Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

INTEGRASI BONUS DEMOGRAFI Dalam PERENCANAAN DAERAH (RPJMD)

10 Mei 2025   05:28 Diperbarui: 10 Mei 2025   05:28 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/snMcf4379vJwwuxE6

Bonus demografi, sebagaimana didefinisikan oleh para ekonom kependudukan, termasuk Bloom dan Williamson (1998) serta Lee dan Mason (2017), adalah fase ketika rasio ketergantungan---yang diukur sebagai jumlah anak berusia 0-14 tahun dan lansia di atas 65 tahun per 100 penduduk usia 15-64 tahun---jatuh di bawah 50. Dalam kondisi ini, setiap individu produktif menanggung beban yang relatif ringan, sehingga potensi ekonomi dapat dimaksimalkan. Namun, manfaat ekonomi dari bonus demografi hanya dapat terwujud jika tenaga kerja yang besar tersebut sehat, terdidik, terserap di lapangan kerja produktif, dan melibatkan partisipasi perempuan. Contohnya, Korea Selatan yang berhasil menurunkan angka stunting di bawah 5% dan meliberalisasi investasi elektronik antara tahun 1970 hingga 1990, mengalami pertumbuhan PDB per kapita sebesar 7% setiap tahunnya (World Bank, 2019). Sebaliknya, banyak negara di Afrika Sub-Sahara masih terjebak dalam lingkaran pengangguran tinggi dan pendidikan rendah, sehingga gagal memanfaatkan keuntungan dari bonus demografi (ADB, 2019).

Indonesia, menurut Sensus 2020, telah memasuki jendela bonus demografi dengan rasio ketergantungan mencapai 47,7. Proyeksi dari Bappenas dan BPS menunjukkan bahwa rasio ini akan mencapai titik terendah 45,4 pada tahun 2030, sebelum jumlah lanjut usia melonjak dan mengakibatkan penutupan jendela tersebut sekitar tahun 2040. Pada tahun 2023, populasi usia produktif di Indonesia telah mencapai 197,5 juta jiwa---atau sekitar 71,2% dari total penduduk---namun distribusi potensi ini tidak merata di seluruh wilayah. Misalnya, Pulau Jawa memiliki rasio ketergantungan 44, sedangkan Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masing-masing memiliki rasio 50, 52, dan 56 (BPS, 2023). Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa integrasi bonus demografi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) harus segera dilakukan, karena tanpa perencanaan yang matang, potensi dividend ini berpotensi bocor melalui tingginya pengangguran pemuda, migrasi talenta, dan jebakan pendapatan menengah.

Potret pasar kerja di Indonesia semakin menegaskan urgensi integrasi bonus demografi ke dalam kebijakan publik. Data dari Sakernas Agustus 2023 mencatat angkatan kerja sebanyak 146,6 juta dengan tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,3% dan setengah menganggur sebesar 17%. Terdapat selisih geografis yang mencolok, di mana Kota Batam hanya mencatat pengangguran terbuka sebesar 3,6%, sementara Provinsi Banten mencatat angka yang lebih tinggi, yaitu 8,1%. Partisipasi kerja perempuan di Indonesia berada pada angka 54,4%. Selain itu, problem mismatch keterampilan juga mengemuka, karena banyaknya lulusan SMA/SMK bekerja di sektor berkemahiran rendah (ILO, 2023). Di satu lain masih banyak daerah mengalami stunting dan harapan lama sekolah yang randah. Diskrepansi antara kesehatan dan pendidikan ini sangat menentukan, apakah bonus demografi di setiap daerah akan bertransformasi menjadi keuntungan ekonomi atau jatuh ke dalam kutukan pengangguran muda.

Pengalaman negara lain menunjukkan pentingnya pendekatan spasial dalam memanfaatkan bonus demografi. Thailand, yang menikmati bonus demografi antara 1995 dan 2010, kini terjebak dalam middle-income trap karena enggan berpindah ke industri berkemahiran menengah, dengan produktivitas manufakturnya mandek pada tingkat 1% per tahun (World Bank, 2019). Sebaliknya, Guangdong di Tiongkok berhasil memanfaatkan surplus pemuda nasional melalui migrasi intra-negara untuk membentuk klaster ekspor elektronik, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi mencapai 12% (Chen, 2020). Pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman ini adalah bahwa bonus demografi demografi dapat direalisasikan jika setiap wilayah mampu menyeimbangkan surplus tenaga muda dengan permintaan keterampilan melalui langkah-langkah yang terarah, seperti pendidikan, mobilitas kerja, dan investasi yang relevan---hal ini menjadi tugas penting bagi RPJMD.

Sensus 2020 telah membagi provinsi Indonesia ke dalam tiga tipologi berdasarkan potensi bonus demografi. Pertama, provinsi "padat tenaga kerja" seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung, yang mengindikasikan tambahan 1-2 juta pemuda per tahun. Tantangan bagi mereka adalah menggantikan sektor manufaktur padat karya yang tergerus otomatisasi dengan ekonomi digital, ekonomi hijau, dan layanan kesehatan. Kedua, provinsi "penarik sumber daya alam" seperti Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tengah, yang kekurangan tenaga terampil lokal tetapi dibanjiri proyek hilirisasi seperti nikel dan galangan kapal. Di sini, solusi yang tepat adalah manajemen impor talenta terkelola dan pelatihan kilat untuk memenuhi kebutuhan industri. Ketiga, kategori "pra-bonus demografi" seperti Papua, Maluku, dan beberapa daerah di NTT, yang masih memiliki struktur demografis muda namun fasilitas dasar yang terbatas. Di wilayah ini, prioritas utama haruslah eliminasi stunting, akses air bersih, dan pendidikan wajib 12 tahun, agar bonus demografi sejati dapat terealisasi dalam satu generasi ke depan. Oleh karena itu, RPJMD harus menyesuaikan strateginya sesuai dengan posisi dalam tipologi ini, bukan hanya menyalin template dari pusat.

Dalam rangka mengoptimalkan integrasi bonus demografi ke dalam RPJMD, terdapat lima langkah strategis yang perlu diambil. Pertama, perlu dilakukan audit demografi mikro yang mendalam, menggunakan data dari Sensus Long Form 2020 dan data NIK harian untuk memetakan proyeksi rasio ketergantungan, surplus tenaga muda, dan stok keterampilan hingga tahun 2035. Audit ini akan menjadi fondasi untuk alokasi anggaran daerah. Kedua, penting bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan minimal 10% dari APBD untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal ini termasuk remodeling SMK, pengadaan laboratorium STEM, penyediaan akses internet di sekolah, serta program konvergensi gizi untuk ibu dan anak. Sebab, bonus demografi tidak hanya lahir dari jumlah namun juga dari kualitas (OECD, 2020).

Ketiga, pencocokan peta industri dengan peta keterampilan harus dilakukan secara cermat. Misalnya, kawasan semikonduktor di Batang membutuhkan 27.000 teknisi elektro-perangkat lunak, sementara lulusan lokal baru mencapai 9.000 orang (Kemenperin, 2023). RPJMD Jawa Tengah, misalnya, perlu menyediakan beasiswa fast-track teknik serta menarik sekolah politeknik asing untuk menjembatani kesenjangan ini. Keempat, pemerintah harus memfasilitasi migrasi inter-daerah yang saling menguntungkan. Sebagai contoh, provinsi NTB yang surplus pemuda dapat menandatangani MoU untuk mobilitas kerja dengan Kalimantan Timur yang sedang mengalami defisit, difasilitasi melalui portal "Job Mobility Nusantara" berbasis NIK---ini mirip dengan model yang berhasil di Meksiko yang menurunkan pengangguran pemuda sebesar 3 poin dalam dua tahun (OECD, 2020). Kelima, penting untuk menetapkan indikator bonus demografi---seperti rasio ketergantungan, tingkat partisipasi kerja perempuan, pengangguran usia 15-24 tahun, pekerja formal, dan prevalensi stunting---sebagai Key Performance Indicators (KPI) untuk RPJMD yang harus diaudit setiap tahun oleh Bappenas. Pengalaman Thailand menunjukkan bahwa kegagalan untuk memantau indikator-indikator ini dapat berujung pada kehilangan peluang untuk memanfaatkan bonus demografi demografi (World Bank, 2019).

Kesadaran publik terhadap risiko yang muncul akibat kelalaian dalam mengintegrasikan bonus demografi sudah mulai meningkat. Editorial di Kompas (14/8/2023) mengingatkan bahwa "puncak tenaga produktif hanya satu dekade," sementara Tempo (3/2/2024) menyoroti kekurangan 12.000 pekerja digital di Bali, meskipun pengangguran pemuda di Madura masih tinggi. Ini menunjukkan masalah matching antara kebutuhan pasar pekerjaan dan ketersediaan tenaga kerja. Tanpa adanya integrasi bonus demografi dalam perencanaan, kesenjangan semacam ini akan semakin lebar dan berpotensi menimbulkan kerawanan sosial di tingkat lokal.

Terakhir, penting juga bagi setiap daerah untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan memperhitungkan sebaran demografis dan kebutuhan masing-masing daerah secara proporsional. Dengan komitmen yang kuat untuk mengintegrasikan bonus demografi ke dalam perencanaan pembangunan, Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini secara optimal dan meneruskan pertumbuhan yang berkelanjutan. Mengingat hal ini, kolaborasi semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, menjadi sangat penting. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia tidak hanya akan mampu menghadapi tantangan demografis tetapi juga berpotensi menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di kawasan Asia Tenggara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun