Otonomi daerah, sebagai pilar utama pembangunan pasca-reformasi, bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih efektif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Landasan hukumnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), memberikan kewenangan luas kepada daerah untuk mengelola urusan pemerintahan, memaksimalkan potensi daerah, dan meningkatkan kesejahteraan warganya. Artikel ini mengkaji kinerja kemandirian daerah, dengan fokus pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai indikator kunci, dilengkapi data serta informasi yang kredibel, sekaligus mengulas tantangan dan peluang yang ada.
Secara teoritis, otonomi daerah yang ideal menekankan kemandirian finansial, yang memungkinkan daerah untuk mendanai pembangunan dan pelayanan publik tanpa terlalu bergantung pada transfer dari pemerintah pusat. PAD, sebagai sumber pendapatan yang berasal dari daerah sendiri, menjadi indikator utama kemandirian finansial. Semakin tinggi proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah, semakin mandiri daerah tersebut. Indikator lain yang mendukung antara lain adalah proporsi belanja modal terhadap total belanja, yang mencerminkan kemampuan daerah dalam berinvestasi untuk pembangunan jangka panjang (Musgrave, 1959; Shah, 1991).
Kinerja kemandirian daerah di Indonesia, yang diukur melalui PAD, menunjukkan variasi yang signifikan antar daerah. Sebagai contoh, Provinsi DKI Jakarta secara konsisten memiliki PAD tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2022, PAD DKI Jakarta mencapai lebih dari Rp70 triliun, didukung oleh sektor jasa, perdagangan, dan pajak progresif. Hal ini menandakan tingkat kemandirian yang tinggi (BPS DKI Jakarta, 2023). Di sisi lain, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan tingkat PAD yang lebih rendah. Pada tahun 2022, PAD NTT berada di kisaran Rp1,6 triliun, yang sebagian besar berasal dari sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata. Ketergantungan pada transfer pusat masih cukup tinggi (BPS NTT, 2023). Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga menunjukkan disparitas yang signifikan dalam rasio PAD terhadap total pendapatan daerah antar wilayah, dengan beberapa daerah masih di bawah target yang diharapkan (Kemenkeu, 2023).
Perbedaan kinerja PAD juga sangat terkait dengan perspektif geografis dan karakteristik daerah. Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, seperti pertambangan atau perkebunan, cenderung memiliki potensi PAD yang lebih tinggi. Provinsi Kalimantan Timur, misalnya, memiliki PAD yang signifikan dari sektor pertambangan dan migas. Namun, pengelolaan sumber daya yang tidak efisien atau korupsi dapat menghambat peningkatan PAD. Daerah dengan lokasi strategis dan aksesibilitas yang baik juga cenderung lebih mampu menarik investasi dan meningkatkan PAD, seperti Kota Surabaya yang memiliki pelabuhan dan infrastruktur yang memadai. Sementara itu, daerah kepulauan atau daerah terpencil menghadapi tantangan aksesibilitas dan keterbatasan sumber daya, sehingga PAD-nya cenderung lebih rendah, seperti yang terjadi di banyak kabupaten di Provinsi Maluku.
Terdapat berbagai kendala, peluang, dan tantangan dalam meningkatkan kinerja kemandirian daerah melalui peningkatan PAD. Kendala utama meliputi ketergantungan pada transfer pusat, kapasitas SDM daerah yang terbatas, praktik korupsi, dan kurangnya inovasi dalam penggalian potensi pendapatan (Tanzi, 1995; Bardhan & Mookherjee, 2006). Peluang yang ada meliputi peningkatan investasi, pengembangan sektor pariwisata, dan pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan PAD. Tantangan meliputi perubahan iklim, persaingan antar daerah, serta perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik untuk menarik investasi dan meningkatkan PAD (KemenPANRB, 2020).
Untuk meningkatkan kinerja kemandirian daerah melalui peningkatan PAD, diperlukan strategi yang komprehensif. Pertama, peningkatan kapasitas SDM daerah melalui pelatihan dan pendidikan, contohnya program peningkatan kompetensi pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Sidoarjo. Kedua, diversifikasi sumber pendapatan daerah, misalnya pengembangan sektor ekonomi kreatif di Kota Yogyakarta. Ketiga, peningkatan efisiensi dan transparansi pengelolaan PAD, contohnya penerapan sistem e-budgeting di Kota Surakarta. Keempat, peningkatan koordinasi dan sinergi antar instansi pemerintah daerah, misalnya pembentukan tim terpadu untuk penertiban aset daerah di Provinsi Jawa Barat. Kelima, peningkatan pelayanan publik untuk menarik investasi dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, contohnya perbaikan pelayanan perizinan di Kota Denpasar. Keenam, penguatan peran serta masyarakat dalam pengawasan pengelolaan PAD, contohnya pembentukan forum masyarakat peduli PAD di Kabupaten Sleman.
Peningkatan PAD menjadi indikator krusial dalam mengukur kemandirian daerah di Indonesia. Peningkatan PAD akan berdampak positif pada kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama untuk mengatasi kendala, memanfaatkan peluang, dan menghadapi tantangan, agar otonomi daerah dapat berjalan efektif dan berkelanjutan. Penguatan kapasitas SDM, diversifikasi sumber pendapatan, peningkatan efisiensi, dan transparansi pengelolaan PAD adalah kunci untuk mencapai kemandirian daerah yang lebih besar. Dengan demikian, pembangunan daerah yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI