pola drainase, jenis tanah, dan sebaran fitur geomorfologis.
Implikasi paleogeomorfologi penyatuan Muria dan Jawa terhadap perkembangan wilayah Selat Muria sangatlah signifikan. Pertama, pemahaman tentang sejarah pembentukan dataran aluvial dan fluvio-marin di sekitar Muria memberikan wawasan mengenai kerentanan inheren wilayah ini terhadap banjir, baik dari luapan sungai maupun dari kenaikan muka air laut (banjir rob). Dataran rendah yang terbentuk dari akumulasi sedimen purba ini cenderung memiliki elevasi yang sangat rendah, membuat wilayah ini rentan tergenang. Sejarah perubahan garis pantai dan pola sedimentasi purba juga memberikan konteks mengenai dinamika pesisir yang masih berlanjut hingga kini. Potensi utama wilayah ini terletak pada kesuburan tanah aluvial yang mendukung pertanian, serta potensi perikanan di perairan Selat Muria dan laut sekitarnya. Namun, permasalahan utamanya adalah kerentanan terhadap banjir yang diperparah oleh pendangkalan sistem sungai dan muara, serta dampak perubahan iklim. Sejarah penyatuan Muria dari daratan Jawa juga dapat mengindikasikan adanya potensi sumber daya geologi atau struktur tektonik yang masih aktif di bawah permukaan, yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan jangka panjang.
Peran dan kontribusi pendekatan paleogeomorfologi dalam menemukan potensi dan mengidentifikasi permasalahan di wilayah Selat Muria sangatlah vital. Dengan merekonstruksi sejarah pembentukan lanskap, kita dapat memahami mengapa wilayah ini memiliki karakteristik tertentu dan bagaimana proses-proses purba telah membentuk kondisi saat ini. Misalnya, pemahaman tentang sejarah vulkanik Gunung Muria dan proses sedimentasi fluvio-marin yang menyebabkan penyatuannya dengan Jawa membantu mengidentifikasi area yang memiliki potensi sumber daya geologi tertentu atau zona yang lebih stabil secara struktural. Verstappen (1973) dalam analisisnya tentang geomorfologi pesisir utara Jawa, memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana proses-proses purba dan modern berinteraksi, yang sangat membantu dalam mengidentifikasi area yang rentan terhadap banjir dan abrasi. Studi paleoseismologi (Susilowati & Wiyanto, 2018) juga dapat memberikan informasi tentang sejarah gempa bumi di wilayah ini, yang penting untuk perencanaan infrastruktur yang tahan gempa. Dengan demikian, studi paleogeomorfologi bukan hanya catatan sejarah, tetapi merupakan alat diagnostik yang kuat untuk memahami akar permasalahan lingkungan dan mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah yang berkelanjutan, termasuk dalam mengelola dinamika pesisir yang dipengaruhi oleh sejarah geomorfologisnya.
Implementasi pengembangan wilayah di sekitar Selat Muria, dengan memanfaatkan wawasan dari paleogeomorfologi penyatuan Muria dan Jawa, memerlukan pendekatan perencanaan yang holistik dan adaptif. Pertama, pengendalian banjir harus menjadi prioritas utama, dengan fokus pada revitalisasi dan normalisasi sistem sungai dan muara yang sejarah pembentukannya telah dipelajari melalui paleogeomorfologi. Ini mencakup pengerukan sedimen yang terakumulasi dari masa lalu dan masa kini, serta peningkatan kapasitas tanggul. Kedua, strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama kenaikan muka air laut dan peningkatan intensitas hujan, harus diintegrasikan dalam perencanaan tata ruang. Pemahaman tentang sejarah perubahan garis pantai dan elevasi dataran purba sangat penting untuk menentukan zona pembangunan yang aman dari ancaman banjir rob dan genangan. Ketiga, potensi ekonomi di wilayah ini, seperti pertanian di dataran aluvial dan perikanan, harus dikembangkan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan dan kerentanan lingkungan yang dipelajari dari sejarah geomorfologisnya. Keempat, perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai potensi sumber daya geologi atau struktur tektonik yang terkait dengan sejarah vulkanik dan tektonik Gunung Muria, serta bagaimana ini memengaruhi perencanaan wilayah di masa depan. Kesimpulan kebijakan yang harus diambil adalah perlunya Pemerintah Daerah di wilayah sekitar Selat Muria untuk secara serius memprioritaskan studi paleogeomorfologi dan sejarah evolusi lanskap, termasuk sejarah penyatuan Muria, sebagai dasar penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang komprehensif. Penguatan sistem pengendalian banjir dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang berbasis pada pemahaman historis dan dinamis dari karakteristik lahan, harus menjadi fokus utama untuk mewujudkan wilayah yang tangguh dan sejahtera.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI